Cerpen Alim Witjaksono (Radar Jombang, 18 Juni 2023)
MARDI mengajak kawan lamanya memasuki kantor tim sukses di sekretariat Partai Gandara (Garda Depan Indonesia Raya). Tempat itu merupakan markas kampanye yang mengusung nama dirinya untuk tampil ke kursi gubernur provinsi Cilangkat.
Ia mendesak kawannya agar bergabung menjadi ketua tim IT dan multimedia. Keduanya memasuki lantai lima gedung pencakar langit. Dari lantai ke lantai, kawannya itu menyaksikan segala-macam atribut kampanye bertebaran di sana-sini, baik dalam bentuk stiker, spanduk hingga baliho-baliho raksasa terpampang di sepanjang lantai dan koridor gedung.
Tak berapa lama, mereka menuju lantai empat dan langsung memperkenalkan kawannya sebagai sahabat lama, kepada puluhan kader-kader Partai Gandara. Mardi memberikan sambutan singkat di hadapan mereka, agar bersatu-padu dan saling bahu-membahu, demi pemerintahan baru yang baik dan kredibel. Mengajak rakyat Cilangkat agar menjatuhkan pilihan pada nomor dua, di mana Mardi akan tampil selaku gubernur bersama sang wakil yang mendampingi.
Sepintas nampak adanya keseriusan pada wajah-wajah pribumi pemuda Cilangkat untuk melakukan pembaharuan. Pada tatapan mereka, terbersit seberkas sinar akan harapan dan kesungguhan. Mereka bersemangat saling bercakap-cakap menyoal suatu era baru dalam iklim politik yang demokratis, terbuka dan transparan. Suatu era yang seakan bertolak-belakang dengan sistem otoriter dan korup di masa lalu yang sudah ketinggalan zaman.
Peta-peta yang menggambarkan seluruh wilayah Cilangkat terpampang jelas di sepanjang dinding ruangan, berikut pin berwarna-warni yang menunjukkan dukungan di pusat-pusat konstituen dari Partai Gandara. Pin-pin lainnya menandakan kondisi pengumpulan data suara, terbagi-bagi ke berbagai kabupaten dan kota, serta menunjukkan area tempat dewan perwakilan cabang dan ranting bermarkas, seakan menunjukkan dukungan, loyalitas dan kesetiaan penuh.
Mardi mengajak kawannya memasuki lantai tiga. Ia memperkenalkannya pada puluhan pemuda yang sedang gigih bekerja, seakan tanpa mengenal lelah. Menurutnya, kampanye tahun ini adalah yang terpanas dari tahun-tahun sebelumnya, demi memperjuangkan suatu terobosan perubahan bagi taraf hidup yang sejahtera dan berkemakmuran. Beberapa pemuda yang disebutnya sebagai “Relawan Gandara” terlihat memerah wajahnya, seakan kehabisan tenaga karena siang dan malam tercurahkan untuk usaha dan pekerjaan berat tersebut.
Ia mengabarkan perihal kampanye yang getir dan heboh beberapa saat lalu, lantaran banyak anak-anak muda yang berjibaku untuk turut andil di dunia politik. Dulu, kaum reformis dan pembaharu seumumnya dari kalangan ningrat (katanya), tapi sekarang, tukang kayu, tukang odong-odong, kuli panggul atau tukang pangkas rambut sekalipun, seakan berhak menduduki tampuk kekuasaan. Mereka begitu ambisius untuk meraih apa yang menjadi cita-citanya. Sebagian cukup terlatih untuk mencapai hasil dan target yang pada tahun-tahun lalu seakan mustahil untuk digapai.
Mardi sendiri merasa telah mujur dapat melepaskan diri dari ikatan para bos dan majikannya di masa lalu. Kini, ia bertekad untuk melakukan apa-apa yang menjadi kehendak dan cita-citanya, seakan menampilkan dirinya secara antusias pada bos-bos barunya yang menjadi donatur Gandara, dan seenaknya memerintah dirinya dari balik layar.
Seringkali ia merasa ketakutan, sebab bagaimanapun Gandara belum memiliki “laras panjang” bila dibandingkan partai-partai status quo yang memiliki sejarah panjang kekuasaan. Tapi setidaknya, ia merasa bangga ketika mengingat anak-anak muda bersemangat penuh harapan. Para muda-mudi rela berkorban memperjuangkan prinsip-prinsip perubahan yang teguh diembannya.
Di lantai dua, kawannya itu dipersilakan duduk melingkar bersama delapan orang tim sukses lainnya menghadap sebuah meja bundar. Di lantai itu, Mardi telah memilih kamar khusus yang ditinggalinya di gedung megah yang ia sewa tersebut. Jendela kamar menghadap sebuah kolam renang di bagian luarnya, dihiasi dengan taman yang ditumbuhi bunga-bunga mawar dan anggrek di sekelilingnya.
Seorang satpam tiba-tiba naik ke lantai dua, dan membisikkan sesuatu ke telinga Mardi. Belum sempat ia menyatakan permisi untuk meninggalkan ruangan, tiba-tiba pintu kantor terbuka hingga muncullah seorang wanita cantik berpakaian seronok, dengan rok serba transparan dan berkibar-kibar bagaikan umbul-umbul partai. Wanita cantik itu berdiri tergagap-gagap di hadapan mereka, kebingungan, kemudian segera berputar balik sambil mengatakan, “Maaf, saya kira hari ini enggak ada pertemuan.”
***
Ada pola tersendiri yang menjadi kebiasaan tim sukses calon gubernur Mardi, yakni berencana membangun perumahan berdinding gypsum tebal, yang dijanjikan berharga sangat murah bagi warga yang belum memiliki tempat tinggal layak huni. Miniatur bangunan dibuat berbahan plastik, kemudian dirakit oleh tim sukses untuk didirikan di samping panggung kampanye.
Pada saat tim suksesnya merakit miniatur rumah itu, seperti biasa Mardi menyempatkan diri bercakap-cakap dengan para ibu dan bapak yang mengeluhkan berbagai persoalan yang membelit keseharian mereka.
Seorang ibu mengeluhkan anaknya yang belum punya seragam sekolah, kemudian Mardi menjanjikan akan mengirim tim sukses ke rumahnya secepat mungkin. Seorang bapak yang bekerja sebagai marbot, mengeluhkan belum adanya sumber air untuk para jamaah mengambil wudlu di masjidnya. Seketika itu, Mardi menjanjikan akan membuatkan pompa air listrik untuk masjid tersebut. Suasana semakin ramai dan hiruk-pikuk, sampai kemudian mereka ditenangkan oleh teriakan seorang bapak yang menyampaikan keinginannya.
“Pak Mardi, Pak Cagub! Kami tidak banyak keinginan!”
“Maksud Bapak?” tanya Mardi tersentak.
“Sekarang ini lagi kemarau, warga dusun kami di Lewidamar hanya butuh satu kerbau untuk mengangkut air yang akan kami manfaatkan buat masyarakat yang kekurangan air!”
Para hadirin sontak tertawa terbahak-bahak. Mardi merasa gerogi menghadapi keinginan bapak dari pedalaman Banten Selatan itu. Setelah berpikir keras, ia memanggil beberapa tim suksesnya, sambil bisik-bisik menanyakan harga kerbau yang paling murah. Kemudian, ia kembali ke posisi semula, berdehem beberapa kali sambil menghimpun segenap tenaganya berkata, “Baiklah, nanti akan ada tim sukses kami yang akan menemui masyarakat kampung bapak, dan semoga kerbau untuk mengangkuti air bagi masyarakat yang… (hampir ia mananyakan jumlahnya), baik, semoga keinginan itu nanti bisa kami penuhi….”
Sorak-sorai disertai tepuk-tangan riuh saling bersahutan. Kemudian, untuk menghindari permintaan yang lebih besar dan gawat, ia segera mengalihkan perhatian dengan obrolan-obrolan politik berbahasa Sunda yang dirasa lebih akrab di telinga mereka. Tak berapa lama, Mardi melangkah menuju seorang tim sukses, sambil berbisik-bisik agar punggung kerbau itu nantinya dicat dengan nomor 2. Dan kalau perlu, memanggil seorang pelukis untuk menggambar fotonya di punggung sebelahnya hingga mencapai bokong kerbau.
Kini, Mardi menghadap ke ratusan hadirin, seraya berteriak keras menggunakan mikrofon, “Sekarang lihat semuanya ke sini!” Ia pun melangkah menuju miniatur rumah plastik di samping panggung, dengan panjang dan lebar sekitar 4×5 meter, serta tinggi sekitar 3 meter. “Para hadirin sekalian! Inilah contoh rumah yang akan disediakan untuk ribuan masyarakat dengan harga yang sangat murah dan terjangkau!”
Semuanya menatap ke arah bangunan miniatur rumah tersebut. Mardi tersenyum gembira seraya menikmati reaksi bangga dan senang yang tersirat di wajah mereka. Sebenarnya, rumah-rumahan itu sudah agak lapuk karena seringkali dibongkar pasang dan diusung dari satu tempat ke tempat lain. Kini, ia berhasil mengumbar janjinya dengan meyakinkan warga setempat agar mereka segera memiliki tempat tinggal yang layak huni tersebut.
***
Di tempat peristirahatannya di Warung Gunung, sore itu, Mardi menemukan ide dan gagasan menarik. Ia seringkali membanggakan gagasan yang muncul seakan-akan petunjuk dan hidayah. Ia memerintahkan tim suksesnya untuk membangun miniatur rumah itu di wilayah Tangerang Selatan, di suatu lapangan terdekat dengan kediaman seorang artis dangdut yang sedang naik daun, Nita Ratnasari.
“Berarti kita akan mengundang dia sebagai penyanyi?” tanya seorang tim sukses.
“Tepat sekali,” tanggap Mardi cepat, “Tapi sampaikan kepadanya agar menyanyikan lagu yang ada hubungannya dengan kader Gandara, ditambah dengan lagu-lagu religius tentang kemenangan pemilu, paham?”
“Oke, siap, Bos!” balas mereka secara serentak.
Di Tangerang Selatan, siapa yang tidak mengenal Nita Ratnasari, sang pendatang baru yang banyak dielu-elukan ribuan penggemarnya. Bukan hanya suaranya yang lumayan, terlebih postur tubuhnya dan payudaranya yang besar. Seorang gadis cantik yang mewarisi warna kulit dan bentuk tubuh ibunya, serta mata yang agak kecokelatan dari ayahnya. Nita tumbuh menjadi perempuan yang begitu menawan pandangan mata lelaki yang melihatnya untuk pertama kali. Tak terkecuali Mardi, sang calon gubernur dari Partai Gandara.
Siang itu, seusai gebyar penampilan lagu-lagu dangdut, disusul dengan orasi politik yang menggebu-gebu, sang calon gubernur membisiki orang suruhannya agar mendatangkan Nita Ratnasari masuk ke dalam miniatur bangunan rumah yang telah dibangun oleh tim suksesnya di sebelah panggung.
Biasanya, sang calon gubernur selalu berhasil menemukan cara untuk menghibur para pendukungnya, tanpa membuat mereka berani berbuat macam-macam. Kali ini nasib berkata lain. Nita disuruh menunggu di suatu kasur lipat yang disediakan di dalam rumah-rumahan itu. Tak berapa lama, muncullah sang cagub Mardi dari pintu belakang, berdiri tertegun menatap wajah cantik artis pendatang baru yang banyak dielu-elukan kaum muda itu.
“Sedang apa, Mbak?” tanya Mardi pura-pura tak mengerti.
“Ooh, saya disuruh menunggu di sini, katanya mau ketemu sama Bapak?” kata si artis agak terkejut.
Sang cagub tersenyum. Ia memerhatikan beberapa tim suksesnya yang sedang sibuk membagi-bagikan kaos, amplop dan stiker kepada ratusan hadirin yang mengunjungi lapangan kampanye. Segera ia menutup pintu miniatur rumah dari dalam, seraya merayu dan menatap lebih lekat wajah Nita yang begitu menawan. Karena kecantikannya yang luar biasa, membuat ia tak ragu-ragu menawarkan sesuatu kepadanya.
“Untuk penyanyi seperti Mbak, kira-kira berapa tarifnya?”
“Untuk sekali manggung?”
“Bukan, kalau itu saya sudah tahu, tapi… maksud saya, untuk satu malam di hotel menemani Bapak.”
“Oo, begitu.”
Artis cantik itu agak terperanjat mendengar tawaran itu. Namun seketika mereda, ketika ia melihat banyak uang ratusan ribu beterbangan di dalam ruangan itu, seakan bersumber dari kipas angin listrik yang sengaja disediakan di dalam miniatur bangunan itu. Ketika Mardi membaca tidak adanya keraguan pada tawaran tersebut, sontak hawa nafsunya bergejolak, tak tahankan diri.
Seketika ia merengkuh tubuh Nita, mengecup bibirnya serta meremas-remas payudaranya. Ketika ia melucuti bagian atas bajunya, nampak tubuh yang mempesona itu menyebarkan aroma gelap yang merangsang birahinya. Jantungnya berdegup kencang. Kulitnya mengkilat oleh keringat dari leher hingga buah dadanya.
Tiba-tiba, Nita berteriak dan menjerit-jerit histeris. Hingga suaranya memekakkan telinga para tim sukses yang segera berhamburan menuju rumah miniatur itu. Dalam waktu sesingkat-singkatnya, rumah-rumahan itu diserbu dan dirobohkan oleh para pendukung Mardi sendiri, lalu diobrak-abrik, diporak-porandakan, kemudian dibakar oleh penduduk setempat. Sang calon gubernur segera digelandang ke kantor polisi setempat.
Di hadapan meja hijau, Mardi dikenakan pasal berlapis dalam kasus pelecehan seksual, pencabulan dan penyuapan. Sampai kemudian, karir politiknya berakhir setelah ia mendekam dalam jeruji besi. Kini, Gandara masih berlaku sebagai partai politik, meski para kadernya semakin ketar-ketir dan gonjang-ganjing mengalami dekadensi moral. Terlebih setelah tersiar kabar, bahwa salah seorang donatur utamanya melarikan diri dari kasus hukum, kemudian mobil yang dikendarainya menabrak tiang listrik. ***
.
.
Alim Witjaksono. Pengamat dan penikmat sastra milenial Indonesia, menulis prosa dan kritik sdi berbagai media nasional cetak dan online.
.
Politik dan Perempuan Cantik. Politik dan Perempuan Cantik. Politik dan Perempuan Cantik. Politik dan Perempuan Cantik. Politik dan Perempuan Cantik.
Leave a Reply