Cerpen, Indra Tranggono, Kompas

Adakalanya Malaikat Menangis

Adakalanya Malaikat Menangis - Cerpen Indra Tranggono

Adakalanya Malaikat Menangis ilustrasi I Made Somadita/Kompas

3.6
(5)

Cerpen Indra Tranggono (Kompas, 16 Juli 2023)

PASUKAN malaikat turun ke Bumi. Dalam waktu singkat, mereka sudah mendarat. Jarak telah terlipat. Surga dan Bumi terasa begitu dekat. Hanya butuh belasan kali kepakan sayap.

Begitu menjejakkan kaki di Bumi, tak ada satu wajah pun yang tampak cerah semringah. Bukan bosan menjalankan perintah Tuhan. Bukan. Melainkan bosan karena harus berulang kali datang di suatu ceruk bumi yang sama sekali tidak menarik. Malah membuat sedih.

Ceruk bumi yang didatangi pasukan malaikat itu bernama Republik Ganda Mayeeth, negara yang terdiri dari ribuan pulau dan terletak di Benua Asia. Nama ibu kota negara itu Thacarjav. Data terakhir menyebut jumlah penduduk Republik Ganda Mayeeth sekitar 200 juta jiwa. Hidup dalam kekayaan alam melimpah tidak serta-merta membuat mereka bahagia. Jumlah kaum tunakarya terus bergerak, seirama dengan kecemasan yang meringkus mereka. Namun, mereka tetap berjuang bisa bahagia, dengan terus menyanyi, menari sepanjang hari hingga rasa lapar pergi. Suara mereka parau hingga setiap lagu terdengar sumbang.

Sampai di Thacarjav, pasukan malaikat langsung disergap tumpang tindih gubuk-gubuk reyot yang hanya indah dilihat dalam lukisan. Kemiskinan yang artistik. Beberapa warga tampak duduk melingkari api, menunggu bangkai anjing matang. Aroma bangkai yang terbakar itu menyengat hidung pasukan malaikat. Sedap. Namun, mata para malaikat tampak basah. Mereka pun mengedarkan pandangan. Beberapa perempuan sedang mencukili belatung-belatung dari borok di kaki, punggung, dan pipi. Semua malaikat terpejam, hingga tidak sempat melihat ada perempuan yang melakukan swaoperasi bedah perut demi mengeluarkan bayinya. Bayi itu langsung ditanam di tanah.

Para malaikat bergidik. Dan dalam hati bertanya, kenapa Tuhan menugaskan mereka di tempat yang sangat menyedihkan ini. Tes mental? Tidak mungkin. Pernah ada malaikat yang memberanikan diri bicara kepada Tuhan perihal negara yang harus dikunjungi. Malaikat itu berharap, Tuhan berkenan memberikan tugas ke negara lain, bukan negara Ganda Mayeeth yang telah berulang kali didatangi. Namun, Tuhan hanya tersenyum.

Malaikat-malaikat itu dengan sayapnya yang terbuat dari cahaya terbang meninggalkan permukiman kumuh itu. Mereka melintasi gedung-gedung tinggi dan besar. Dari atas mereka melihat orang-orang sedang bekerja. Ada rapat. Ada yang mempelajari statistik. Dan kesibukan lainnya.

Didorong rasa penasaran, para malaikat pun turun dan langsung menembus cor beton hingga sampai di ruang tempat orang-orang itu tampak sibuk. Sosok malaikat langsung berubah jadi kristal-kristal udara sehingga tak ada satu orang pun yang melihat. Dengan tekun, para malaikat itu mendengar dan mencermati kesibukan orang-orang itu. Beberapa saat kemudian, mereka terhenyak bahkan nyaris pingsan. Ternyata orang-orang itu sedang sibuk membagi jatah uang korupsi. Perut para malaikat itu langsung mual. Mau muntah. Sambil geleng-geleng kepala, mereka buru-buru meninggalkan tempat itu, kembali melesat ke langit. Pindah ke tempat lain, ke kantor-kantor negara. Pemandangan yang mereka lihat pun sama. Orang-orang sedang membagi uang hasil korupsi.

Baca juga  Kimpul

Dalam lawatan yang menyedihkan itu, para malaikat mencatat hampir semua tempat di Republik Ganda Mayeeth terjadi korupsi. Catatan itu membuat mereka putus asa. Dan menyimpulkan negeri Ganda Mayeeth tidak bisa diselamatkan lagi. Mereka pun buru-buru cabut dari tempat itu. Namun, salah satu malaikat mengingatkan bahwa masih ada tugas penting dari Tuhan yang harus dilaksanakan, yaitu melakukan pengamatan apakah masih ada orang baik di Republik Ganda Mayeeth. Mendengar ucapan itu, wajah para malaikat langsung bersinar. Ini tugas yang membahagiakan, pikir mereka. Kita akan bertemu dengan orang baik-baik, ujar yang lain. Ciri orang baik itu, kata salah satu malaikat, selalu membahagiakan siapa pun. Para malaikat pun dengan penuh semangat menuju ke tempat orang-orang baik berada.

Mereka singgah di gedung parlemen, gedung-gedung kementerian, kampus-kampus, rumah-rumah ibadah, gedung-gedung pengadilan, kantor-kantor polisi, bank-bank. Hampir semua tempat sudah disisir. Mereka berubah menjadi kristal udara yang masuk ke tubuh orang-orang dan singgah di hati mereka. Mereka sibuk mencatat suara-suara hati, lalu masuk ke rongga kepala untuk memeriksa otak. Dalam waktu cepat mereka keluar dari tubuh orang-orang.

Ketika bertemu, para malaikat itu saling diam. Saling pandang. Seolah ingin bertanya tentang hasil penelitian jiwa dan pikiran manusia. Namun, tak ada kata terucap. Semua malaikat kembali membuka catatan masing-masing.

“Saya takut melaporkan catatan ini kepada Tuhan. Saya khawatir Tuhan akan kecewa…,” ujar salah satu malaikat dengan suara datar, lemah. Lemas.

Para malaikat saling memandang. Bingung. Cemas.

“Bro…, saya kira Tuhan tidak akan marah kepada kita,” ujar malaikat yang lain, “Ya, karena kita sudah menjalankan tugas. Apa pun hasilnya. Mosok kita harus memanipulasi data ini…?”

“Bagiku, bukan itu masalahnya,” ucap malaikat yang lain, “Masalahnya itu kenapa orang baik di negeri ini nyaris tidak ada?”

Secara kompak para malaikat menghela napas.

“Padahal, jika masih ada banyak orang baik, Tuhan pasti menolong bangsa ini…,” ucap malaikat yang lain.

“Sabar, Bro. Jangan terlalu tergesa menyimpulkan. Jangan-jangan kita saja yang kurang teliti. Kupikir, masih ada orang lain di negeri ini….”

Para malaikat tersentak. Tapi tetap tidak ada yang berucap.

“Sebaiknya kita berdoa….”

Para malaikat kompak mengangguk.

“Besok investigasi kita lanjutkan,” ujar pemimpin pasukan malaikat.

“Siaap, Ndan!”

Para malaikat pun terbang ke langit.

Di surga, para malaikat pun berdiskusi. Mereka tidak habis pikir, kenapa jumlah koruptor di negara Ganda Mayeet begitu besar. Apakah tidak ada cita-cita lain selain menjadi koruptor?

“Masak kamu enggak tahu. Awalnya cita-cita mereka itu ya jadi orang baik. Punya pekerjaan layak, syukur tinggi. Gaji cukup, syukur masih dapat tunjangan ini dan itu, dan mengabdi sepenuhnya demi kebaikan…,” ujar Malaikat yang sejak tadi diam.

“Kenapa mereka bisa berubah cita-cita?”

Baca juga  Orang-orang yang Menjaga Tidur Mereka di Sungai yang Merah

“Gimana, sih, kamu ini. Cita-cita mereka itu masih sama. Ingin jadi orang baik. Ingin, lho. Ingin. Tapi keinginan, kan, bisa terkabul dan bisa juga tidak. Jadi meskipun jadi koruptor, mereka itu tetap ingin jadi orang baik. Dan niat ini, tetap harus diapresiasi.”

“Lha, kalau hanya sebatas keinginan…, lalu apa artinya?”

“Arti bagi siapa? Bagi orang lain? Atau bagi dirinya sendiri? Kalau soal orang lain, mereka itu tidak peduli….”

“Kalau bagi diri sendiri?”

“Ya, jelas menguntungkan dan menyenangkan. Dengan menjalani titah sebagai koruptor sekaligus masih punya keinginan jadi orang baik, mereka tidak pernah punya rasa bersalah. Karena korupsi adalah tahapan, proses menuju cita-cita jadi orang baik.”

“Jadi mereka suatu ketika akan tobat?”

“Ah, kalau soal itu sangat spekulatif. Bisa ya…, bisa tidak. Tergantung dinamika internal kebatinan mereka.”

“Itu namanya munafik!”

“Nah, itulah yang ingin saya katakan. Munafik! Orang munafik itu sangat berbahaya. Dia mengacaukan kebaikan dan keburukan. Kemuliaan dan kenistaan. Berganti wajah setiap hari. Punya koleksi banyak topeng.”

“Jadi kesimpulannya apa?”

“Yang kita cari adalah orang yang tidak munafik. Karena tidak munafik umumnya orang baik. Masihkah ada orang tidak munafik di Republik Ganda Mayeeth? Itu tugas kita untuk membuktikan. Kalau ternyata masih banyak, Tuhan tidak akan mendatang azab. Bagaimanapun, negeri itu harus diselamatkan.”

“Jadi kita mesti ke sana lagi?” salah satu malaikat menunjukkan wajahnya yang terlipat.

“Ya, jelas. Ini tugas suci. Oke?”

“Oke…,” saut para malaikat kompak.

Ketika malaikat menginjak Bumi di Republik Ganda Mayeeth, mereka disergap pemandangan berbeda. Gubuk-buruk reyot berubah jadi perumahan layak huni. Rumah sakit-sakit penuh sesak pasien. Orang-orang sibuk bekerja di berbagai tempat. Anak-anak belajar di sekolah. Tak ada lagi orang menganggur. Tak ada tampak gembel lalu lalang di jalan-jalan. Semuanya, sibuk. Bekerja dengan sukacita.

Para malaikat heran. Kenapa perubahan drastis terjadi begitu mendadak? Mereka pun mulai curiga.

“Jangan-jangan mereka tahu kehadiran kita.”

“Sangat mungkin mereka tahu rencana Tuhan.”

Pemimpin pasukan malaikat tidak tampak heran, apalagi takjub. “Jangan-jangan ini jebakan,” ujarnya.

“Sangat mungkin, Ndan. Manusia itu, kan, kelicikannya sangat canggih. Bahkan setan dan iblis pun iri….”

“Husss, jangan ngrasani iblis. Dia tidak terlibat dalam perkara ini. Karena tanpa digoda pun tingkah manusia sudah melebihi iblis.”

“Terus apa yang harus kita lakukan?”

“Ya, tetap sesuai dengan tupoksi, tugas pokok dan fungsi. Mencari dan mendata orang-orang yang tidak munafik….”

“Siap,” sahut para malaikat kompak.

Para malaikat pun bekerja. Memasuki berbagai tempat dan lingkungan kerja. Namun, mereka disekap kesunyian. Tak ada satu orang pun tampak.

“Jangan-jangan rencana kita sudah dicium mereka?”

“Masak mereka punya alat yang mendeteksi pikiran dan kehendak malaikat.”

“Itu jelas tidak mungkin. Mari kita sisir tempat-tempat lainnya.”

Para malaikat pun bergerak. Terbang menuju suatu tempat yang terlihat ganjil. Seluruh dindingnya adalah cahaya. Mereka pun menembus dinding itu. Mendapati beberapa orang sedang khusyuk berdoa. Geremang suara doa menggetarkan hati. Selesai berdoa, seorang laki-laki sepuh menemui rombongan malaikat.

Baca juga  Percintaan Bulbul

“Maaf, kedatangan kami mengganggu,” ujar komandan malaikat.

“Oh, tidak apa-apa…. Kami bahagia menerima kedatangan Anda semua. Kalau boleh tahu, Anda-Anda ini siapa dan dari mana, ya?”

Para malaikat saling memandang. “Kami…, eh…, kami…, eh tapi apakah itu penting?”

Orang tua itu tertawa. “Anda semua ini malaikat, benar?”

“Bagaimana Anda tahu?”

“Lubuk hati kami terasa bergetar. Radar jiwa kami menangkap gelombang makhluk Tuhan yang bermukim di surga. Ya, kami yakin Anda semua ini malaikat….”

Para malaikat takjub. “Bapak ini siapa?”

“Saya cuma pendoa. Kami berdoa sebisa kami. Yang penting Tuhan tetap menyayangi kami.”

“Kenapa Bapak dan teman-teman itu tinggal di sini?”

“Ini Bukit Cahaya. Bukit itu jadi bercahaya karena doa-doa yang kami lantunkan setiap waktu. Kami sampai ke sini karena diusir dari kota-kota. Jumlah kami lumayan banyak. Selain bercocok tanam dan memelihara ternak, kami juga selalu berdoa.”

“Mendoakan agar para pengusir kalian diazab Tuhan?”

“Oh tidak. Kami selalu berdoa untuk kebaikan. Seburuk apa pun perlakuan mereka, kami tetap mendoakan mereka.”

Ucapan itu menggetarkan rongga dada para malaikat. Ada yang terharu. Ada yang menangis. Ada yang memeluk orang tua itu.

Wajah para malaikat tampak semringah. Cerah. Mereka pun pamit, terbang menembus lapisan langit dan tidak sabar melaporkan semua yang mereka lihat dan temui kepada Tuhan.

Dari ketinggian, para malaikat itu memandang ke bawah, ke Bukit Cahaya. Bukit Cahaya itu membesar seiring dengan geremang doa-doa yang menembus lapisan-lapisan langit.

Para malaikat menangis. ***

.

.

Indra Tranggono, penulis cerpen dan esai, tinggal di Yogyakarta. Bukunya yang sudah terbit Sang Terdakwa, Iblis Ngambek, Menebang Pohon Silsilah dan Perempuan yang Disunting Gelombang. Cerpennya belasan kali masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Ia juga menulis naskah lakon dan skenario film. Pada 2015, ia mendapat penghargaan Kesetiaan Berkarya dari Kompas. Pada 2017, ia mendapat Penghargaan Budaya dari Pemerintah DI Yogyakarta. Hingga kini, ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan seni dan budaya di Yogyakarta.

I Made Somadita. Lahir di Tabanan, Bali 1982. Lulusan ISI Denpasar ini tinggal dan bekerja di Denpasar, Bali. Sejak 2002 setidaknya sudah lima kali pameran tunggal dan pameran bersama di berbagi negara Asia dan Eropa. Pernah mengikuti program residensi seni dalam kurun waktu 2011-2015 di Thailand, Perancis, Belanda, India, dan Indonesia.

.
Adakalanya Malaikat Menangis. Adakalanya Malaikat Menangis. Adakalanya Malaikat Menangis. Adakalanya Malaikat Menangis. Adakalanya Malaikat Menangis.

Loading

Average rating 3.6 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!