Cerpen, Pikiran Rakyat, Teni Ganjar Badruzzaman

Menjelang Iduladha

Menjelang Iduladha - Cerpen Teni Ganjar Badruzzaman

Pertaruhan ilustrasi Zulfa Nasrulloh/Pikiran Rakyat

4.3
(6)

Cerpen Teni Ganjar Badruzzaman (Pikiran Rakyat, 24 Juni 2023)

MAK Isah baru saja selesai salat Asar ketika tiba-tiba terdengar pintu depan rumahnya diketuk, diiringi suara salam dari seorang perempuan.

“Waalaikumsalam!” sahut Mak Isah. Ia berjalan tergopoh hendak membuka pintu tanpa sempat melepas mukena. Saat daun pintu terbuka, mata lamurnya menangkap sosok Surti, tetangga yang sudah ia anggap seperti anak sendiri.

“Mak, ini Kang Jamal telefon.” Surti menyodorkan ponselnya. Sigap tangan kanan Mak Isah meraihnya.

Itu bukan kali pertama Jamal menelefon lewat HP Surti. Anak semata wayang Mak Isah yang merantau di Jakarta itu sebenarnya tak hendak merepotkan. Namun, mau bagaimana lagi. Cuma itu satu-satunya cara agar ia bisa berkomunikasi dengan ibunya. Pernah suatu hari Jamal membelikan Mak Isah HP, tapi ditolaknya. Di usianya yang sudah tujuh puluhan, jangankan menggunakan HP, mengenakan pakaian saja Mak Isah sudah kepayahan.

Dengan tangan gemetar, Mak Isah menempelkan HP di telinganya. Tak lama, dahinya mengernyit. Ia berusaha keras menyimak apa yang sedang diucapkan Jamal di seberang sambungan telepon sana. Pendengarannya memang sudah mulai melemah seiring dengan usianya yang terus bertambah.

Mak Isah terlihat mangut-mangut, lalu sesekali hanya terdengar mengucap, “Oh.” Dan, “Iya.” Kemudian, tak lama ia mengembalikan HP Surti begitu saja. Raul wajahnya berubah kusut. Matanya pun mulai berkabut.

“Ada apa, Mak?” Tersirat garis-garis khawatir di wajah Surti.

Tak ada jawaban. Mak Isah berjalan ke dalam rumah, duduk di kursi ruang tamu yang berbau apak dan berbunyi kereyot ketika diduduki. Surti duduk di sampingnya.

Tiba-tiba saja Mak Isah berderai air mata. Surti semakin didera khawatir. Ia mengusap pipi keriput Mak Isah yang basah dengan ujung kerudungnya.

“Ada apa, Mak?” Surti kembali bertanya.

“Jamal katanya tidak pulang lagi Iduladha ini.” Suara Mak Isah meninggi, penuh emosi. “Katanya, enggak dikasih cuti sama bosnya.”

Surti menghela napas panjang seraya mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Ia mengerti, Mak Isah pasti tengah digulung rasa kecewa. Rona kesedihan bergelayut di wajah tuanya. Sudah hampir tiga tahun Jamal tak pulang kampung. Pandemi jadi alasan. Setelah pandemi dinyatakan usai, Lebaran kemarin Jamal malah memilih mudik ke kampung istrinya.

Baca juga  Kali Ketiga Ini Ningsih Melahirkan Bayi

“Iduladha giliran kami kumpul sama Mak,” bujuk Jamal, saat Mak Isah menelefonnya bulan Puasa kemarin. Tapi nyatanya, semua hanyalah janji-janji kosong. Padahal, akhir-akhir ini, Mak Isah acapkali bertanya kepada Surti, Iduladha berapa hari lagi? Barangkali, rasa rindunya telah bergulung sebesar gunung. Hasratnya untuk berjumpa dengan anak, menantu, dan kedua cucunya itu sudah tak bisa lagi dibendung.

Semenjak suaminya pergi menghadap Sang Khalik lima tahun lalu, Mak Isah tinggal seorang diri. Berteman sepi, berkawan sunyi. Sehari-hari ia hanya menghabiskan waktu dengan duduk termenung di teras depan sembari memandangi orang yang berlalu-lalang. Beruntung, kadang Surti datang menemani. Itu pun tidak tiap hari, sebab sering kali Surti disibukkan pekerjaan di ladang.

“Sudah, Mak. Enggak usah sedih lagi. Kan ada Surti.” Surti berusaha membesarkan hati Mak Isah yang sedang bermuram durja.

“Ya tetap saja beda, Ti. Aku ingin bertemu darah dagingku.” Mak Isah menyeka kedua matanya dengan ujung mukena.

“’Tega sekali kamu, Mal. Kalau aku nanti mati, apa kamu juga tak akan peduli?” ceracau Mak Isah di sela isak tangisnya. Ia masih berkeras hati mengira Jamal memang sudah tak peduli kepada dirinya lagi

Surti beristigfar berkali-kali. Ia terus berusaha menenangkan Mak Isah yang masih didekap emosi. Bergegas Surti menuju dapur, hendak mengambil segelas air. Namun, saat melintas di depan meja makan, hatinya terasa diiris-iris melihat hanya ada sepiring nasi dingin, dan dua potong tahu goreng yang ia kirimkan kemarin. Surti mengusap dadanya yang terasa nyeri. Mak Isah yang malang, batinnya berkata.

Surti kembali dengan segelas air putih di tangan. “Minum dulu, Mak,” pinta Surti. Mak Isah meraih gelas itu dan meneguknya hanya sekali.

“Mak, nasi yang Surti kasih kemarin kenapa masih utuh?”

Mak Isah membisu. Surti kembali menghela napas panjang. Ditatapnya Mak Isah yang sedang menerawang ke luar jendela dengan mata yang kosong. Di luar petang mulai menjelang. Langit berwarna kemerahan. Suara tonggeret mulai terdengar riang.

Baca juga  Antologi Pengkhianatan Dutasena

“Besok mau puasa Arafah?” tanya Surti lagi, dan hanya dijawab sebuah anggukan oleh Mak Isah.

“Kalau begitu, sekarang Surti pulang dulu.” Surti meraih tangan kanan Mak Isah dan menciumnya. “Nanti sahur, Surti ke sini lagi antar makanan.” Lagi, Mak Isah hanya memberi anggukan sebagai jawaban. Surti mendesah pasrah. Ditinggalkannya Mak Isah yang masih bergeming di kursi.

Sepeninggalan Surti, tak lama azan Magrib berkumandang. Mak Isah menyeret kakinya menuju kamar, menunaikan salat Magrib, lalu merebahkan diri di pembaringan.

Menit dan jam dibiarkannya berlalu begitu saja, hingga tengah malam pun tiba, dan Mak Isah masih belum bisa memejam mata. Di pelupuk matanya, wajah Jamal terus menari-nari. Bayangan bisa berkumpul bersama semakin deras berkelebatan di benaknya.

Pukul tiga lebih tiga puluh menit. Rumah-rumah di kampung itu telah bergeliat. Ini tanggal sembilan Zulhijah, dan orang-orang kebanyakan akan melaksanakan puasa Arafah. Begitu pun Surti dan keluarga kecilnya. Mereka sedang bersiap untuk santap sahur.

Surti meminta izin sebentar kepada suaminya untuk mengantarkan makanan kepada Mak Isah. Sampai di depan rumah Mak Isah, ia terkejut melihat pintu depannya sedikit menganga. Khawatir terjadi apa-apa, Surti pun bergegas masuk tanpa permisi.

Di dalam kamar, dilihatnya wanita tua itu tengah meringkuk seperti udang. “Mak, makan dulu!” pinta Surti seraya menyodorkan sepiring nasi dengan sayur sup tanpa daging sebagai lauk.

“Simpan saja di situ!” Mak Isah menunjuk meja di depannya. “Sana kamu balik, Ti. Kasihan anak sama suamimu,” lanjutnya kemudian dengan suara parau.

Surti mengangguk. Dengan berat hati ditinggalkannya Mak Isah yang terpekur di alas kasur. Apa mau dikata, ia punya kewajiban lain yang harus ditepati.

Hingga pagi hari, Mak Isah masih enggan beranjak dari tempat tidurnya. Bahkan makanan dari Surti pun sama sekali tak dijamahnya. Ia sudah tidak peduli. Sahur atau tidak baginya sama saja. Sudah tak ada makanan yang terasa nikmat di lidahnya.

Baca juga  Perempuan yang Menimbun Dendam

Maka, ketika matahari mulai meninggi, ketika orang-orang sibuk mempersiapkan keperluan hari raya, ketika aroma masakan mengepul dari tiap-tiap atap dapur, dan ketika orang berbondong-bondong menuju halaman masjid untuk menonton sapi dan kambing yang besok akan dikurbankan, Mak Isah masih saja berbaring di ranjang. Menengadah menatap langit-langit kamarnya yang kekuningan, dan dipenuhi sarang laba-laba pada setiap sudutnya. Lampu yang temaram sengaja tak ia matikan.

Sampai ketika takbir mulai dikumandangkan di setiap corong masjid, hati Mak Isah semakin menjerit. Ia tak kuasa menahan lelehan air mata. Mak Isah terus terisak hingga dadanya terasa sesak.

Tiba-tiba, ia merasa ada yang mendesak ingin keluar dari bawah perutnya. Susah payah Mak Isah berusaha bangkit, tapi begitu sulit. Tubuhnya membatu. Semakin ia berusaha bergerak, semakin sekujur tubuhnya terasa sakit. Sakit yang teramat sangat. Merambat mulai dari telapak kaki, naik pelan-pelan ke betis, lutut, terus menjalar ke paha, bawah perut, hingga di pusar, sakit itu semakin luar biasa dirasanya. Dan sekarang, napasnya semakin tersengal-sengal. Dadanya seolah diimpit beban yang amat berat. Mak Isah mengerang berkali-kali. Tubuhnya lalu menegang dengan keringat dingin yang terus bercucuran.

Dalam separuh kesadaran, mata lamurnya menangkap sosok Jamal yang berdiri di hadapannya. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Sebab, sosok Jamal berganti sosok mendiang suaminya. Bibir Mak Isah merekah sempurna melihat suaminya melambaikan tangan sesaat sebelum matanya benar-benar terpejam untuk selama-lamanya. Kehidupan Mak Isah telah paripurna sebelum esok Iduladha tiba. ***

.

.

Teni Ganjar Badruzzaman, lahir di Ciamis, 1988. Alumnus Sekolah Farmasi Bumi Siliwangi Bandung. Cerpen dan cerita anaknya dimuat di beberapa media dan antologi bersama.

.
Menjelang Iduladha. Menjelang Iduladha. Menjelang Iduladha. Menjelang Iduladha. Menjelang Iduladha.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!