Cerpen Triana Rahayu (Femina, 22 Maret 2020)
PERTEMUAN singkat yang baru berlangsung sekitar sepuluh menit ini bagaikan waktu panjang yang menyiksa. Berulang kali kuaduk teh di cangkir, membunuh keresahan. Sementara mata kelam lelaki yang duduk di hadapanku menatap tajam. Membuat kegelisahanku makin bertambah.
“Jadi…, apa keputusanmu?” Akhirnya suaranya terdengar juga memecah keheningan yang ada.
Aku tertunduk layu. Tak sanggup berpikir, apalagi berkata-kata. Pertanyaannya justru membuat gambaran itu kembali berseliweran di kepala. Melempar ingatanku pada lanskap senja di balik jendela hotel tua, seputaran Mala Strana, dua bulan yang lalu.
Aku benar-benar tak menyangka, Seminar Patologi yang membawaku terbang menuju Praha akan mempertemukanku dengan seorang lelaki beraroma rempah yang telah lama kuhapus keberadaannya dalam lokus pikiranku. Mengenakan jaket sewarna tanah, dengan topi berwarna senada, sore itu dia duduk di kursi pojok Café Louvre yang legendaris. Konon, Albert Einstein pernah menuliskan ide-ide briliannya di tempat itu, membuatku nyaris tersedak minumanku saat tatapan kami bertemu.
Lima tahun, ya, lima tahun yang lalu kuputuskan untuk meninggalkannya, demi lelaki pilihan orang tuaku, atas nama balas jasa. Sejak hari itu, aku kehilangan jejaknya. Ada yang mengatakan, dia kembali ke kota kelahirannya di bagian timur Indonesia. Hanya tulisannya sesekali masih dapat kutemui di koran-koran lokal maupun nasional dalam bentuk opini dan fiksi. Namun, takdir kembali mempertemukan kami di kota yang pernah menjadi saksi buram kekejaman Hitler di abad kedua itu.
Angin musim panas Kota Praha dengan cepat menghidupkan kembali kenangan yang sempat mati suri di hatiku. Bangunan-bangunan megah bergaya gothic dan patung-patung di sepanjang Jembatan Charles menjadi saksi, betapa selama ini aku tidak pernah memusnahkan dengan sungguh-sungguh perasaan yang ada lima tahun lalu, yang berkembang di antara diktat-diktat kuliah.
Seminar Patologi yang menjadi tujuanku ke Praha seperti tak menarik lagi, berpindah tempat ke kafe-kafe kecil yang bertebaran di gang sempit Praha, di antara gedung-gedung tua yang seakan tak tersentuh zaman, sambil mencicipi sepotong vltavin dan menyesap pilsner urquell.
Mendengarnya bercerita tentang Franz Kafka, pujangga kelahiran Praha yang begitu dikaguminya, hingga berakhir pada cerita kenapa dia sampai tersesat dan menetap di kota seratus menara ini. Dia mengatakan, semua karena aku, demi dapat melupakanku, yang akhirnya dikatakan dengan jujur senja itu, bahwa usaha itu sia-sia semata. Dan, lelaki beraroma rempah itu masih lelaki yang sama, selalu bersemangat bila membahas tentang keresahan sosial dan politik keberpihakan. Yang dulu menjadi salah satu penyebab ketidaksetujuan keluargaku atas hubunganku dan dirinya.
Hingga senja memerah, matahari tergelincir ke dalam arus Sungai Vlatava yang tenang, kegelapan ikut juga membenamkan kebahagiaan yang baru saja mengarus deras di hati kami berdua. Membawa pada sebuah kesadaran, kami telah terjebak pada nostalgia yang salah.
Pesawat yang membawaku pulang ke Indonesia seperti membawa tubuhku pada neraka kecil yang sebenarnya. Dan cukup sekali kukatakan, kalau aku tak ingin diganggu untuk sementara waktu, saat berpisah di Bandara Ruzyne. Dia pun tak pernah menghubungiku. Memberiku waktu untuk sendiri.
***
Delapan minggu aku merenung, menyesali, adakalanya memetik memori indah itu untuk kemudian menangis hikmat. Sampai pagi tadi, saat aku sedang menangani seorang pasien dengan penyakit paru kronis, ponselku berdering. Suaranya yang sering mengganggu nyenyak tidurku beberapa minggu ini menyapa. Ia mengatakan ada di Indonesia dan ingin bertemu.
“Qory, bicaralah, jangan hanya diam!”
Aku menggigiti bibir, cemas. Di luar dari rasa cintaku kepadanya, aku selalu merasakan paradoks yang sama.
“Tolong jangan membohongi dirimu lagi!” Suaranya melunak. “Senja itu, di hari kita bertemu kembali di Café Louvre, tanpa kau katakan, matamu sudah bercerita banyak, apa yang sesungguhnya terjadi denganmu, sejak kamu memintaku untuk meninggalkanmu, lima tahun yang lalu.”
Kuhela napas berat. Kegelisahanku kini jelas terbaca.
“Dan hari ini aku datang, untuk membebaskanmu. Melepas semua keterikatan yang membelenggumu itu,” ucapnya, dengan vibrasi yang terdengar jelas. “Aku tidak rela jika pengorbananku lima tahun yang lalu berujung ketidakbahagiaanmu.”
Kuurut keningku, penat. Aku tidak pernah berpikir kalau persimpangan ini akan datang demikian cepat. Sebuah wajah tiba-tiba hadir. Membuatku makin terpuruk oleh perasaanku, dengan kegamangan hatiku.
Kupejamkan mata sesaat, kemudian bangkit. Berjalan menuju dermaga di ujung restoran. Kudengar langkah kaki mengikuti dari belakang. Saat langkahku berhenti dan tubuhku berbalik, dia telah berdiri kukuh di hadapanku. Menatapku lurus-lurus. Tanpa satu potong pun kata. Suara debur ombak menghantam tiang-tiang dermaga. Memecah keheningan. Menghanyutkan semuanya dalam kepasrahan. Sampai… keberanian itu akhirnya datang. Membuatku berdiri di titik penentuan.
“Ya… aku tidak bisa terus begini.”
Sontak wajahnya menegang. Keningnya berkerut kencang. Mengasosiasikan banyak probabilitas.
“Qory, apa artinya kita akan…?”
Kutatap matanya dalam, kemudian menggeleng pelan. “Aku punya ikatan. Tidak seperti kamu yang bebas. Mungkin memang begini adanya. Cinta itu membelenggu. Menarikku ke lorong panjang pengorbanan.”
Pengharapan di wajahnya sirna sudah lewat bias sunset yang mengencani senja. Ditatapnya aku dengan pandangan kosong, dan mata memerah, kemudian tertawa lepas.
“Lima tahun telah berlalu dan kamu masih saja penuh pertimbangan, Qory. Apa tidak bisa kita pergi meninggalkan semuanya. Kita hanya butuh sebuah pulau kecil. Ada gunung dan sungai yang mengalir jernih. Pantai seindah foto kalender. Cukup rumah kecil agar kita bisa berteduh. Tiap saat aku bisa menatap wajahmu. Merasakan kopi buatanmu tiap pagi….”
“Aku mohon… mengertilah!!!” potongku cepat.
Andai kamu tahu, itulah gambaran hidup yang dulu kuinginkan. Gambaran yang telah lama hilang dan kembali terbentang sejak bertemu kamu, di Praha. Kamu adalah cinta pertamaku yang kembali. Langit yang datang bersama sketsa pelangi secara tiba-tiba. Lalu menyadarkanku betapa membosankan bumi yang kutinggali selama ini. Tapi… sayangnya, aku tidak bisa hidup di atas nirwana yang kau bentangkan, di atas kekecewaan seseorang yang telah membiayai kuliahku hingga meraih gelar dokter dan membantu pengobatan ibuku saat terbaring kritis di rumah sakit karena kanker.
“Maafkan aku!” Setitik air mataku jatuh, menetaskan beribu air mata di pipi.
Tawanya mendadak punah. Dengan cepat ditariknya tubuhku masuk ke dalam pelukannya.
“Qory… jangan menangis,” bisiknya, tepat di telingaku.
Aku tergugu. Tak sanggup menahan rasa. Kubenamkan wajahku lebih dalam di dadanya. Isakku pecah. Sesaat kunikmati pelukannya, belaian tangannya yang begitu rapat, degub jantungnya yang terus berharap, untuk terakhir kali. Sampai waktu itu tiba, saat jari-jariku mulai menggeliat, mendorong perlahan hangat tubuhnya menjauh dari belikatku yang tercerap. Ada sakit yang menusuk dada. Perih yang menggigilkan tulang. Namun, aku harus kuat. Perlahan kulepas pelukannya di senja yang kian temaram. Membalikkan badan. Melangkah cepat. Dan….
“Qory… jangan pergi!” Suaranya tertelan, namun masih terdengar jelas.
“Maafkan aku, kamu baru saja mengajukan dua permintaaan yang sama-sama sulit,” lirihku dalam hati.
Kutarik langkah setengah berlari di lantai dermaga yang berderit halus saat diinjak.
Senja ini telah kuputuskan untuk kembali meninggalkanmu, seperti lima tahun yang lalu, dan kembali menjadi pecundang. Tapi, kali ini ada sesuatu yang sangat berharga yang telah kau tinggalkan, di Praha, yang kini tumbuh di rahimku. Yang selama ini tidak pernah bisa diberikan oleh suamiku. Selamanya akan menjadi rahasiaku.
Kuusap wajah. Melangkah lebih cepat. ***
.
.
Triana Rahayu, Bogor.
.
Yang Tertinggal di Praha. Yang Tertinggal di Praha. Yang Tertinggal di Praha.
Ama
Ini indah sekali. Aku sedikit tidak terima dengan endingnya. Tapi biar bagaimanapun tidak semua kisah hidup berakhir seperti yang kita inginkan. Dan paragraf terakhir itu semakin menyakitkan. Aku tidak tahu siapa yang paling tersakiti diantara 3 insan ini. Tapi ini benar-benar menakjubkan, perasaanku terbawa oleh gelombangnya. Terimakasih atas lihai tanganmu mencipta karya seindah ini.
Anonymous
di luar dugaan. terima kasih atas karyanya, mbak triana rahayu