Cerpen Aveus Har (Solopos, 11 Februari 2023)
MARELA sedang tidur ketika dipindahkan dari ranjang mungil di kamarnya ke jok mobil, kemudian—setelah melaju beberapa lama—dipindahkan lagi dari dalam mobil ke ranjang mungil di kamar rumah yang lain.
Ketika dipindah-pindahkan itu, dia sedang bermimpi. Dalam mimpinya dia menggambar Mama. Mama dalam gambarnya bermuka bundar, bermata bundar, berhidung bundar, dan bermulut bundar. Mama mempunyai tangan yang panjang. Tangannya terangkat ke atas, sedang mengambil rembulan.
Setelah selesai, gambar itu tiba-tiba melekang dari kertasnya; menjadi hidup. Marela tertawa-tawa. Mama yang hidup dari gambarnya itu begitu kecil dan lucu. Bergerak dengan kakinya yang mungil. Melangkah ke arahnya dan memeluknya.
“Kau mau bulan, Sayang?”
“Aku mau Mama.”
“Mama ada di sini.”
“Aku mau main.”
“Ayo, kita main.”
“Aku mau Mama.”
“Mama ada ….”
“Aku mau ….”
Mama meloncat-loncat, dari tangan ke bahu Marela; dari bahu ke kepala. Marela tertawa-tawa. Dia tertawa-tawa sampai terbangun. Dia mencari Mama; yang ditemuinya Perempuan Bukan Mama. Marela masih mencari Mama.
“Mama …,” dia memanggil, berkali-kali, tapi Mama telah hilang dari dirinya.
Perempuan Bukan Mama itu menepuk-nepuk pantatnya. “Saatnya mandi, Marela….”
Marela mengerjap. “Aku menggambar Mama,” katanya. “Aku menggambar Mama.”
Perempuan Bukan Mama itu membawa Marela ke bak mandi sambil bernyanyi. “Bangun tidur ku terus mandi … Tidak lupa menggosok gigi … Habis mandi….”
“Aku menggambar Mama,” Marela berkata lagi.
“Pinter … membantu Mama ….”
“Aku menggambar Mama.”
“Setelah mandi ganti baju.”
“Aku menggambar Mama!”
“Iya, nanti minum susu.”
Marela kesal. Dia menendang-nendang. Dia menangis. Wanita itu kaget karena Marela biasanya tidak rewel kalau mandi. Marela biasanya suka air dingin. Marela biasanya ikut bernyanyi-nyanyi.
“Mungkin dia kedinginan,” kata Perempuan Bukan Mama yang lain, yang sedang sibuk mengawasi bocah-bocah lain. Marela masih berontak. Masih menangis. Masih menjerit. Tapi kemudian dia menyerah dengan murung.
Dunia, jika saja Marela tahu, begitu luas. Tapi dunia yang Marela tahu hanyalah dunia bersama Mama dan dunia tanpa Mama. Dunia bersama Mama berjalan dalam waktu yang singkat. Dunia tanpa Mama berjalan begitu lambat.
Setiap kali bangun tidur, dunia Marela selalu berubah. Dia tidak suka dunianya berubah. Tapi dia tidak tahu bagaimana agar dunianya tidak berubah.
Di tempat yang lain—di rumahnya—Marela bersama Mama yang bermuka bundar, bermata bundar, berhidung dan bermulut bundar. Tapi di tempat ini, tidak. Dia selalu bersama Perempuan Bukan Mama yang berganti-ganti, tapi tetap saja bukan Mama dan selalu pula ada anak-anak lain sebagai teman bermain. Tapi, tetap saja Marela lebih suka ada Mama.
Tapi Mama hanya ada di sekelebat bayangan; sekelumit waktu di jelang kantuk dan dalam mimpi. Meskipun Marela tidak tahu itu mimpi. Dia hanya merasa bahagia ada Mama. Dia gembira bermain bersama Mama, bercerita pada Mama. Mama selalu menjadi sosok berwajah bundar, bermata bundar, berhidung dan bermulut bundar.
Lalu, setiap kali Marela berada di dunia tanpa Mama, kebahagiaannya terasa berakhir.
***
Di tempat ini, Marela melihat anak-anak berlarian. Marela mendengar anak-anak menjerit-jerit. Marela mencium bermacam-macam aroma tubuh. Tapi tidak ada aroma tubuh Mama. Kemana Mama?
Marela ingin menggambar Mama lagi seperti dalam mimpinya; tapi baginya itu bukan mimpi: bahwa dia bisa mengambil sesuatu untuk menggurat; bahwa guratan itu berbentuk gambar Mama; bahwa gambar itu akan hidup dan mengajaknya bermain.
Marela tidak suka bermain dengan anak-anak lain. Mereka selalu mengganggunya. Mereka selalu merebut apa pun yang sedang dimainkannya. Marela ingin bermain dengan Mama. Hanya Mama yang tahu apa yang Marela mau. Apa yang Marela suka.
Tapi, di mana Mama? Marela memanggil. Memanggil-manggil. Memanggil-manggil dengan keras. Tapi selalu Perempuan Bukan Mama yang tergopoh datang, menyuruhnya diam.
“Jangan rewel, ya? Ini mainan Marela.”
Marela melemparkan boneka yang diulurkan padanya.
“Kok dilempar? Ayo, ini teman Marela….”
Boneka itu bukan Mama. Marela mau Mama; Mama yang dikenalinya. Marela melemparkan bonekanya lagi. Wanita itu memungut lagi. Tak berapa jauh dari Marela, bocah lain menangis karena berebut mainan. Wanita itu mendekati dengan boneka di tangannya. Dia mengabaikan Marela yang baginya dirasa susah dikendalikan.
Marela tidak suka. Dia tidak mau boneka, tapi dia tidak suka Perempuan Bukan Mama itu ke sana. Dia masih ingin diajak bicara. Dia masih butuh ditemani.
Dia… ingin Mama. Di mana Mama?
Di sudut ruangan itu Marela melihat krayon. Dalam labirin otaknya, Marela mempunyai rekaman anak lain yang menggunakan benda itu untuk menggambar. Dia merangkak ke sana. Mengambilnya. Menggoreskannya di tembok.
Marela menggambar Mama seperti dalam mimpinya. Wajahnya bundar. Matanya bundar. Hidung dan mulutnya pun bundar. Dia menunggu gambarnya melekang. Dan hidup. Dan mengajaknya bermain.
“Marela! Jangan corat-coret tembok!”
“Aku menggambar Mama.”
Perempuan Bukan Mama yang berteriak itu tergopoh merenggut Marela dari keasyikan Marela. Marela berontak. Mama tak pernah begitu.
Perempuan Bukan Mama yang lain menghapus gambar garis-garis patah tak beraturan yang dibuat Marela di tembok itu. Marela menjerit-jerit tidak rela. Menendang-nendang. Tapi dia tak berdaya. Marela menangis.
Marela ingin Mama. Di mana Mama?
***
Senja hari, Marela tertidur. “Sesiangan dia tak mau tidur,” kata Perempuan Bukan Mama yang menyerahkan Marela pada Mama. “Dia rewel sekali hari ini.”
“Oh, ya. Terima kasih.”
Mama membaringkan Marela dalam balutan sabuk pengaman di jok belakang mobil. Mobil melaju meninggalkan tempat pengasuhan anak. Pulang.
Sampai di rumah, sebuah apartemen, dia mengangkat Marela dan membaringkannya di ranjang mungil bayi. Marela menggeliat. Tapi tak terbangun. Tubuhnya terlalu lelah. Tapi dia bisa merasai keberadaan orang yang dikenalinya sebagai Mama.
Marela bermimpi menggambar Mama. Kali ini wajahnya tidak bundar, matanya tidak bundar, hidung dan mulutnya pun tidak bundar: ada kotak, ada segitiga, ada segi delapan. Tapi semua Mama.
Dalam mimpinya Marela menangis. Dia mau Mama berwajah bundar, bermata; hidung; mulut; semua bundar. Tapi tak bisa.
Mama mendengar tangis Marela, tapi dia sedang menerima telepon dari atasan yang menggerutu. Dia sedang berbicara serius ketika Marela terbangun dan tangisnya melengking. Mama menjauhkan diri agar lengkingan itu tak mengganggu.
Ketika tangis Marela kian menjadi, Mama berpamitan untuk menenangkannya. “Diamlah, Marela,” katanya. “Mama sedang menerima telepon penting!”
Marela membuka mata. “Mama ….”
“Ssssshhhh ….”
“Mama ….”
Marela diam setelah ada Mama. Marela menggapai-gapai minta ditimang. Mama kembali pada telepon yang menunggu. Marela mendengarnya. Dia tidak tahu apa yang didengarnya. Tapi dia bisa merasa kata-kata itu bukan untuknya.
“Mama ….”
Mama menjauh untuk berkonsentrasi pada pembicaraan teleponnya. Dalam benak Marela, Mama berwajah bundarnya telah tumbuh sayap dan telah terbang ke entah. Marela menangis kian keras.
“Aku mau Mama ….”
Seusai sambungan itu, Mama meletakkan ponselnya di atas meja, di samping kertas-kertas tagihan apa saja. Betapa hidup dikejar-kejar kebutuhan. Mama mendesah. Wajahnya tampak lelah. Dia menangis. Sendirian menanggung beban.
Tak terdengar tangis Marela. Barangkali tertidur. Atau kecapekan.
Dia merasa sunyi, teramat sunyi.
Di luar, lampu-lampu telah gemerlap. ***
.
.
Aveus Har tinggal di Pekalongan. Kesehariannya adalah pedagang mie ayam sembari bereksperimen di Laboratorium Ide dan Cerita (Labita). Novel terbarunya berjudul Forgulos.
.
Ada Marela, Ada Mama.
Leave a Reply