Nisa dan Ana sedang bercengkrama di selasar madrasah, ngobrol tentang banyak hal, terutama masalah sekolah adik-adik mereka. Pasalnya, tiga adik Nisa, terutama Hilda, sering masuk daftar hitam di kelasnya.
“Kan kamu tahu sendiri, Na, ponselku dipakai buat semua di keluarga, jelas dong suka error. Nah, pas aku nyuruh Hilda minta maaf ke wali kelasnya, karena suka telat ngirim tugas, yang paling lucu, gurunya bilang apa coba?”
“Apa?” kata Ana
“Suruh siapa punya banyak anak.”
“Serius?”
“Seriuslah, Hilda langsung nangis dong.”
Ana juga membicarakan banyak hal tentang Destia. Dia anak yatim yang ngaji di madrasah, betul-betul tidak punya ponsel dan sanak-saudaranya sangat jauh.
“Aku baru tahu, Nis, Destia itu masuk daftar hitam dua Minggu berturut-turut. Bayangkan, nggak ada pergerakan apa pun dari guru-gurunya, kecuali memasukkan namanya ke daftar hitam.”
Mereka berdua sangat asyik bercengkrama sampai berhenti ketika Bi Nunung teriak-teriak mencari anaknya. Begitu keras. Sampai-sampai tetangga berhamburan keluar rumah.
“Ada apa, Bi Nunung?” kata Mang Hendra, pemilik warung di kampung itu.
“Si Cikal dari tadi nggak ada, ini tugasnya belum selesai, mana sudah jam sebelas lagi, aduuuhhh eta budak! Gustiiii…”
“Bi Nunung nyari Cikal? Tadi Aden liat di Warnet Bi Uti.”
“Astaghfirullah! Cikaaaaaalll…” Bi Nunung terlihat frustrasi. Tidak lama dari itu, Bi Nunung langsung lari ke Warnet Bi Uti untuk mencari Cikal.
Lalu Bi Nunung kembali lagi, para tetangga menunggu kabarnya, tapi ibunya tidak menemukan Cikal di Warnet Bi Uti. Akhirnya, para tetangga ikut mencari Cikal ke sana-kemari.
Di tengah-tengah pencarian Cikal, Aden memberi tahu Bi Nunung bahwa Cikal dari tadi bersembunyi di lubang beduk masjid. Sontak Bi Nunung dan para tetangga langsung menuju beduk masjid. Sesampainya mereka di depan beduk masjid, Cikal membuka kain yang menutupi tubuhnya sambil bilang, “Prankkk…Ha ha ha ha!” tawa Cikal disambung Aden dan tawa para tetangga.
Bi Nunung hanya diam, membisu beberapa saat dan terus menatap Cikal, sampai semua orang terdiam. Suasana pun hening. Bi Nunung terlihat sangat kesal dan marah kepada anaknya itu.
“Cikal, kenapa kamu berbuat seperti itu?” tanya Mang Hendra.
“Ini untuk konten, biar dapet duit atuh Mang, sekarang kan lagi musim konten nge-prank.”
Tidak lama dari itu, Bi Nunung membawa pulang Cikal sambil menuntun tangannya dengan erat.
***
Selepas pengajian malam di madrasah Pak Kiai, terdengar teriakan seorang perempuan yang melengking penuh kepedihan. Para tetangga berhamburan, berduyun-duyun menuju sumber suara. Ternyata, sumber suara itu berasal dari rumah Bi Nunung. Di rumahnya, dia sedang memeluk Cikal.
“Pak, sudah Pak, kasihan Cikal dari tadi disiksa terus,” parau Bi Nunung meminta suaminya untuk berhenti menyiksa Cikal.
“Dia anak yang keterlaluan, sudah berapa hari Cikal masuk daftar hitam di sekolahnya?!” teriak Mang Jaja, ayahnya.
Pak Kiai segera datang menghampiri Mang Jaja, sedangkan Nisa dan Ana mendekat ke Cikal dan Bi Nunung. Pak RW dan Pak RT berusaha untuk menenangkan warga yang ingin melihat keadaan rumah Bi Nunung.
Ana mendekap Cikal, dan Nisa memberi minum Bi Nunung. Bi Nunung hanya bisa menangis, tersedu-sedu. Cukup lama Mang Jaja dan Pak Kiai berbicara, tetapi Cikal tak kunjung sadarkan diri.
“Nis, tolong cek nadi Cikal, cepat Nis!” seru Ana.
Nisa memang kuliah di jurusan keperawatan, tentu pasti paham cara menangani Cikal. Nisa pun segera merasakan nadi Cikal.
“Gimana Nis?”
Nisa hanya bisa menatap wajah Ana, lalu meneteskan air mata. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Nisa mengucapkannya sambil terbata-bata, kemudian memeluk erat tubuh Bi Nunung. Para warga berbisik-bisik saling melempar pertanyaan tentang kejadian ini. Bi Nunung berteriak sekali lagi sangat kencang, menyebut nama Cikal, anak semata wayangnya. Pak Kiai dan Mang Jaja tentu kaget melihat Cikal yang kini terbujur kaku.
Bi Nunung melempar semua benda di sekitarnya, memecahkan piring dan gelas, hingga memukul-mukul Mang Jaja. Pak Kiai tidak dapat memisahkan mereka karena tenaganya tidak cukup kuat untuk menghalau, akhirnya dibantu oleh Pak RW dan Pak RT. Sebagian warga membantu Nisa dan Ana untuk memindahkan jenazah Cikal. Suasana rumah Bi Nunung begitu mencekam, anak kesayangannya “dibunuh” oleh suaminya sendiri. Mang Jaja tidak berucap sepatah kata pun. Tatapannya kini menjadi kosong dan berurai air mata. Para warga hanya bisa membantu Bi Nunung yang kini terkulai lemas meratapi kepergian Cikal. Perasaan Bi Nunung kini entah apa namanya, menyaksikan anaknya sendiri disiksa sampai mati itu adalah pengalaman cukup pedih, tidak, bahkan lebih dari pedih.
Aden, sahabat Cikal, hanya bisa menangis meratapi kepergiannya yang begitu tragis. Aden tidak pernah menyangka malam ini Cikal akan pergi untuk selama-lamanya.
“Andai saja korona tidak ada, mungkin kita semua sekolah, tanpa ada yang namanya daftar hitam,” bisik Aden kepada Ana. Ana hanya bisa mengangguk, karena dia juga kehilangan anak yang paling ceria di madrasah.
***
Keesokan harinya Cikal dimakamkan, Bi Nunung yang masih lemas dan bermata sayu itu tiba-tiba marah ketika Mang Jaja turun ke liang lahat.
Mang Jaja tetap bersiap-siap untuk mengazani anaknya dan para warga tidak bisa berkata apa-apa selain ikut bersedih karena kehilangan Cikal. Namun, polisi dengan cepat tiba di pemakaman untuk menangkap Mang Jaja. Bi Nunung dan Mang Jaja hanya bisa saling menatap. Tatapan yang tidak mampu dibahasakan.
“Pak Polisi, biarkan saya mengazani anak saya terlebih dahulu. Dia lahir, saya yang mengazani. Biarkan saya juga yang mengazani anak saya untuk yang terakhir kali.”
Polisi bersedia menunggu mendengarkan suara azan yang terbata-bata dan penuh penyesalan dari bapak untuk anak yang telah tiada. Selepas pemakaman Cikal, Mang Jaja pun dipenjara.
Karena kejadian ini, semua media membahas kematian Cikal dan disangkutpautkan dengan metode belajar daring yang diterapkan di sekolahnya. Para guru menjadi narasumber di setiap berita, tetapi pernyataan mereka tentang adanya daftar hitam tidak pernah diakui sebagai senjata untuk mengancam anak agar tetap mengerjakan tugas.
Atas izin Pak Kiai, Nisa dan Ana memulai aksinya. Mereka berdua mengunggah informasi ke akun media sosial tentang pemberlakuan daftar hitam dengan melampirkan screenshot chat wali kelas berisi nama-nama murid yang berada di dalam daftar hitam, tidak lupa mereka juga menyertakan tagar #RIPCikal dan #KorbanPendidikanIndonesia.
Atas unggahan mereka di akun-akun media sosial, akhirnya kabar ini tersebar luas hingga tercium oleh media-media mainstream nasional. Hilda beserta dua adiknya, Destia, Aden, dan seluruh anak di kampung yang bersekolah di SD tersebut bisa bernapas lega, karena kini “daftar hitam” sudah tidak diberlakukan, dan beberapa guru yang menerapkan daftar hitam telah dicabut izin mengajarnya oleh Dinas Pendidikan.
Karena anak-anak di kampung kesulitan dalam mengerjakan tugas daring, terlebih latar belakang pendidikan orang tua rendah, akhirnya Ana mengajak Nisa dan pemuda lain untuk membuka Posko Belajar Daring secara sukarela. Posko ini dinamakan Durarang Dariring.
Ide cemerlang ini tentu disambut baik oleh warga. Warga banyak memberi dukungan kepada pemuda-pemudi dengan bergotong-royong membersihkan Balai Kampung setiap pagi, ada pula yang memberi makan dan minuman, hingga bersedia merapikan sandal-sandal yang berserakan di luar Balai.
Selama mengajar anak-anak kampung, tentu direkam menggunakan alat-alat elektronik yang dimiliki Kang Aldi, anaknya Pak RW, dan diunggah ke media sosial. Karena itu, Posko Durarang Dariring banyak menginspirasi masyarakat Indonesia yang tinggal di pelosok-pelosok daerah. Uang yang didapatkan dari unggahan video ini digunakan untuk memasang WiFi dan berbagai fasilitas lain, bahkan mereka menyalurkannya untuk diberikan kepada kaum dhuafa dan yatim-piatu.
“Ana, kenapa namanya Durarang Dariring?” tanya Pak RW saat Ana dan rekan-rekannya rehat di Balai Kampung.
“Aku teringat Cikal, Pak. Dia suka menggerutu di depan Bi Nunung ketika mau belajar.”
“Menggerutu bagaimana, Na?”
“Sakola teh durarang dariring lagi durarang dariring lagi! Begitu kata Cikal Pak,” sahut Ana sambil terkekeh-kekeh. (37)
Mila NA lahir di Bandung, 22 September 1995. Beberapa karyanya antara lain: antologi puisi tunggal berjudul Zabaniyah (2016), antologi puisi Geometri Kata-Seni Bandung Ke-1 (2017), antologi cerpen Ziarah Sebutir Peluru-LPM Suaka UIN SGD Bandung (2017), dan antologi puisi Cicalengka dan Kita (2018).
Leave a Reply