Cerpen, Pikiran Rakyat, YOFFIE CAHYA

Yang Membayar Utang Piutang

Yang Membayar Utang Piutang - Cerpen Yoffie Cahya

Menjadi Segala yang Tak Ada ilustrasi Adhimas Prasetyo/Pikirann Rakyat

4
(4)

Cerpen Yoffie Cahya (Pikiran Rakyat, 08 April 2023)

SUATU sore di bulan Ramadan, saya kedatangan seorang tamu, yaitu Hamdi, teman dekat yang sudah lama tak pernah bertemu. Ya, sejak ia dan keluarganya pindah ke Garut, kurang lebih empat puluh tahunan yang lalu.

Hamdi datang dengan mobil Avanza yang dikendarai sopir pribadinya. Begitu ia keluar dari mobil, kami saling mengucapkan salam, berjabatan tangan dan berpelukan melepas kerinduan.

“Bagaimana kabarnya, Son, sehat ya?”

“Alhamdulillah, sehat, Ham.”

“Puluhan tahun baru ketemu, ya Son. Kita sama-sama sudah tua.”

“Ya, Ham… silakan masuk.”

Hamdi perlahan mengikuti langkah saya menuju rumah. Sopir pribadinya menunggu di dalam mobil sambil asyik dengan telepon genggamnya.

Tak ada perubahan mencolok dari penampilan Hamdi, kecuali rambutnya yang sudah hampir semua memutih, seperti juga rambut saya. Suatu hal yang wajar dan alami karena usia kami sudah mendekati kepala tujuh.

Penampilan Hamdi masih memperlihatkan sisa ketampanannya, hanya yang berbeda adalah pakaian yang dikenakannya. Ia kini tampil dengan baju koko, kepala berpeci, sal yang melilit di lehernya, layaknya penampilan seorang kiai atau ajengan.

Di ruang tamu kami ngobrol ke sana ke mari, terutama mengenang kembali masa lalu kami. Ia banyak bertanya tentang kota kelahiran yang sudah banyak mengalami perubahan, kawan lama atau teman sekolah yang memang banyak yang sudah mendahului kami.

“Alhamdulillah, Son… sejak saya dan keluarga pindah ke Garut, tinggal bersama mertua, perlahan-lahan diri saya mengalami perubahan, saya mendapat hidayah dari Allah,” suara Hamdi terdengar meyakinkan. Saya mengerti ke mana arah pembicaraan Hamdi.

“Syukurlah, Ham…,” saya menimpali.

“Saya sudah meninggalkan semua perbuatan saya di masa lalu. Pada mulanya saya menyesuaikan diri, beradaptasi dengan lingkungan, terutama keluarga mertua yang taat beragama. Beliau  mengelola sebuah yayasan dan mendirikan sebuah pondok pesantren.

Baca juga  Untuk Arga dan Segara

Saya bekerja mengelola perusahaan daging sapi milik mertua. Saya mulai rajin salat lima waktu, banyak belajar agama dari pengajian-pengajian, buku-buku, para ulama dan uztad. Selain itu saya banyak membaca literatur atau referensi tentang ceramah keagamaan. Saya tertarik dan berminat menjadi penceramah.”

“Oh… kau jadi ajengan yang suka memberi ceramah?” tanya saya.

“Ya, Son, pada mulanya saya berceramah hanya di pengajian-pengajian rutin di masjid-masjid yang dekat saja. Tapi kemudian banyak undangan untuk memberikan ceramah di luar kampung bahkan sering juga ke luar kota.”

“Alhamdulillah, semoga berkah dan mendapat pahala dari Allah Swt.,” kata saya.

“Aamiin…,” kata Hamdi spontan.

“Nah, Son, sengaja saya bersilaturahim di bulan Ramadan, bulan suci yang penuh rahmat, ampunan dan berkah. Dan di bulan Ramadan sekarang, saya ingin menyucikan diri terutama dalam masalah utang-piutang,” Hamdi berkata dengan mimik wajah yang serius.

“Dalam agama kita yang namanya utang-piutang itu kan harus dibayar. Jika tidak, utang itu terbawa mati dan harus dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti. Jadi, salah satu yang membebani orang mati itu utang-piutang yang belum dibayar selama hidup di dunia.”

“Ya, ya betul,” kata saya.

“Nah dulu… tahun berapa ya, saya pernah pinjam uang sama Soni seratus ribu rupiah,” kata Hamdi sambil mengeluarkan tiga amplop dari dalam tasnya. Lalu satu amplop diberikannya pada saya sambil berkata:

“Nah, hari ini saya bayar dua juta rupiah. Sudah diperhitungkan, nilainya kurang lebih sama dengan seratus ribu waktu itu.”

“Oh, tidak usah, Ham, saya sudah ikhlas,” kata saya.

“Jangan begitu, Son. Kalau kau tidak mau menerima, saya yang berat menanggung dosanya di akhirat. Jadi terimalah, Son, kasihanilah saya,” suara Hamdi terdengar memelas.

Baca juga  Topeng Maut Merah (1842)

“Ya… ya, Ham, saya terima uang ini sebagai pembayaran hutangmu,” kata saya sambil menerima amplop itu.

“Nah, ini yang dua amplop lagi saya minta bantuanmu untuk diberikan kepada Hendra dan Wawan. Tolong, Son, saya tidak sempat menemui mereka karena waktu sudah sore, jadi saya langsung pulang saja.”

Saya menerima dua amplop lagi, masing-masing amplop tertulis nama Hendra dan Wawan berikut nominal uang di dalamnya.

“Baiklah, Ham, saya akan berikan pada Hendra dan Wawan,” kata saya sambil menatap wajahnya.

“Terima kasih, Son. Sekarang hati saya merasa lega karena jika saya mati, saya merasa terlepas dari dosa akibat utang-piutang,” kata Hamdi dengan nada suara penuh keyakinan.

Setelah beberapa saat berdiam diri, Hamdi berpamitan untuk pulang kembali ke Garut. Kami saling mencatat nomor handphone agar sewaktu-waktu bisa berkomunikasi.

***

Hamdi memang mempunyai masa lalu yang kelam. Di masa mudanya ia gemar berjudi. Judi apa saja ia ikuti, hingga kalau kehabisan uang dan waktu mendesak ia pinjam ke sana ke mari. Hamdi juga sudah kecanduan minuman keras, mabuk-mabukan dan main perempuan. Semua itu ia lakukan dengan uang yang ia kuras dari harta orang tuanya. Waktu itu, istrinya Nurlela sering datang menemui istri saya untuk mengobrol dan curhat. Istri saya hanya memberi saran, agar ia tetap sabar dan berdoa agar suatu saat Hamdi insaf dan menghentikan semua perbuatan maksiatnya.

Sampai mereka punya anak tiga, kelakuan Hamdi tetap tidak berubah. Kesabaran Nurlela habis sudah, ia minta cerai dan akan pulang ke orang tuanya di Garut. Beruntung, Hamdi masih mencintai Nurlela dan keluarganya hingga permintaan Nurlela ditolaknya.

Nurlela memberi keputusan, jika Hamdi tak mau menceraikan dirinya, mereka sekeluarga harus pindah ke Garut. Hamdi mengalah, menuruti keinginan Nurlela. Dan ternyata, kepindahan keluarga mereka ke Garut membawa hikmah. Allah telah memberikan taufik dan hidayahnya.

Baca juga  Pohon Jejawi

***

Dua hari setelah kedatangan Hamdi, sore sebelum azan  Magrib dan saat berbuka puasa, handphone saya berdering. Ternyata Hamdi memanggil. Saya segera mengangkat handphone, tapi di seberang sana yang terdengar suara perempuan.

“Assalammu ‘alaikum…,” suaranya pelan seperti dirundung kesedihan.

“Wa ‘alaikum salam,” jawab saya.

“Pak Soni, saya Nurlela, mau memberi tahu bahwa Pak Hamdi sudah meninggal….”

Innalillahi wainna illaihi rojiun.”

“Ya, Pak, dua hari yang lalu, pulang dari Kadipaten, Pak Hamdi mendapat kecelakaan. Mobilnya menabrak pembatas jalan tol. Sopirnya meninggal di TKP, Pak Hamdi meninggal tiga jam kemudian di rumah sakit.”

“Ya Allah dia habis bertamu ke rumah saya. Kami sangat berduka cita. Semoga diterima iman Islamnya, amal ibadahnya dan diampuni segala dosanya. Aamiin.”

“Aamiin… ya sudah, Pak, saya hanya memberi tahu, terima kasih, salam buat ibu. Assalamu ‘alaikum.”

“Wa ‘alaikum salam.”

Beberapa saat saya tertegun, terngiang kembali ucapan Hamdi.

“Sekarang hati saya merasa lega karena jika saya mati, saya terlepas dari dosa akibat utang-piutang.”

Saya membaca Al Fatihah.

Selamat jalan, kawan, semoga husnul khatimah. ***

.

.

Kadipaten, 1 Februari 2022

Yoffie Cahya, penyair dan cerpenis, tinggal di Kadipaten, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

.
Yang Membayar Utang Piutang. Yang Membayar Utang Piutang. Yang Membayar Utang Piutang.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!