Cerpen, Ita Siregar, Kompas

Pengasingan ke Jawa

Pengasingan ke Jawa - Cerpen Ita Siregar

Pengasingan ke Jawa ilustrrasi Laksmi Shitaresmi/Kompas

3.5
(2)

Cerpen Ita Siregar (Kompas, 30 Juli 2023)

LIMA belas menit sudah kami menunggu di kantor Tuan Metzler. Ruang kerja tiga kali tiga meter itu terasa sejuk karena selain langit-langit yang tinggi, udara leluasa keluar-masuk melalui lubang angin di bagian bawah satu dinding.

Buntal duduk tenang sejak awal kami tiba. Kedua lengannya bertumpu pada kedua lengan kursi. Di hadapan kami meja kerja Tuan Metzler. Meja kayu hitam kemerahan itu bersih dari barang-barang kecuali di sudut kanannya, satu pena bulu berdiri tegak dan kotak tinta di sebelahnya.

Sekonyong-konyong terdengar bunyi angin berat yang dihasilkan dari tenaga pintu yang membuka lebar, lalu terdengar suara, “Selamat pagi, Tuan-tuan.”

Orang yang menghambur masuk itulah yang kami tunggu. Kursi di belakang meja itu tiba-tiba hilang berganti bobot sang empunyanya. Gerakan tubuh itu mengirim gelombang aroma segar. Mungkin belum lama dia mandi.

“Buntal, Pandita Henoch!” sapanya menyebut nama kami berdua.

Aku mengangguk seraya menatap matanya, tersenyum kecil. Ia melipat kedua tangannya yang gemuk kemerahan di atas meja. Tubuh tebalnya dicondongkan ke depan. Matanya yang kelabu menatap mata anak muda yang duduk di sebelahku.

Buntal seorang yang tenang. Ia jarang terpengaruh emosi yang datang dari luar dirinya. Aku telah memperhatikannya selama ini. Karenanya aku merasa aman pergi dengannya kala berjumpa siapa pun untuk urusan mewakili keluarganya.

“Begini, Buntal. Pandita Henoch sudah memberi tahu saya soal pembaptisan itu. Kami menyambut gembira, tentu saja. Sekarang saya ingin tahu dari Buntal sendiri. Apakah keinginan ini datang dari keyakinan sendiri atau karena tekanan?” Suara Tuan Metzler terdengar ringan saat mengatakannya.

Buntal memiringkan kepalanya ke kanan, menjawab tenang, “Kami sekeluarga berunding dan memutuskan bersama, Tuan Metzler. Ibu saya, kedua ibu saya yang lain, saya dan empat anak laki-laki Ayah, tujuh adik perempuan kami, dan tiga tulang, para kemenakan Ayah.”

“Ini berita yang bagus. Saya sudah meneruskan kabar ini kepada Tuan Spieker. Dia pun menyambut gembira. Selanjutnya kita akan menentukan tanggal yang tepat untuk pelaksanaannya. Pandita Henoch yang akan memberi tahu kamu.”

Buntal mengangguk halus, sekali.

Lantas Tuan Metzler mengarahkan tatapannya kepadaku, bertanya hal-hal umum perihal keluarga itu. Aku menjawab secukupnya. Anak-anak belajar dengan baik dan semua anggota keluarga dalam keadaan sehat.

Seminggu setelah pertemuan itu, Tuan Metzler memberitahuku tanggal pelaksanaan baptisan, yaitu 3 Januari 1911. Tuan Spieker yang sedang berada di Hindia Belanda akan memimpin acara. Aku dapat membayangkan bangga Kepala RMG [1] itu membaptis keluarga Singamangaraja.

Kami memesan katun putih dan meminta penjahit Siahaan datang ke rumah untuk mengukur badan seluruh anggota keluarga. Untuk laki-laki dewasa dan anak laki-laki akan dibuatkan jas tutup. Untuk perempuan dewasa baju kurung dan anak-anak perempuan pakaian panjang.

Pembaptisan berjalan sesuai rencana. Gereja hari itu dipadati umat yang ingin melihat keluarga itu. Masing-masing mendapat nama baru. Karel untuk Buntal, Willem untuk Sabidan, David untuk Pangkilim.

Gereja menghadirkan seorang juru potret untuk mengabadikan peristiwa. Seorang laki-laki mengatur agar kami duduk dan berdiri berjejer dan mata menghadap kamera. Pelaksanaan pemotretan itu cukup menggelikan. Tukang potret sabar menunggu waktu yang benar-benar pas untuk membidik karena anak-anak tidak henti-hentinya bergerak.

Baca juga  Laki-Laki yang Menggigil

Selang beberapa waktu setelah itu, aku memutuskan keluar dari Batakmission [2]. Aku menerima tawaran menjadi pegawai pemerintah atas anjuran istri dan keluarga besar. Sebenarnya ini keputusan berat buatku. Aku sudah terlibat secara emosi dengan keluarga ini. Dan aku sungguh memikirkan nasib mereka.

Masih segar dalam ingatan betapa tegang wajah mereka ketika tiba malam itu di Silindung, tiga tahun lalu. Gerak tubuh mereka terlihat canggung. Mereka berdelapan belas orang. Tiga janda Singamangaraja, lima anak laki-laki, tujuh anak perempuan, dan tiga kemenakan. Usia anak-anak itu antara lima sampai lima belas tahun. Baru ditambah 27 orang pembantu setia mereka.

Hari-hari awal yang tegang. Setiap hari beberapa upas bolak-balik datang ke rumah mereka, memastikan jumlah mereka lengkap. Uang belanja sehari-hari yang diberikan sangat pas-pasan. Setelah beberapa minggu tinggal di rumah itu barulah mereka sedikit tenang. Aku rutin berkunjung dan mengajak bercakap-cakap. Mereka mulai menerima situasi dan bersikap terbuka terhadapku.

Aku makin dekat dengan keluarga itu. Aku hafal nama dan wajah mereka, beserta para pembantu. Terlebih aku memang ditugaskan sebagai guru bagi anak-anak dan wali bagi seluruh keluarga di bawah pengawasan Tuan Wilhelm Heinrich Metzler.

Baru-baru ini aku terkejut mendengar bahwa Buntal, Sabidan, dan Pangkilim akan dikirim ke Jawa. Apa alasannya?

Sepengetahuanku, selama aku menjadi wali mereka, tidak pernah seorang di antara mereka menunjukkan sikap membangkang. Mereka tidak pernah berjumpa dengan orang luar atau orang luar datang ke rumah mereka.

Kenapa pemerintah kolonial di Batavia dan di Pearaja terus mempersoalkan Singamangaradjakwestie? [3] Apakah mereka terpengaruh setelah membaca Memorie van Overgave [4] Tuan Barrch, Residen Tapanuli tahun 1915 lalu?

Kudengar di dalam laporan pertanggungjawabannya, Tuan Barrch menganjurkan agar anak-anak Singamangaraja dipindahkan ke Jawa supaya mereka disekolahkan seperti orang biasa.

Ya, tentu saja. Itu sesuai ethische politiek [5]. Anak bangsawan di Jawa pun disekolahkan di sekolah-sekolah Belanda agar di kemudian hari menguntungkan pemerintah kolonial bila kelak mereka menjadi pejabat pemerintah. Tapi, kenapa terburu-buru?

Dari seseorang yang dapat kupercaya aku tahu bahwa keputusan pemindahan tersebut tidak mungkin dibatalkan karena sudah ditandatangani oleh Tuan Hazeu, Komisaris Pemerintah Urusan Pribumi dan Arab. Memang Tuan Hazeu menyarankan agar istilah banneling [6] tidak dibebankan terhadap ketiga anak laki-laki itu.

Seorang asisten residen diminta menemui mereka di sekolah, Hollands-Batakse School di Sigompulon. Ia meminta mereka segera berkemas.

Buntal bertanya, “Ada apa?”

“Kalian akan dipindahkan ke Jawa,” jawab asisten residen, jawaban yang kemudian disesalinya karena itu menimbulkan pertanyaan berikutnya.

“Apa salah kami?” Buntal dan Sabidan hampir bersamaan menyambut penyataan itu.

“Aku tidak tahu-menahu soal itu. Aku hanya diperintahkan untuk menjemput dan mengantar kalian ke rumah Tuan Marcks.”

Benar saja. Di rumahnya, Tuan Otto Marcks telah menunggu kedatangan mereka. Ia menjelaskan semacam pengantar soal pemindahan mereka ke Tanah Jawa. Ia membesarkan hati mereka dengan berkata bahwa di Jawa mereka akan bergaul dengan teman-teman dari berbagai bangsa.

Baca juga  Kematian Kedua

“Jadi bukan karena kalian bersalah,” kata Tuan Marcks memastikan.

Petang itu Tuan Marcks menemani mereka pulang dan bertemu ibu mereka. Kepada ketiga janda Singamangaraja itu, Tuan Marcks menjelaskan hal sama soal pemindahan. Penjelasan itu membuat ketiga ibu sibuk menangis. Apalagi pemindahan akan dilakukan besok pagi. Waktu yang kelewat mepet. Karena itu, ketiga janda mendesak agar diizinkan turut mengantar hingga ke Sibolga.

“Ini perjalanan segera. Mereka sudah ditunggu kapal,” ujar Tuan Marcks menahan keinginan itu.

Malam itu lampu minyak di rumah mereka tidak padam. Mereka semua terjaga dan tahu apa yang sedang terjadi. Anak-beranak dan para pembantu saling bertangisan.

Pagi-pagi buta, mereka turun ke sungai untuk mandi. Sepanjang malam mata mereka tidak dapat terpejam dan hati mereka sungguh berat. Silindung di pagi hari dinginnya bukan main. Tapi dingin air yang menggigit tulang itu tidak mereka rasakan. Mereka pun tidak peduli melihat petugas bersenjata yang berjaga di dekat mereka.

Dengan wajah-wajah kuyu keluarga mengantar ke kantor gereja di Pearaja. Mereka bertiga masing-masing menenteng satu koper kecil. Di sana, Demang Baginda, Tuan Otto Marcks, dan seorang kontrolir [7] telah menunggu.

Begitu tiba, ketiga anak muda itu diarahkan untuk menaiki kendaraan. Tak sengaja Buntal melirik sepucuk pistol terselip di pinggang Demang Baginda. Pagi sepi pada tanggal 24 November 1916 itu, kendaraan membawa mereka meninggalkan Silindung.

Sunyi di dalam mobil. Semua hanyut dalam emosi dan kesedihan masing-masing. Sepanjang perjalanan Buntal dan Sabidan berusaha saling pandang. Pangkilim bersikap paling tenang. Ia seperti punya dunianya sendiri. Ketika para petugas sibuk berbicara, Buntal membuka sedikit mulutnya, berbisik, “Bidan, menurutmu, apa ini karena Parhudamdam?”

Sabidan pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Mulutnya tetap terkatup. Dia hanya menatap mata abangnya lekat-lekat, kemudian sedikit mengangkat alisnya.

Mereka tahu Parhudamdam adalah perlawanan rakyat terhadap kaum pemeras yang membebani mereka dengan belasting [8] dan heerendiensten [9]. Namun, gerakan itu hanya dikenal di sekitar Toba dan di tanah Karo Jahe. Tidak mungkin sampai ke Silindung karena di sini kebanyakan penduduk sudah menganut agama Kristen.

Konon di Toba ada tiga ribu pengikut Parhudamdam. Mereka itu percaya bahwa kelak keturunan Singamangaraja akan muncul untuk mengusir orang Eropa dari Tanah Batak. Di Bona Pasogit [10], mereka dapat menabalkan anak tertua keluarga menjadi raja baru.

Pemberontakan Parhudamdam dimulai tahun 1915 karena tersulut Perang Dunia pertama. Perang yang menunjukkan kemunafikan orang Eropa. Sebagai misionaris, mereka mengajarkan cinta damai, namun di sisi lain mereka menyerukan perang terhadap sesama mereka. Pemerintah Hindia Belanda menganggap Buntal adalah calon Singamangaraja berikutnya karena ia anak sulung dari boru [11] Sagala, istri pertama Singamangaraja XII.

Rombongan tiba di pelabuhan Sibolga, namun tidak ada kapal menunggu. Melihat itu Buntal menjadi geram. Perjalanan ini hanya menghamburkan uang pajak rakyat, pikirnya. Mereka naik kapal kecil menuju Barus, lalu kembali lagi ke pelabuhan Sibolga pada tanggal 26 November 1916. Hari saat kapal diberangkatkan.

Baca juga  Kuta, Setahun Kemudian

Tiga hari kemudian mereka dipindahkan ke kapal Willem Barentsz yang lebih besar. Pada tanggal 30 November malam, kapal itu merapat di pelabuhan Emmahaven, kota Padang. Kapal berlabuh selama tiga hari, namun mereka dilarang turun kapal sekadar melihat pemandangan. Sungguh keterlaluan.

Melewati Bengkulu, seorang awak kapal bertanya, “Mana orang yang mau diasingkan itu?”

“Bukan diasingkan, tapi dipindahkan ke sekolah di Jawa. Dan saya disuruh mengantar mereka ke Batavia,” jawab Demang Baginda dengan cepat.

Awak kapal itu mengabaikan penjelasan Demang Baginda. Ia menyebut tiga nama dan meminta mereka dipanggil untuk menandatangani sepucuk surat. Buntal dapat membaca pada tiap nama mereka tercantum tulisan banneling.

Pagi pada 7 Desember 1916, kapal tiba di Tanjung Priok, Batavia. Seorang polisi rahasia berpakaian preman sudah menunggu, siap membawa mereka ke Komisariat Polisi di Weltevreden, di Sawah Besar.

Di sana mereka dijamu makan siang. Lalu polisi berpakaian preman itu berkata mereka boleh pergi ke mana saja yang mereka inginkan. Mendengar itu kebingungan tampak di wajah mereka. Demang tersenyum kecil. “Di Pearaja, kalian dijaga ketat karena kekhawatiran akan berhubungan dengan pemberontak Parhudamdam. Di Batavia, kekhawatiran itu tidak ada lagi,” ujarnya.

Ketiga saudara itu hanya diam. Lantas seorang laki-laki muda mendekati mereka. Mereka menatap orang itu. Dengan sikap hormat orang itu berkata bahwa kendaraan sudah menunggu kalau-kalau mereka siap pergi.

Aku menghela napas. Begitulah catatan Karel Buntal tahun 1928 tentang pemindahan mereka ke Jawa, yang kubaca dalam bahasa Belanda. ***

.

.

Catatan:

[1] RMG: Rheinische Missionsgesellschaft, organisasi misionaris terbesar di Jerman.

[2] Batakmission: zending Batak

[3] Singamangaradjakwestie: persoalan anggota keluarga Singamangaraja yang masih hidup

[4] Memorie van Overgave: laporan pertanggungjawaban pada masa jabatan berakhir

[5] Ethische politiek: politik balas budi

[6] Banneling: orang yang diasingkan

[7] Kontrolir: pengawas di Pemerintah Hindia Belanda

[8] Belasting: pajak

[9] Heerendiensten: kerja rodi

[10] Pasogit: Tanah Batak

[11] Boru: anak perempuan

.

.

Ita Siregar, lahir di Sukabumi, lulus dari Universitas Padjadjaran, Bandung, tahun 1993. Pernah bekerja di Fullbright American Exchange Foundation di Jakarta (2008-2009) dan majalah Femina (2003-2008). Esainya memenangi Lomba Kritik Sastra oleh Dewan Kesenian Jakarta 2013. Buku terakhirnya buku puisi Ia Dinamai Perempuan (2020).

Laksmi Shitaresmi, perupa, aktivis lingkungan dan peduli sampah. Bergelut juga sebagai aktivis perempuan, anak, dan kesetaraan jender. Menempuh pendidikan pascasarjana seni di ISI Yogyakarta. Sudah menggelar pameran tunggal 14 kali dari 1999 sampai 2023.

.
Pengasingan ke Jawa. Pengasingan ke Jawa. Pengasingan ke Jawa. Pengasingan ke Jawa. Pengasingan ke Jawa. Pengasingan ke Jawa.

Loading

Average rating 3.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d bloggers like this: