Cerpen Dody Widianto (Suara Merdeka, 11 Juni 2023)
SEHARUSNYA warna langit yang kelabu akan menerjunkan butir-butir bening dari angkasa dengan irama yang ritmis. Juga aroma yang manis. Namun, entah kenapa satu suara malah membuatku ingin menangis.
Prakkk!
Suara itu berulang. Beruntung, piringmu sudah kuganti dengan piring plastik. Sudah kuduga jika kau tak akan menerima suapanku. Berusaha menampik semua isi dari piring di tanganku. Sayur tumis kentang dan telur balado kesukaanmu berhamburan di lantai sebelah ranjang. Nasinya berjajar sepanjang tepi seprai mirip deretan telur semut rangrang. Kujawab dengan mengulum senyum. Di depanmu, ada hal lain yang mewajibkanku ekstra sabar. Aku paham bagaimana cara melayanimu dalam kelembutan.
“Kenapa dia ikut menangis? Tahu apa dia!”
Kamu terus menunjuk-nunjuk ke luar jendela. Berteriak hal itu berulang-ulang. Langit memang terus menggelap biarpun tabuh Zuhur baru saja datang. Gerimis perlahan mendera. Dedaunan pohon angsana di pojok halaman rumah kita mendadak mengilat hijau keemasan seperti habis mandi. Namun, bukan itu. Kamu paling suka melihat butiran gerimis yang terperangkap dalam liukan tepi daun gelombang cinta milikmu. Persis di sebelah jendela kamar. Kamu selalu menunggu butir itu menggelinding ke pucuk. Kamu tunggu ia jatuh. Satu detik. Dua detik. Enam detik. Tiga ratus tiga puluh lima detik. Seterusnya. Kamu masih sabar dan setia menunggu butir bening itu jatuh, walau ia tak jatuh-jatuh. Persis seperti kesabaranmu merawat keluarga kita. Seperti kesabaranmu menunggu satu jawaban jatuh dari angkasa.
“Langit tak pernah menangis. Tetes hujan itu membawa pesan berantai yang Tuhan sampaikan demi amanat kemuliaan. Untuk gunung dan aliran sungai pesan itu ditujukan. Bertemu di laut, pesan itu terangkat lagi ke langit. Dari langit pesan itu dijatuhkan dalam butir-butir air. Dikembalikan lagi ke bumi agar kehidupan ini terus bertahan. Begitulah alam terus berjalan. Mungkin kau tak begitu paham apa yang kukatakan, tetapi ….”
“Pergiii!”
Kamu berteriak lebih keras dari tadi. Tak ada yang bisa kulakukan jika sudah begini. Akan lebih baik menunggu marahmu mereda atau menunggu gerimis juga ikut berhenti. Aku tak pernah mengerti kenapa kamu selalu menghubungkan tetes hujan dengan sesuatu yang berkelindan di tempurung kepala. Sampai sekarang pun aku masih mencari jawab dan terus meraba-raba.
“Pergi!”
Aku membalas teriakanmu dengan senyuman. Kamu malah melempar selimut yang kamu pakai, merobek kerah bajumu dengan kasar, meremas-remas perutmu, lalu menjambak rambutmu sendiri dengan napas tersengal. Kemudian berguling-guling di lantai sudut kamar. Menangis sesenggukan. Aku menepikan kursi plastik demi melihatmu agar lebih leluasa dan tenang. Kamu malah menendang kursi itu. Andai saja aku tak menghindar, kursi plastik yang roboh itu pasti telah membentur kakiku. Diam adalah jawaban yang tepat untuk saat ini.
“Tenang di sini ya. Aku ambilkan lagi. Tak lama,” kutempelkan telunjuk ke bibirku.
Kubuka pintu kamar perlahan-lahan. Membawa langkah menuju ruang tengah yang bersebelahan dengan dapur. Di sana, sebuah sajian terhidang di meja. Sama persis dengan yang kamu berikan untuk perempuan yang kamu sayang di kamar. Tumis kentang dan telur balado.
Kudengar langkah kaki samar di belakangku. Kamu tiba-tiba telah berdiri di sana. Aku mengangguk. Menarik kursi plastik menjauhi meja. Memberi tanda agar kamu duduk di sampingku. Kursi di sebelahku kosong. Aku belum selesai menyiapkan lagi makanan untukmu. Kamu menggeleng. Menolak. Beralasan istrimu belum mau makan di kamar. Aku malah ikut menggeleng. Tak tahu kenapa air mukaku berubah. Urat-urat bawah mataku tiba-tiba memerah. Sorot mataku nanar. Berusaha meredam upaya pembangkangan.
“Sampai kapan kamu akan terus di kamar? Bukankah tetes hujan tak pernah datang sendirian? Ia selalu dipinta Tuhan untuk datang secara bersama-sama. Agar tanamanmu segar kembali. Agar rumput layu di halaman tegak kembali dan kegersangan segera pergi. Kamu memang sudah berjanji disaksikan langit dan bumi tidak hanya menikahi raganya, tetapi jiwanya. Namun, tangisan dan ratapanmu dalam kesendirian tak akan pernah mengubah masa lalu. Kamu lihat langit terus bersedih, padahal sebenarnya bumi sedang bergembira. Mulai saat ini, berhentilah menyesali segala yang telah terjadi. Belajarlah. Yakinlah jika setelah hujan datang, akan ada yang tumbuh lebih indah.”
Kamu ngotot menggeleng. Mempersiapkan lagi sepiring nasi, lauk, dan sayur yang kauambil dengan tanganmu sendiri. Kamu bilang istrimu belum juga mau makan. Kasihan dia. Kamu malah gegas menyeret langkah menjauhiku setelah selesai menyiapkan semuanya.
Sesampainya di depan pintu kamar, sebelum masuk, mata kita sempat bertemu dalam tatap. Kepalamu refleks menoleh. Melihat rambut panjangku telah penuh uban. Pakaianku pun kumal. Kamu masih terus saja mengamatiku dalam tatap penuh kecurigaan. Aku tak tahu sejak kapan harus sangat peduli padamu. Kerutan di dahiku kian menebal saat terus memandangmu.
Prakkk!
Kamu menoleh tepat saat aku telah berdiri di depan pintu ketika satu suara membuatku ingin masuk kamar. Aku melihatmu masih terduduk di tepi ranjang. Kamu bilang istrimu belum juga mau makan.
“Kenapa terus menolak? Apakah mereka sakit?”
Aku mendekat. Menunduk. Menatapmu lekat-lekat. Perlahan duduk di sebelahmu. Gerakan tanganku melambat. Perlahan aku memelukmu. Kamu berontak. Merasa aneh. Namun, pelukanku lebih erat dan semakin lekat. Di antara lengan yang melingkari lehermu, samar kudengar suara sesenggukan di bawah sana. Lalu pecahan puzzle gambaran masa lalu yang berserak di kepala perlahan aku satukan kembali. Satu demi satu.
Masih jelas di ingatanku, ketika kita baru pulang dari luar kota sebab menjemputku, di lantai ruang tamu rumahmu, aku melihat jejak noda darah berceceran ketika deru mobil di halaman belum berhenti. Dalam degup jantung yang tak beraturan, aku gegas berlari ke kamar. Merasa hal ganjil telah terjadi. Dan di depan pintu kamar, tubuhku mendadak kaku. Napasku seolah terhenti di tenggorokan. Melihat menantu dan cucu lelakiku tergolek tak berdaya dengan luka menganga di leher dan dada. Jendela kamar tercongkel. Harta berharga dan uang di lemari lenyap. Seprai dan bantal acak-acakan, saling mengait, seolah sedang berpelukan dalam ketakutan. Tepian kaca jendela meninggalkan bercak-bercak merah. Mirip butir gerimis yang menahan marah. Sejam setelah itu, polisi berdatangan. Melingkari rumahmu dengan tali garis pembatas. Dan kemudian, kerumunan orang berjajar sepanjang pekarangan.
Aku tak tahu bagaimana lagi mengartikan untukmu tetes hujan yang terus turun dari angkasa. Dalam pelukan orang yang asing bagimu, kamu terus saja lekat menatapku. Tak peduli diorama kelabu gerimis di luar jendela yang menyisakan bercak-bercak bulat bening di kaca. Dari ujung matamu, tiba-tiba kamu meneteskan butir bening hingga menggelinding ke pipi. Wajahmu mendadak layu. Di dadaku, kamu sedikit mendongakkan kepala. Aku menampakkan rona bahagia ketika tiba-tiba mulutmu membuka dan kamu menerima suapanku.
Di tengah ranjang dengan seprai motif bunga birkin biru dan ungu, dua guling bersandar. Bersisian. Nasinya menempel di kedua sarung gulingnya. Membentuk barisan mirip telur semut rangrang. Sebutir telur balado yang tergigit sebelah tergeletak begitu saja di atas seprai. Di luar, langit kemudian menggelap. Rintik gerimis mengeras. Hujan menderas. Sederas hujan yang juga turun dari matamu. Hujan yang terus saja menumbuhkan satu pertanyaan di kepalamu, kenapa langit ikut-ikutan menangis? Tahu apa dia?
“Setelah aku selesai, suapi mereka berdua juga ya.”
Kamu gegas mencium dua guling itu bergantian. Memeluk mesra. Tepat saat hujan di luar makin deras mendera. ***
.
.
—Dody Widianto lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai buku antologi dan media massa nasional.
.
Tetes Hujan Tak Pernah Datang Sendirian. Tetes Hujan Tak Pernah Datang Sendirian.
Leave a Reply