Cerpen, Kompas, Putu Wijaya

Malu

Malu - Cerpen Putu Wijaya

Malu ilustrasi Franziska Fennert/Kompas

4.9
(16)

Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 09 Juli 2023)

SAYA ditangkap dengan tuduhan maling. Meskipun sudah setengah mati membela diri dengan segala kilah bahwa barang itu saya temukan menggeletak di jalanan, saya tetap dianggap telah mengambil milik orang lain dengan maksud memilikinya. Saya heran, kok memungut sudah disamakan dengan mengambil.

“Saya memang mengambil barang yang menggeletak di jalanan. Bukan mengambil barang yang ada di rumah pemiliknya,” kata saya waktu diproses.

“Tak mungkin ada barang berharga ratusan juta yang menggeletak di jalanan tanpa ada pemiliknya. Meskipun Saudara merasa tidak mengambil tapi Saudara sebenarnya sudah terbukti mengambil barang milik orang lain.”

“Tapi saya tak merasa begitu.”

“Perasaan Saudara itu subyektif bukan fakta obyektif. Saudara sudah terbukti memindahkan harta milik orang lain dengan tujuan memiliki. Itu sudah memenuhi persyaratan pencurian. Kalau Saudara mau mengakui terus-terang itu akan dipertimbangkan untuk mengurangi hukuman. Bersedia mengaku?!”

“Tidak, saya tidak mau mengakui apa yang tidak saya lakukan. Saya tidak takut pada hukuman. Saya hanya takut pada ketidakbenaran.”

Begitulah awalnya kenapa kemudian saya dijebloskan ke penjara. Saya tidak apa-apa karena saya dapat makan gratis sebagai terhukum. Tapi istri dan keempat anak saya empot-empotan.

Istri saya mencoba jualan. Tapi kemudian sakit. Akhirnya rumah warisan orangtuanya dijual. Tak berapa lama hasil penjualan rumah habis. Istri saya lalu datang ke penjara untuk bicara empat mata dengan saya.

“Bang, uang sudah habis. Aku tidak tahu lagi bagaimana bertahan hidup. Aku sekarang sakit-sakitan. Anak-anak perlu biaya untuk sekolah. Masak mereka mesti jadi pencuri. Jadi aku datang tidak untuk minta izin pada Abang, tapi meminta dengan sangat demi masa depan mereka agar Abang memerintahkan aku supaya kawin dengan siapa saja yang bisa membiayai hidup kami, terutama menanggung biaya pendidikan anak-anak.”

Satu bulan hati saya sakit mendengar permintaan yang kurang ajar itu. Tapi setelah ngamuk dalam mimpi akhirnya saya menyerah. Yah masa kebebasanku masih lama dan kalau itu datang belum berarti dibarengi hoki. Bisa makin parah karena tanggungan bertambah. Meskipun saya jadi kurus-kering makan hati, tapi kemudian gembira juga mendengar berita anak-anak sekolahnya berlanjut. Memang cemburu juga dengar istri saya jadi sehat dan tambah cantik. Tetapi akhirnya sedih juga karena kemudian mereka semua pindah entah ke mana.

Saya merasa tidak punya sangkutan lagi ke bumi. Sering saya bergulat dengan setan dalam batin yang mengajak saya bunuh diri. Tapi pada tahun ketiga tiba-tiba saya dibebaskan. Tidak jelas itu hadiah karena kelakuan saya yang baik atau mereka baru bisa melihat perbedaan mengambil dan menemukan.

Bebas kembali ternyata tidak secantik yang saya bayangkan dulu. Bebas tanpa ada yang diajak ikut menikmati kebebasan, seperti justru masuk neraka. Saya kembali ke penjara. Minta hukuman saya disambung. Mereka mengusir, menganggap saya sudah gila. Beberapa lama saya jadi gelandangan. Tidur di emperan toko. Setiap malam kucing-kucingan dengan petugas kebersihan kota. Sampai kemudian saya diajak jadi kuli harian untuk gali tutup saluran kabel di sepanjang jalanan yang konon untuk menghabiskan anggaran tahunan departemen.

Baca juga  Ancaman

Meski hidup acak-acakan dan rezeki senin-kamis, pengalaman membuat saya matang. Mungkin itu yang menjadi jembatan mengantar saya dipilih sebagai mandor kuli-kuli jalanan. Dan entah karena mereka para kuli itu mengeper, tahu saya lulusan penjara atau karena saya hoki, saya dipatuhi.

Suatu kali ada kejadian. Seorang kuli menemukan tentengan plastik menggeletak di pinggir jalan. Ketika dibuka isinya dua kotak nasi padang. Langsung para kuli rebutan mengganyangnya. Saya terharu melihat mereka begitu kelaparan. Tapi tak berapa lama kemudian seorang lelaki parlente menghampiri dan berteriak, bahwa itu miliknya. Dia menunjuk ke mobilnya yang diparkir tak jauh dari sana. Dia berkoar marah dan menuduh para kuli itu pencuri. Terjadi pertengkaran hebat. Sampai beberapa petugas muncul melerai.

Saya yang melihat kejadian itu langsung terlibat melerai. Saya bilang, anak buah saya tidak ada yang mengambil tentengan plastik itu dari mobil. Tapi memang mereka menemukannya tergeletak di pinggir jalan. Tapi pemilik mobil itu tidak terima. Akhirnya beberapa anak buah saya dibawa ke pos polisi terdekat meskipun saya sudah mau mengganti harga kedua kotak nasi padang itu. Pemilik mobil itu bilang bukan masalah uang tapi penegakan hukum.

Lima orang anak buah saya ditahan. Saya marah sekali. Begitu rentan nasib orang kecil. Kemiskinan sudah jadi atribut pihak yang salah. Rasa keadilan saya meledak. Entah apa saja yang saya katakan untuk membuktikan “menemukan” itu bukan “mengambil”. Saya kalap karena pemilik mobil yang mengaku pemilik dua kotak nasi padang itu terlalu angkuh. Mungkin sekali dia punya pelindung kuat. Tapi saya tak peduli. Saya juga tak peduli ada kamera yang menyorot insiden itu.

Malam hari saya kedatangan beberapa kuli yang memuji pembelaan saya pada teman mereka. Salah seorang menunjukkan rekaman insiden di media sosial. Saya kelihatan nekat.

“Masak menemukan dianggap mengambil. Mengambil milik orang lain dengan maksud memiliki itu memang mencuri. Tapi menemukan, sekali lagi menemukan sesuatu tanpa ada maksud apapun, salahnya apa? Ini tidak adil! Ini bukti keadilan sudah dimonopoli orang kaya!”

Saya terkejut. Muka saya di layar kelihatan seperti orang kerasukan setan. Begitu keruh, sengit, keji, dan berkobar. Saya jadi terlempar pada kejadian lalu yang membuat saya masuk penjara. Ketika saya menemukan kotak yang berisi perhiasan ratusan juta, dituduh sudah mengambil, mengambil kotak itu dari rumah pemiliknya, meskipun saya memang mengambil. Memang saya ambil dari rumah pemiliknya.

Baca juga  Rumah Idaman

Tiba-tiba saya merasa malu. Malu sekali. Ternyata penjara saja tidak cukup, saya perlu enam tahun untuk bisa merasa malu. Anak buah yang tak tahu apa yang saya pikirkan terus saja memuji. Saya jadi tambah malu. Saya suruh mereka cepat pulang karena besok galian harus rampung. Kalau kelima kuli yang ditahan belum dibebaskan, harus dicari penggantinya, supaya pekerjaan tidak terhambat.

“Tidak mungkin tidak terhambat, Pak. Memang itu maksudnya!”

Saya terkejut.

“Maksud kamu?”

“Maaf, apa Bapak tidak tahu galian kita ini proyek rebutan?”

Saya mulai merasa ada yang tidak beres. Tapi saya tidak mau masuk ke dalam persoalan orang lain. Saya pura-pura tak mengerti dan menyuruh mereka segera pulang.

“Kalau kelima teman kami tidak dibebaskan banyakan dari kami juga tidak mau kerja besok Pak. Kami kan teman sekampung jadi harus solider.”

“Masak kita terus dikalahkan karena orang itu punya mobil mewah? Kita kan juga orang merdeka? Masak memunggut nasi di jalan dianggap mengambil dari mobil, Pak. Jangan-jangan….”

Saya usahakan memberi mereka landasan moral bahwa perjuangan tidak selalu harus beringas. Kebenaran justru akan datang sendiri menghampiri kalau itu memang milik kita.

“Jadi bersabar dan berserah itu besar sekali artinya asal kita barengi dengan tetap mau berusaha dengan tulus dan ikhlas pasti berhasil.”

Entah karena nasihat saya atau karena sudah menyerah dari niatnya untuk mendesak saya bertindak konkret, akhirnya mereka pulang. Tapi begitu saya sendirian, tiba-tiba kebenaran itu mengetuk pintu kamar.

“Tapi tidak mungkinkah tentengan plastik berisi dua kotak nasi itu meskipun memang milik lelaki parlente yang naik mobil mewah itu, tetapi itu semuanya sudah dirancang untuk membuat berita viral di medsos? Ingat mengapa di pinggir jalan kumuh itu tiba-tiba ada yang bawa kamera?”

Saya kaget. Ketika mau menjawab, kebenaran itu sudah ngacir. Saya jadi gentayangan. Celetukan batin itu membuat saya berperang dalam hati. Entah pikiran sehat atau pikiran kotor yang menang, saya lantas berangkat.

Saya datang ke kantor polisi. Tapi begitu sampai saya dikejutkan oleh informasi bahwa anak buah saya sudah dilepaskan. Mereka sendiri heran, ketika saya masih bertanya, mengapa anak buah saya dibebaskan.

“Ya, buat apa menahan mereka yang jelas tak bersalah. Di sini juga sudah penuh.”

Saya jadi bingung. Masak kebenaran begitu baiknya sampai mau mengetuk pintu kamar kontrakan saya hanya untuk kebenaran sekecil itu?

Melihat saya bego, salah seorang petugas itu lalu menjelaskan bahwa, “Pemilik nasi bungkus itu menelepon kami untuk mencabut tuduhannya. Katanya setelah sampai di rumah ternyata kotak nasi itu ada dalam mobil istrinya yang pulang lebih dahulu. Jadi….”

Saya langsung lupakan saja peristiwa itu. Banyak urusan lain menunggu diurus dalam hidup ini. Kalau diladeni semua saya bisa koit. Saya ingin hidup waras saja meskipun miskin asal tidak gila. Tidak ikut-ikutan edan.

Baca juga  Janur Hati

Pada suatu hari. Sebuah mobil mewah berhenti dekat saya biasa ngetem para kuli bangunan. Jendela kaca mobil terbuka, seorang lelaki ganteng pakai kaca mata hitam memberi isyarat supaya saya mendekat. Karena menduga itu pejabat bersangkutan dengan proyek, saya hampiri. Ternyata seorang youtuber.

“Selamat siang, Pak.”

“Siang!”

“Bapak tahu, kan, sebentar lagi kita merayakan hari kemerdekaan kita yang ke-78?”

“Betul!”

“Apakah Bapak merasakan Bapak sudah merdeka?”

“Kenapa tidak?!”

“Apa Bapak merasa adil sudah kerja matian-matian 10 tahun tapi masih bertengger di jalanan, sedang aku baru 3 tahun sudah naik Ferrari?”

Ekor mata saya menemukan ada orang mengarahkan kameranya ke muka saya. Langsung saya pasang jawaban yang tak diharapkannya.

“Kalau soal keadilan jangan tanya sama mandor galian kabel listrik. Voltasenya beda.”

Lelaki ganteng itu membuka kaca matanya sambil memberi isyarat yang pegang kamera agar stop.

“Masih ingat aku?”

Saya sebenarnya ingat tapi menjawab “tidak”.

“Masak. Aku, kan, yang datang malam itu yang menunjukkan video protes Bapak yang viral di medsos!”

“Video apa?”

“Pencurian kotak nasi padang itu. Aku mau dorong Bapak bertindak. Tapi Bapak takut. Akhirnya aku jalan sendiri. Aku ancam dia. Kalau tidak membatalkan tuduhannya aku bunuh dia. Dia ngeper. Langsung kawan kita dibebaskan. Sejak itu aku mulai mengerti cari duit di era digitalisasi ini, betul kata Bapak, beda voltasenya!”

Kaca mobil ditutup. Dan mobil meluncur pergi. Saya bengong karena seluruh peristiwa sejak 15 tahun lalu mengguyur saya. Tapi saya tidak perlu malu asal nanti berani minta maaf kepada orang yang kehilangan kotak nasi padang itu. Ternyata bicara perjuangan kemerdekaan saja memerlukan perjuangan, tahu malu juga perlu kepahlawanan. ***

.

.

Putu Wijaya, lahir di Tabanan, Bali, 11 April. Ia salah-satu seniman paling produktif di Indonesia. Telah menulis lebih dari 30 novel, 40 naskah drama, ribuan cerpen, ratusan esai, puluhan skenario film, dan menghasilkan ratusan lukisan. Putu pernah bergabung dengan Bengkel Teater Rendra di Yogyakarta, sebelum kemudian mendirikan Teater Mandiri tahun 1971.

Franziska Fennert, seniman Jerman, lahir di bekas negara sosialis Jerman Timur, yang telah tinggal di Indonesia sejak tahun 2013. Ia berkarya terutama dengan benda-benda yang dijahit, lukisan, dan sejak 2020 mengeksplorasi plastik bekas. Pada tahun 2020, Franziska memprakarsai pembangunan candi yang terbuat dari sisa-sisa plastik yang dilebur menjadi bata di samping tempat pembuangan sampah Piyungan, Yogyakarta, yang kemudian secara kolektif berevolusi menjadi Monumen Antroposen.

.
Malu. Malu.

Loading

Average rating 4.9 / 5. Vote count: 16

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. DEWA KETUT DICKY PRAMUDYA

    CERITA YANG BAGUSS

Leave a Reply

error: Content is protected !!