Cerpen Martin Aleida (Kompas, 18 Juni 2023)
BERULANG kali. Tak terhitung. “Mas..,” bujuknya. Suaranya gemetar terpantul dari jendela kaca. Aku merapat ke punggungnya. Mengikuti arah nanap matanya. Membelai pundaknya, mendamaikan gedebur gelombang perasaan yang tak kuasa dia arungi.
“Lihat Mas,” telunjuk mengarah ke kanal di bawah. “Itu Ibu…,” katanya untuk kesekian ratus kali dalam sekian tahun, sejak kami mendamparkan diri di Belanda ini. Dia membujuk mataku menyisir tubir tebing yang lengang. “Mas, lihat… Ribuan kawan-kawan Ibu berjejer menunggu kapal yang akan mengangkut mereka ke pulau pembuangan. Menggunakan kapal perang. Ke mana lagi kalau bukan ke Buru….”
“Lihat,” dia merengkuh bahuku. Menunjuk dengan jari gemetar, ucapnya dengan lenguh napas yang berdesakan. “Itu tuh… Yang itu, Ibu,” deru suaranya sambil merapatkan kening ke jendela. “Ya, yang di tengah itu. Yang kebayanya merah compang-camping. Cepat telepon, panggil polisi. Selamatkanlah Ibu, Mas! Ini kejahatan luar biasa di negara si penjajah ini.”
Lagi-lagi aku tak bergerak memenuhi permintaan yang sudah tak terhitung berapa kali didesakkannya. Yang ditunjuknya di sepanjang kanal itu tak-lain-tak-bukan hanyalah tebing dengan pepohonan yang kesepian, sesekali diterpa riak yang keruh. Kalau musim dingin, tepi kanal itu berselimut salju. Di musim seperti itu, bukan salju yang dia lihat. Bukan pepohonan yang berjejer membeku. Tetapi, Ibunya. Mertuaku. Yang keberadaannya entah di mana di hamparan pulau, nun jauh di bawah sengat Khatulistiwa….
Rubiah tak kuasa mengatasi gelombang yang berdesakan di dalam dirinya, menyusul runtuhnya Tembok Berlin. Terutama setelah dapat kabar yang sangat terlambat, tentang gerombolan yang dibiarkan tentara menyudahi hidup Ayahnya.
Kabar itu terlambat. Terlalu terlambat tibanya di Berlin Timur, tempat aku bekerja sebagai koresponden. Pekerjaan yang harus kutinggalkan sebagai dampak tercerai-berainya satelit Uni Soviet. Terutama untuk menghindari pengejaran oleh kekuasaan baru di Indonesia, yang mengirimkan dinas intelijen militer ke seluruh daratan, untuk membuat semua pembangkang “orde baru” berlutut. Yang menyebarkan pandemi kematian berdarah di seluruh negeri.
Kabar yang terlalu terlambat. Getir. Tambah meremukkan batin Rubiah. Begini bunyinya. Supaya tak merepotkan, tentara menunggu Ibunya melahirkan lebih dulu, barulah dijemput dengan bedil. Digiring ke luar rumah. Bersama bayi di dalam dekapan, dengan tali pusar belum mengering, Ibu dihardik supaya mempercepat langkah naik ke dalam truk. Dia dilarikan, dijorokkan ke dalam penjara Bukit Duri. Empat puluh hari kemudian, Tante bayi perempuan itu dipaksa datang ke penjara untuk mengemong pulang keponakannya. Ibu harus dibuang ke Plantungan. Si bayi disapih dari tetek yang suci. Ditinggalkan Ibunya, adik Rubiah paling bungsu itu terpaksa me-ngempeng pada tetek sapi dalam bentuk susu formula.
Pulang ke negeri sendiri adalah angan-angan yang sama dengan bunuh diri. Ibu Pertiwi sudah jadi negeri yang dikuasai jin. Tak siapa pun berani kembali, kecuali dalam angan-angan dengan bayang-bayang kengerian. Rubiah rupanya tak kuasa menanggungkan guncangan yang meremukkan jiwanya.
Kenyataan lain yang dia hadapi adalah keharusan menyingkir dari rumah kami di Berlin Timur. Meninggalkan flat, dengan hati yang berat seperti ditindih batu, mencari negeri tempat berlindung, entah di mana di daratan Eropa ini.
Sesungguhnya dia merasa nyaman hidup bersamaku. Apartemen kami cukup besar. Bukan bandingan dengan rumah kontrakan kami yang berdinding setengah papan separuh gedek di Paseban, Jakarta. Berada di sampingku, dia yang pernah belajar jurnalistik, dapat menyaksikan dari dekat bagaimana mengumpulkan bahan berita, menulis, dan mengirimkannya dengan jalan paling cepat ketika itu: mesin teleks.
Tembok Berlin sudah tumbang. Tak terhitung berapa yang tewas melompati tembok itu mencari kebebasan nyata atau sekadar fatamorgana. Sekarang, sudah tak perlu mempertaruhkan nyawa untuk melompat ke Barat. Aku tak tahu apa yang bergejolak di dalam dirinya. Rubiah menyetujui rencanaku, tanpa keragu-raguan barang sepatah kata pun. Barangkali, dia mengira, itu pilihan terbaik untuk bisa bergabung dengan Ibunya di atas truk menuju tanah pembuangan. Atau menitipkan kembang di arus air Bengawan Solo, berenang-renang mengantarkan wewangian untuk Ayah di surga.
Kami menumpang kereta api. Turun di stasiun Zoologische Garten. Sebagaimana yang diceritakan kawan-kawan dari Afrika, di stasiun itu tak ada pemeriksaan. Kami melenggang berpegangan tangan. Layaknya pengantin yang sudah lama ditunggu-tunggu melintas.
Menginjakkan kaki di Barat, yang dulu kami cerca, Rubiah tak berubah. Namun, dia menunjukkan sikap yang tak terjangkau pikiranku. Dia selalu meneteskan air mata ke kursi angkutan umum bila kami harus berpindah alat angkutan. Tambah merepotkan, sebab setiap kami menginap di hotel, dia selalu mendesak agar bantal dibawa serta ketika check–out. Rubiah tak bisa tidur di bantal yang tak dikenalnya. Dia seperti mencium aroma kematian di bantal yang tak pernah menjadi tempat rebah kepalanya. Jika ada kawan senasib, yang dengan senang hati mengajak menginap di rumah mereka, Rubiah menolak bantal tuan rumah. Diam-diam dia keluarkan sarung bantal dari tas jinjingnya.
Di Aachen, seorang kawan membawa kami ke pos pertemuan Jerman, Belanda, Belgia, di Les Trois Bornes. Yang jadi pembatas negara itu bukanlah beton sekokoh Tembok Berlin. Cuma garis lurus, terbuat dari lempeng metal, bertemu di satu titik. Daun-daun kering kedinginan menari-nari di atas tanah dipermainkan angin benua. Kawan itu mengatakan, titik pertemuan tiga negara itu ditemukan Tentara Merah Jepang. Mereka berpura-pura hiking untuk mencarikan penyeberangan bagi orang Indonesia yang bertekad meminta perlindungan di Belanda.
Keesokan harinya, begitu gelap merayap, kami sudah tinggal selangkah dari garis perbatasan. Sunyi sekeliling. Di depan, membentang hutan pepohonan yang ramah. Lantas batas negara yang terbuat dari baja, yang menghadang langkah kami. Apalah arti pembatas, walau baja, bagi niat yang ingin menyerahkan diri pada sehamparan daratan baru sebagai pilihan hidup. Getir memang, kalau kuingat. Waktu remaja, aku ikut gerilya memerangi Belanda. Kini, aku, dengan menempuh perjalanan jauh, mengendap-endap minta perlindungan di kaki Ratu Juliana.
“Apakah saya harus menelan kertas ini?” tanya Rubiah. Di tapak tangannya yang bergetar tergenggam surat, tentang Ibunya yang harus dibuang.
“Tidak. Itu akan memperkuat alasan kita minta suaka.”
Rubiah mengeluarkan sarung bantal dari tasnya. “Yang ini, Mas….” Aku mendekapnya. Mengecup matanya. Bibirnya. Menatap kecantikannya yang abadi dalam derai daun yang berjatuhan. Memang, kami dengar sejumlah penyeberang, sebelum melangkah masuk, terlebih dulu menyobek dan mengunyah paspor palsu yang capnya dibuat dari singkong di Tiongkok. Dokumen palsu yang sudah lumat itu tidak dibuang ke tong sampah, sebab polisi bisa melacaknya. Mereka telan bulat-bulat.
“Tak usah.”
Kami tidak sedang mengarungi hutan segelap belantara di Sumatera. Di bawah langit malam, mudah kami mengikuti arah yang dipetakan secara rinci oleh kawan-kawan yang sudah terlebih dulu berada di Belanda. Menjelang matahari terbit, di persimpangan jalan kecil, kami disongsong tiga orang kawan. Seorang mengajak mampir ke sebuah cafe yang baru buka pintu. Sementara dua kawan lain meninggalkan kami, entah ke mana. Tak sempat kami mereguk kopi, kawan yang seorang itu mengajak kami mengikuti dia. Sesampai di sebuah pos polisi, dia meminta kami menunggu. Dia melangkah masuk. Keluar lagi. Mengisyaratkan kami supaya segera ke dalam. “Ditunggu,” katanya singkat. Dan dia menghilang.
Di dalam, polisi menyelidiki perihal pekerjaanku di Berlin Timur. Di antara sekian banyak pertanyaan, yang paling menyakitkan adalah: mengapa memilih Belanda? Tidak kujawab. Aku dan Rubiah saling memandang, tertunduk menatap daun meja.
Kami ditempatkan di penampungan, mirip hotel sederhana. Beberapa pekan kemudian, kami diasingkan ke sebuah kota kecil, sekitar setahun lamanya. Di situ aku mulai berpenghasilan sebagai tukang potong kaca, hingga pensiun 15 tahun kemudian. Niat untuk pulang sudah tenggelam. Di negeri bekas penjajah ini, aku benar-benar merasa dimanusiakan. Manakala uang pensiunku hanya cukup untuk sewa rumah, aku tinggal melapor ke kota praja. Berpuluh tahun kami dihidupi bantuan sosial. Sesuatu yang tak terbayangkan di tumpah darah kepada siapa kami tak mungkin pulang.
Bagi seorang sarjana Indonesia yang hendak meraih gelar doktor, yang kami nikmati itu bukan mukjizat. Yang ingin benar dia ketahui, siapa penunjuk jalan kami.
“Siapa ketiga orang yang menemui Bapak dan Ibu setelah meninggalkan titik perbatasan dekat Aachen?” tanya Hastuti Mulyasari, sarjana ilmu politik asal Surabaya. Pertanyaan serupa sudah berkali-kali dia ajukan. Sekian kali pula kujawab dengan tawa. Kelima kali dia datang lagi. Tak lupa membawa masakan kesenangan kami: bebek panggang dari restoran Thai di tengah kota Amsterdam.
Berbasa-basi dengan pertanyaan yang berulang-ulang tentang pekerjaanku di Berlin Timur, dan di kantorku di Jakarta dulu, dia desak lagi, siapa ketiga kawan yang menjemput kami setelah melintasi perbatasan.
Tak kusangka pertanyaan itu membuat Rubiah naik pitam. Matanya tajam. “Ah…, tanya lagi, tanya lagi…. Sudah berkali-kali dijawab, kami punya kewajiban hidup untuk tidak menceritakan siapa mereka kepada siapa pun. Juga tidak kepada kau. Pecundang…!” Rubiah menyergah. “Apa kau ini intelijen tentara yang mau menangkap kami? Katakan terus terang…!” Dia berdiri, matanya tak kenal ampun.
Aku bangkit. Merayu dia duduk kembali. Kuajak Hastuti ke dapur, memanaskan bebek panggang yang dia bawa. Kunasihati dengan amat sangat, jangan lagi mengulangi pertanyaan itu kepadaku, apalagi kepada istriku.
Aku kembali ke ruang tamu. Rubiah tak kutemukan di situ. Masuk ke kamar tidur dan kamar mandi. Di situ pun tiada. Berbalik ke tangga. Melompong. Aku berlari ke jendela. Dari balik kaca kulihat Rubiah terpacak sendirian di tepi kanal. Cepat kukuakkan daun jendela, berteriak sekuat-kuatnya, “Rubi…!” Hanya ditelan angin lalu. ***
.
.
Martin Aleida menyelesaikan tiga buku, termasuk karya jurnalistik, Tuhan Menangis, Terluka, selama pandemi korona. Dia genap berusia 80 tahun ini.
Agung Kurniawan, perupa yang banyak bekerja dengan gambar, performance art, kurasi, instalasi, dan obyek. Tinggal di Kota Yogyakarta.
.
Kebaya Merah di Tebing Kanal. Kebaya Merah di Tebing Kanal. Kebaya Merah di Tebing Kanal. Kebaya Merah di Tebing Kanal.
Leave a Reply