Cerpen Mashdar Zainal (Solopos, 03 Juni 2023)
BULAN ini, aku dan istriku masing-masing punya nazar. Nazar istriku: kalau bulan ini hasil akreditasi untuk kampusnya bisa dapat nilai A dan ia bisa berlibur ke Lombok dengan kawan-kawan pengajar di fakultasnya, ia akan berinfak senilai lima ratus ribu rupiah ke masjid.
Nazarku sedikit beda jalur dan tak muluk-muluk: kalau bulan ini naskah novelku diterima penerbit, maka aku akan bersedekah lima puluh ribu rupiah saja pada seseorang yang lewat depan rumah dan tampak membutuhkan. Naskah itu kukirim tiga bulan lalu dan menurut editor, kalau tiga bulan lepas tidak dihubungi maka artinya naskahku tertolak.
Hari ini, istriku dapat kabar bahwa hasil akreditasi untuk kampusnya sudah keluar dengan nilai B yang artinya tidak ada jalan-jalan ke Lombok dan ia tidak jadi berinfak ke masjid. Wajah istriku berubah murung, tak sedap dipandang mata.
“Gagal sudah, gagal,” rutuknya, “Padahal kami semua lembur buat menyelesaikan borang serta dokumen-dokumen pendukung, tapi tetap saja nilainya B, pasti ada yang tidak beres,” sambung dia.
Sebenarnya, mimpi utama istriku bukanlah nilai akreditasi kampusnya, melainkan berjalan-jalan ke Lombok. Bagi istriku, urung jalan-jalan ke Lombok adalah kegagalan paling besar pada bulan ini. Dan sepertinya itu cukup memberinya pukulan.
“Nazarku bulan ini sudah gagal, kita lihat saja, apakah ada kabar baik dari penerbit buatmu bulan ini. Kalau nihil, berarti kita berdua sama-sama gagal bulan ini, gagal total, nol besar buat kita,” umpatnya lagi.
“Tuhan Maha Tahu niatan hamba-Nya,” sahutku lirih, entah ia mendengarnya atau tidak.
Begitulah, setiap bulan kami selalu menyampaikan harapan besar masing-masing serta menyelipkan nazar untuk mengiringinya. Jika sebuah harapan gagal, maka kami harus menyiapkan harapan-harapan yang lain pada bulan-bulan mendatang. Dan harapan-harapan yang gagal itu kerap kami lupakan sehingga menjadi harapan-harapan yang tertimbun di bawah harapan-harapan besar lain yang kami utarakan.
Pada bulan awal-awal pernikahan, kami punya harapan besar sama: segera dikaruniai momongan. Tapi, harapan itu tidak terwujud sampai detik ini—bulan ke limabelas dari bulan pernikahan kami.
Dan harapan besar soal memiliki momongan itu pun mengendap sudah, menjadi harapan besar yang kami sembunyikan sebab dari bulan ke bulan, rahim istriku masih kosong. Lalu harapan besar lain pun muncul satu per satu seiring waktu yang terus berjalan.
“Sudahlah, tidak jadi ke Lombok bukan berarti akhir dunia,” ujarku mencoba menghibur. Tapi, perempuan itu sudah kadung muram.
“Kau tidak tahu rasanya, sudah lembur berminggu-minggu, tapi dapat nilai B, capainya sampai ke hati,” balasnya cepat tanpa menatap orang yang diajaknya bicara.
“Hari ini kau sudah makan?” tanyaku mengalihkan topik bahasan.
Ia mengangguk.
“Apa menu di kantormu hari ini?” lanjutku.
“Bebek bakar sama es manado,” sahutnya dengan wajah datar penuh kepayahan.
“Wah mantap, apa bebek bakar sama es manadonya enak?”
“Lumayan.”
“Lebih nikmat mana antara badan sehat sehingga bisa makan bebek bakar plus es manado, sama jalan-jalan ke Lombok?” aku mengembalikan topik bahasan.
“Tak ada hubungannya,” jawabnya ketus.
“Itu di lantai ada sepuluh sapu lidi dan lima buah keset. Itu ada ceritanya kalau kau mau dengar,” ujarku sedikit datar.
Perempuan itu tidak menjawab. Tapi, ia terus memelototiku seperti meminta penjelasan. Lantas aku mulai menceritakan kejadian di depan rumah beberapa jam yang lalu saat perjalanan pulang….
Sepulang dari kantor, aku melihat seorang perempuan tua berjalan terpincang-pincang di jalanan ke arah rumah. Aku berhenti dan memarkirkan motor di pinggir jalan.
Ada segepok sapu lidi dan segulung keset kain yang disunggi perempuan tua itu. Perempuan itu, mendadak mengingatkanku pada ibu. Entah siapa yang berbisik ke telingaku, tiba-tiba aku menyeru, memintanya berhenti.
“Jualan apa, Nek?” tanyaku. Perempuan tua itu tersenyum canggung sambil menurunkan barang-barang yang ia panggul di atas kepala.
“Oh, ini sapu, Mas, ada keset juga, silakan kalau mau,” kata perempuan tua itu seraya menyebutkan harga per biji sapu dan keset dagangannya. Harga yang menurutku sangat murah.
Satu harga sapu lidi dagangannya bahkan mungkin tak cukup untuk membeli satu mangkuk bakso di kedai bakso langganan istriku. Tanpa pikir panjang, aku memborong semua barang dagangan yang ia bawa. Ia sedikit kaget lalu mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Lima kali ucapan terima kasih. Aku menghitungnya.
Selepas barang dagangan itu berpindah ke tanganku, aku pun bertanya di mana ia tinggal. Dan ia pun menjawab bahwa ia tinggal di sebuah desa kecil yang kemudian kuketahui jaraknya sekitar 15 km dari tempat di mana kami bertemu.
Lumayan jauh. Bahkan sangat jauh untuk seorang pejalan kaki. Dan iya, perempuan tua itu berjalan kaki dengan beban berat di atas kepala dengan kaki terpincang-pincang.
Setelah membayangkan jerih payah yang ia lalui di sepanjang jalan, aku bertanya lagi dengan siapa ia tinggal. Ia pun menjawab, ia tinggal bersama tiga cucunya. Ibu dari cucu-cucunya sudah tidak ada dan ayah dari cucu-cucunya hanya seorang buruh tani.
Ketika bercerita perihal cucu-cucunya, suara perempuan tua itu menjadi goyah dan aku melihat jelas ada air mengembang di pelupuk matanya. Demi melihat wajah hitam kusam penuh kerut itu, mataku ikut perih. Dadaku tiba-tiba sesak.
Sampai perempuan itu berlalu dari hadapanku dengan langkah terpincang-pincang, sesak di dadaku tak juga hilang, malah kian memuncak. Dan sepanjang perjalanan menuju rumah, tak henti-henti aku memikirkan perempuan tua itu. Sampai tiba-tiba istriku datang dengan wajah tertekuk lalu mengomel gara-gara tidak jadi jalan-jalan ke Lombok.
Mendengar cerita itu, istriku terdiam, menatap sapu dan keset yang teronggok di lantai.
“Dua harapan yang sama-sama besar,” kataku, “Yang satu jalan-jalan ke Lombok dan yang satu sapunya terjual habis.”
Istriku tidak menyahut. Kami sama-sama diam hingga beberapa detik berselang telepon genggamku berdering. Sebuah telpon dari seorang editor di sebuah penerbit. Sebuah kabar baik. Naskah novelku diterima.
“Harapanmu terkabul, satu kosong,” bisik istriku ikut girang.
Malam harinya, istriku mengeluh pusing. Pada pagi hari berikutnya ia izin tidak masuk kerja, katanya perutnya mual-mual.
“Masa iya saya hamil,” lirihnya tidak yakin, tapi saya melihat matanya penuh binar.
Entah siapa yang membisikkan ke telinga saya, tiba-tiba saya membalas, “Tuhan maha tahu harapan hambaNya.” ***
.
.
Malang, 2021-2023
Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Tulisannya terpercik di berbagai media. Buku terbarunya “Sawitri dan Tujuh Pohon Kelahiran”, 2018. Kini bermukim di Malang.
.
Nazar. Nazar.
Leave a Reply