Cerpen Risen Dhawuh Abdullah (Kompas, 02 Juli 2023)
KAMU bisa mengerti mengapa istrimu begitu menggebu-gebu menyuruhmu. Kamu membenarkan juga pendapatnya bahwa itu merupakan bagian dari perjuangan mulia, meneruskan apa yang dicita-citakan rekan-rekanmu dulu sesama Dharmaputra; mengusir kegelapan yang menguasai istana Wilwatikta.
“Kakang adalah satu-satunya orang dari Dharmaputra yang masih hidup dan saat ini masih diberi kesempatan oleh Gusti Prabu untuk mengabdi,” ucap istrimu.
“Bagaimana aku melakukannya? Aku hanyalah seorang tabib, bagaimana mungkin? Aku memang tidak suka dengan Jayanegara sama sepertimu, sama seperti Dharmaputra lainnya. Tapi mengenyahkan kebatilan rasa-rasanya seperti menggayuh rembulan, tidak mungkin!”
“Sangat mungkin. Ken Arok saja bisa menjadi raja, mengapa ini tidak mungkin? Saya kira mudah mewujudkannya. Kakang tidak perlu repot-repot seperti pemberontak terdahulu dengan mengerahkan orang ataupun prajurit-prajurit yang tidak sepemikiran dengan Gusti Prabu,” kata istrimu sembari menjatuhkan kepalanya di pundakmu.
“Kamu jangan mengada-ada.”
“Aku sama sekali tidak mengada-ada, Kakang.”
Jelas, kamu tidak bisa menerima ucapan istrimu. Tanpa berperang? Mustahil sekali. Namun, kemudian istrimu menjelaskan padamu apa yang semestinya kamu lakukan. Kamu sama sekali tidak pernah menduganya. Selama ini kamu berpikir, bahwa kanuragan adalah segalanya, selain kata-kata.
“Bagaimana caranya aku bermain dengan rapi?”
“Kakang lebih tahu seluk-beluk istana.” Wajah istrimu memancarkan optimisme, seperti ingin mempengaruhimu agar kamu yakin.
Kamu tidak mengelak, kalau pemikiran istrimu itu bisa dilaksanakan. Hanya saja terlalu berbahaya untuk dirimu sendiri. Kamu belum siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Istrimu justru sebaliknya. Ia akan menerima jika kemungkinan buruk menimpamu. Ia menegaskan itu padamu, sebab ini menyangkut perjuangan. Bukankah kematian seorang kesatria yang menumpas kebatilan itu mulia? Di mata istrimu, kamu adalah seorang kesatria.
Tidak selesai pada pembicaraan masalah perjuangan, istrimu juga sedikit menekanmu; mengingatkanmu pada peristiwa yang telah berlalu. Adalah terkait dengan apa yang telah dilakukan Sang Prabu kepada istrimu. Tidak hanya istrimu saja yang memperoleh perlakuan tidak senonoh, juga istri-istri para Dharmaputra yang lain.
Ingatan mengenai itu kembali tergambar jelas di benakmu, kamu menjadi ingat ketika istrimu melaporkan apa yang sudah dilakukan Sang Prabu padanya, kepadamu. Seketika kamu seperti terpantik.
“Itung-itung merasakan perjuangan rekan-rekan Kakang. Aku yakin, Kakang mampu melakukannya. Aku percaya padamu, Kang. Lakukanlah, Kang.”
Hari-harimu menjadi tidak tenang. Meski tidak selalu mengingatkan, kamu merasa istrimu sedang bicara mengenai hal itu setiap waktu. Ketika istrimu menyinggung akan hal itu, kamu berdalih kalau kamu sedang menyusun strategi; demi keselamatan dirimu juga.
Kamu mengingat kembali perjuangan-perjuangan rekan-rekanmu sesama Dharmaputra. Ra Kuti, Ra Semi, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa. Dari keenam rekanmu, yang hampir akan berhasil berkuasa adalah Ra Kuti. Kamu saat itu bangga dengan Ra Kuti. Kamu dijanjikan jabatan di istana. Namun, takdir berkata lain, seorang bekel istana bernama Gajah Mada muncul dan berhasil menumpas Ra Kuti. Rekanmu itu mati.
Kematian Ra Kuti membuatmu merasa sudah tidak ada harapan lagi. Saat itu kamu menebak tidak akan membutuhkan waktu lama Sang Prabu menemukanmu dan akan membunuhmu. Sebagai Dharmaputra, sudah sepatutnya kamu dicurigai, berada di pihak pemberontak.
Mengingat rekan-rekanmu, terbit sedikit penyesalan—rekan-rekanmu pun kala itu juga menyesal. Kamu menyesal pernah menuruti segala hal yang diinginkan raja. Dulu rekan-rekanmu yang sering memburu gadis-gadis desa untuk diangkut ke istana. Kemudian setelah dinikmati manisnya, gadis-gadis itu dibunuh untuk menghilangkan jejak—agar citra Sang Prabu terjaga. Meski kamu tidak punya kanuragan, kamu ikut andil dengan merekomendasikan gadis-gadis yang kira-kira pantas dipersembahkan untuk Sang Prabu.
“Iming-iming gemerlap sering membuat manusia lupa diri, lupa dengan apa yang semestinya tidak dilakukan,” bisikmu kepada dirimu sendiri.
Akhir-akhir ini istrimu semakin menghantuimu. Ucapannya kadang menjadi sedikit tidak enak di telinga. Istrimu sering dibuat naik-pitam olehmu, dengan dalihmu jika semuanya perlu kesabaran dan rencana yang matang.
Gajah Mada yang muncul sebagai pahlawan Wilwatikta, membuatnya menjadi dekat dengan Sang Prabu. Jasanya tidak bisa dianggap main-main, ia telah berhasil mengamankan Sang Prabu beserta keluarganya dari prajurit-prajurit yang dipimpin oleh Ra Kuti yang kala itu sudah menguasai istana. Kamu mengetahui benar akan hal itu.
Kamu sempat berpikir untuk mengatakan masalahmu pada Gajah Mada. Masalah istrimu yang diperlakukan tidak senonoh oleh Sang Prabu dan berlanjut pada rencana melanjutkan perjuangan rekan-rekanmu.
“Apakah aku sama saja bunuh diri? Gajah Mada begitu dekat dengan Sang Prabu, bisa-bisa aku celaka, meskipun aku tahu kedekatannya itu palsu,” gumammu.
Ya, palsu. Kamu mengetahuinya dari orang-orang istana dan orang-orang itu sangat dapat dipercaya. Gajah Mada sejatinya tidak senang dengan Sang Prabu. Tidak senang dengan perilakunya yang suka main perempuan dan kurang memikirkan rakyat. Kamu juga mendengar kalau kedekatan Gajah Mada dengan Sang Prabu sebagai upaya agar dapat memengaruhi kebijakannya, demi rakyat.
Dalam sudut pandang orang yang tidak suka dengan kehadiran Gajah Mada, mungkin ia bisa disebut penjilat. Tapi kamu tetap meyakini kalau Gajah Mada bisa dipercaya. Maka akhirnya dengan penuh semangat menceritakan permasalahanmu kepadanya.
“Saya yakin kita sepemikiran,” katamu penuh hati-hati.
“Memang. Hanya saja jangan gegabah, sekarang bukanlah waktu yang tepat. Sabarlah terlebih dulu, nanti akan muncul saat yang dinanti, meski tidak tahu kapan.”
Sabarlah. Kata itu membuat hatimu terbakar. Istrimu dilecehkan dan kamu disuruh sabar. Laki-laki mana yang bisa begitu? Kamu menjadi tidak sabar. Respons Gajah Mada tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Kepalamu terasa semakin mendidih. Dadamu sesak. Ada sesuatu yang kamu tahan dari balik dadamu. Kamu menjadi mengeluarkan pernyataan untuk dirimu sendiri, kalau awan gelap yang menyelimuti istana harus segera disingkirkan.
Ucapan-ucapan dari istrimu selama ini menjadi jelas dalam ingatan dan membuatmu semakin terdorong untuk melanjutkan perjuangan rekan-rekanmu. Rupanya Dewata merestuimu, Sang Prabu terkena penyakit bisul yang membuat jalannya kesusahan. Kamu dipanggil untuk menyembuhkan. Istrimu memang benar, justru apa yang kamu miliki saat ini sangat mungkin untuk melanjutkan perjuangan itu.
Sebilah pisau telah kamu siapkan. Kamu sembunyikan benda itu di wadah obat berbentuk persegi panjang. Kamu meminta doa restu pada istrimu, kalau kamu akan segera mewujudkan keinginannya. Istrimu tampak begitu bahagia, meski saat kamu memeluknya, diwarnai dengan banjir air mata.
Maka berangkatlah kamu ke kediaman Sang Prabu. Sebelum kamu memulai untuk mengobati, kamu berkata pada Sang Prabu kalau bisul tersebut harus dienyahkan dengan benda tajam dan harus mampu menahan rasa sakit. Sang Prabu tidak peduli dengan apa saja kamu bertindak, terpenting bisulnya hilang.
Tanpa keraguan, kamu melakukan apa yang harus kamu lakukan. Kamu mengangkat bisul itu, tapi berlanjut pisau itu kamu tikamkan ke perut Sang Prabu. Kamu sedikit teledor, tidak menyumpal mulut Sang Prabu sehingga suara teriakan kesakitan bisa diredam. Gajah Mada tiba-tiba muncul dan melihatmu yang memegang pisau penuh darah langsung mengeluarkan kerisnya. Ia berdiri tidak jauh darimu.
“Semua berjalan sesuai rencanaku, Tanca. Terima kasih telah memuluskan jalanku,” kata Gajah Mada dengan senyum penuh kemenangan.
Kamu tentunya terkaget dengan apa yang diucapkan Gajah Mada. Seketika di kepalamu muncul pertanyaan, dari mana ia tahu kalau kamu hendak membunuh Sang Prabu hari ini?
“Kamu pasti heran, mengapa aku bisa tahu kalau kamu melakukan semua ini? Aku tidak bodoh, Tanca. Aku telah mengirim telik sandi ke kediamanmu. Segalanya telah kuketahui.”
Kamu siaga dengan pisau yang kamu genggam masih dengan perasaan tidak percaya. Gajah Mada tampak begitu santai.
“Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Dengan apa yang kamu lakukan, aku tidak perlu mengotori tanganku. Dan Gusti Gayatri pasti sangat puas dengan kematian Jayanegara. Bukankah itu juga yang kamu harapkan juga?”
Kamu tersentak. Gusti Gayatri puas? Kamu tidak percaya Gajah Mada mengucapkan hal itu. Apakah mungkin Gusti Gayatri juga menghendaki kematian Jayanegara? Atas dasar apa? Pertanyaan itu segera buyar setelah beberapa prajurit meringkusmu. Gajah Mada mendekat padamu dan mengucapkan sebuah kalimat yang membuatmu ingin memukul wajahnya.
“Sebentar lagi aku akan menjadi mahapati, Tanca. Gusti Gitarja telah menjanjikan jabatan itu jika aku berhasil menyingkirkan Jayanegara. Tanca, jasamu tidak akan pernah kulupakan, sekalipun sebentar lagi nyawamu akan melayang.” ***
.
.
Gang Beo, 2023
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2021. Menulis kumpulan cerpen Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.
Fatih Jagad Raya Aslami, lahir di Bandung, 22 Januari 2000. Menempuh pendidikan di Unversitas Pendidikan Indonesia Bandung. Sebagai seniman generasi baru, Fatih punya pengalaman membuat virtual reality Jagad Maya bersama Uvisual, 3D Generalist di Convert Textured selama 6 bulan. Ia sudah kerap berpameran sejak tahun 2019 lalu, terakhir pameran Temu NFT Jakarta, Ganara Art Space Plaza Indonesia Jakarta.
.
Ra Tanca. Ra Tanca. Ra Tanca. Ra Tanca. Ra Tanca.
Leave a Reply