Cerpen Baron Yudo Negoro (Koran Tempo, 07 Mei 2023)
SAAT aku kanak-kanak, Bapak mengajakku jalan-jalan dengan sepeda jengkinya, pada Minggu pagi, ketika hujan tiga hari telah reda dan udara membawa aroma tanah dan daun-daun basah. Aku membonceng di belakang. Kami melewati Jalan Soekarno Hatta dan menepi di depan bangunan murung tak terurus yang telah dimakan usia.
Bangunan itu dulunya diskotik. Bapak pernah bekerja di sana dan menjadi saksi kematian seorang lelaki putus asa. Nama lelaki itu Priambodo. Ia prajurit, tetapi bukan kolonel. Orang-orang memanggilnya kolonel karena, sepulang dari bertugas, prajurit kurang waras itu mengaku dirinya seorang kolonel. Kematiannya disiarkan di radio, dipampang di halaman depan koran-koran dan membuat para petinggi militer mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya, terutama bagi keluarga yang ditinggalkan.
Semestinya Bapak tak perlu bercerita di meja makan, saat kami sedang makan malam. Aku saat itu berusia 8 tahun. Cerita tentang kolonel terlampau sadis untuk anak seusiaku—cerita itu membuatku bermimpi buruk tiga malam berturut-turut. Ibu bahkan memprotes, meletakkan sendoknya ke piring hingga menimbulkan bunyi seperti kaleng terbanting.
“Dia sudah cukup umur,” kata Bapak.
Dulunya, rumah kolonel berseberangan dengan rumah lama Bapakku, warisan dari kakekku. Kata Bapak, kolonel pernah ditugasi ke Pulau Timor, pada akhir 1975, untuk merebut kota penting di sana dari tangan Falintil, pasukan terlatih didikan Portugis. Padahal, ia saat itu baru saja menikahi seorang bunga Desa Waratama bernama Kinarsih.
Setelah tugasnya selesai, kolonel pulang ke Jawa tetapi tidak sendirian; ia membawa seekor anjing pincang yang ditemukannya di sana. Ia tak pernah lagi bertugas setelah kepulangannya, dan warga kampung punya beberapa dugaan, tetapi Bapakku tak menceritakan ini kepadaku. Tak penting, katanya.
Setiap pagi kolonel menyirami tanaman di pekarangan rumahnya, mencuci sepeda motor bebeknya, dan memandikan anjing pincangnya sambil bernyanyi dengan bahasa yang sulit dimengerti. Kelak, Bapak akhirnya tahu bahwa kolonel bernyanyi dengan bahasa Portugis. Yang membuat kolonel menjadi monster di hadapan warga kampung, ia selalu membawa pistol, terselip di pinggang.
Pernah suatu sore, seorang warga menarik gerobak songkro melewati rumah kolonel. Roda gerobaknya tersangkut batu tiba-tiba, dan Bapak keluar rumah untuk membantu mendorongnya. Setelah lolos dari batu, roda gerobak itu oleng, lalu berderak kencang hingga Bapak mengucap istigfar.
Tak lama kemudian, mereka menyadari bahwa kolonel telah mengacungkan pistol. Mereka mengangkat tangan, dan kaki Bapak gemetaran, membayangkan malaikat maut menjemput sebentar lagi.
“Darpo—si pemilik gerobak—bukan hanya keringatan, tapi juga pucat,” kata Bapak.
Untungnya, pintu rumah kolonel kemudian terbuka dan Kinarsih, istrinya, berlari cepat menghampiri hingga dadanya naik turun di dalam daster.
“Kau sudah gila!” seru Kinarsih.
“Aku kira mereka Falintil.”
Dengan rona wajah datar, kolonel menyelipkan pistolnya lagi ke pinggang.
“Ini kampungmu, bukan medan pertempuran!” Kinarsih melotot.
Kolonel terdiam sambil menatap istrinya. Ekspresi wajahnya kosong, benar-benar kosong, seakan-akan pikirannya terbang ke langit.
“Berikan pistol itu!” bentak istrinya.
Kolonel menolak dan percekcokan terjadi kemudian hingga Pak RT datang untuk mendamaikan pasangan itu. Perdamaian mengalami jalan buntu; kolonel tetap tak mau menyerahkan pistol itu. Beberapa aparat sempat dipanggil untuk datang, tetapi mereka aparat goblok.
“Kami berhadapan dengan kolonel, Pak!” kata seorang aparat kepada Pak RT dan sejumlah warga.
“Dia bukan kolonel!” kata Pak RT.
“Apa pun itu, dia pernah perang beneran!” kata si aparat.
Aparat-aparat itu pun pergi dengan badan tetap tegap. Dan sejak saat itu, warga selalu menghindari jalan depan rumah kolonel, mencari jalan lain yang lebih jauh bila perlu.
Entah apa alasannya—seringnya, orang kurang waras memang tak punya alasan atas tindakannya—kolonel tiba-tiba muncul di lapangan kampung, pada suatu sore, bermain sepak bola bersama anak-anak kampung di bawah langit yang memerah. Ia meninggalkan anjingnya di bawah rimbun pohon mangga, yang kemudian anjing itu berjalan dengan kaki pincangnya menuju tumpukan sampah dan mengais-ngais sampah itu.
Warga tidak hanya terheran-heran melihat kolonel, tetapi juga merasa ngeri, terutama saat kolonel mencetak gol. Ia melepas kaus dan berlari keliling lapangan dengan girang. Ia lalu berjongkok, menembaki anak-anak itu dengan jari telunjuknya.
“Der, der, der, der!” katanya.
Anak-anak itu lalu pura-pura tumbang dan kolonel berteriak, “Falintil jahanam!”
Di sore lain, kolonel membawa kayu-kayu bambu ke halaman rumahnya. Dengan kayu-kayu itu, ia merakit senapan mainan dan memberikannya kepada anak-anak kampung.
Lapangan kampung menjadi sepi karena anak-anak itu asyik bermain perang-perangan di hutan bambu, menyelinap di balik batang-batang pohon bambu, merayap di semak-semak, dan membuat benteng dari tumpukan batu. Mereka bahkan berkejar-kejaran hingga ke tepi sungai yang deras arusnya pernah menghanyutkan pohon tumbang.
Warga menjadi geram karena di hutan banyak ular dan kalajengking. Dan mereka tak mau jika anak-anak mereka lenyap terseret arus, kemudian ditemukan di sungai desa tetangga. Yang paling mereka takutkan adalah apabila anak-anak mereka diculik hantu-hantu penunggu sungai. Jika benar itu terjadi, dapat dipastikan mereka tak pernah kembali—ini tak pernah terjadi. Tentunya, selain itu, warga tak ingin anak-anaknya berdekatan dengan seorang lelaki berusia 31 tahun yang gemar membawa pistol di pinggang.
Ditemukan beberapa hari setelahnya, tiga ekor ayam milik seorang warga kepalanya ambrol, tergeletak mati dan menumpuk di selokan kering dekat langgar. Tersangkanya adalah anak-anak itu. Mereka menggempur ayam-ayam itu dengan sempalan paving, yang mereka pungut dari depan langgar yang sedang dalam renovasi. Kata seorang warga, mereka melakukannya sambil berulang-ulang berteriak, “Mampus kau, Falintil!”
Seperti yang sudah-sudah, warga tak berani memprotes. Yang mereka lakukan hanyalah bergunjing. Ibu-ibu bergunjing pada sore hari, sambil menyapu sampah dan daun-daun kering yang berserakan di jalan. Bapak-bapak bergunjing di gardu ronda pada malam hari, sambil menikmati kopi, rokok, dan seplastik kacang kulit.
Gunjingan itu ternyata sampai ke telinga Kinarsih. Percekcokan terjadi lagi antara kolonel dan istrinya, tetapi kali itu fatal; Kinarsih meninggalkan rumah dan kolonel hanya tinggal bersama anjing pincangnya.
Tentunya warga menyangka bahwa alasan kepergian Kinarsih adalah tak tahan dengan ulah kolonel. Namun, beredar pula gosip-gosip bahwa, saat di Pulau Timor, kolonel sempat tertangkap, kemudian disiksa habis-habisan oleh pasukan Falintil hingga tongkat pusakanya tak berfungsi, mengakibatkan nafkah batin untuk Kinarsih tak tercukupi. Untuk cerita yang satu ini, Bapak yakin bahwa warga mengada-ada.
Suatu malam setelah kepergian Kinarsih, Bapak dan pelayan-pelayan lain dikejutkan oleh kedatangan kolonel di diskotik. Ia mengenakan seragam loreng dan berjalan dengan ketegasan seorang kolonel; penuh wibawa dan kehormatan. Ia seumpama Nabi Musa di tepian Laut Merah; derap sepatu larsnya membuat kerumunan terbelah.
Ia duduk di bangku meja bar, menyapa Bapak dan memesan whiskey darinya. Mereka kemudian berbicara dengan teriakan karena lagu-lagu yang diputar di tempat itu tidak cuma menyebabkan orang harus berteriak jika mau bicara, tetapi juga membuat lantai dan perabot-perabot bergetar serta mengakibatkan jantung terpacu.
“Kau tahu, semua orang tak peduli padaku!” teriak kolonel. “Kinarsih minggat, kawan-kawanku enak-enakan di surga. Mereka semua pengkhianat!”
“Semoga mereka diterima di sisi-Nya!” teriak Bapak, sambil mengelap gelas-gelas dan merapikannya ke dalam rak.
“Satu-satunya yang masih setia padaku hanyalah anjingku!”
Kolonel lalu bercerita bahwa anjingnya datang secara tak terduga pada malam hari, ketika ia dan rombongan prajurit lain menyelinap dalam gelap di sebuah pedalaman Pulau Timor. Saat terjadi baku tembak antara mereka dan pasukan Falintil, anjing itu hanya berdiri di samping kolonel dengan lidah terjulur, seakan-akan tak terganggu kebisingan letus senapan. Dan ia tetap berdiri saat kolonel menyadari bahwa kawan-kawan di kanan-kirinya mati ditembus peluru. Sejak saat itu, kolonel selalu membawa anjing tersebut dalam pertempurannya.
“Dia anjing hebat!” gumam kolonel dengan muka mencium meja.
Pukul tiga pagi, Bapak siap-siap pulang, mengemasi barang-barangnya ke dalam tas, kemudian keluar diskotik sambil menuntun kolonel yang tengah mabuk. Betapa terkejutnya ia saat membuka pintu diskotik; anjingnya kolonel berdiri di tengah parkiran, setia menunggu tuannya.
Kata Bapak, kolonel datang lagi pada malam berikutnya, memesan minuman yang sama, dan berakhir dalam kondisi serupa. Malam demi malam seperti itu terus, hingga Bapak lelah karena kerepotan membawanya pulang. Andai kata kolonel tak punya pistol, kata Bapak, ia pasti kuseret.
Namun, pada suatu hari, Bapak terbangun seperti biasa di kala hari telah sore. Ia menyibak gorden, membuka jendela, dan mengernyitkan mata walaupun angin menepuk-nepuk wajahnya.
“Sedikit-banyak, aku pun minum saat jam kerja. Kau tahu, minuman keras akan membuat kepalamu berat, matamu berkunang-kunang. Karena khawatir mata ini menipu, aku buru-buru keluar rumah. Kau tahu, mata ini tak menipuku. Anjing si kolonel mati di jalan depan rumah!” Ketegangan memuncak saat Bapak menceritakan ini kepadaku.
Seorang tetangga mengatakan bahwa anak-anak kampunglah yang membunuh anjing itu. Sambil berulang-ulang berteriak, “Mampus kau, Falintil!” mereka beramai-ramai menggebuki anjing itu dengan kayu hingga anjing itu terkaing-kaing.
Kampung sepi seketika saat kolonel menemukan anjingnya tak bernyawa. Ia berlutut di bawah langit senja, memeluk bangkai anjingnya, menangis seperti anak kecil kehilangan ibunya, dan baru beranjak ketika hari telah gelap.
Dari jendela rumah, Bapak hanya mengintip.
Kata Bapak, “Entah kenapa aku saat itu sedih melihatnya. Maksudku, dia seorang prajurit. Yang membuatnya hancur-lebur bukan peluru, tetapi kematian seekor anjing pincang. Aku tentu tak tahu apa yang menimpanya di Pulau Timor. Tetapi sepertinya anjing itu sangat berharga untuknya.”
Malamnya, kolonel datang lagi ke diskotik. Ia seperti orang linglung. Setelah memesan whiskey, ia berjalan ke sudut diskotik, duduk sendirian, mengamati orang-orang berdansa di tengah gemerlap lampu yang memedihkan mata, dengan irama lagu bit cepat yang terus berdentum. Ia lalu mencabut pistol dari pinggang, menembak kepalanya sendiri. Dor! ***
.
.
Baron Yudo Negoro adalah seorang buruh di Semarang, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya pernah dimuat di media massa.
.
Hari Terakhir Kolonel di Diskotik. Hari Terakhir Kolonel di Diskotik. Hari Terakhir Kolonel di Diskotik. Hari Terakhir Kolonel di Diskotik.
Leave a Reply