Cerpen M Shoim Anwar (Jawa Pos, 29 Juli 2023)
PAYUNG-PAYUNG besar itu menyerupai pohon-pohon kurma yang kering, merekah bergantian seperti jamur. Tanah gersang mulai digoreng matahari. Sebentar lagi, saat ratusan peneduh di depan dan samping masjid itu paripurna, kipas-kipas di pilar akan mengembuskan titik-titik air. Desau yang lembut, bisikan yang timbul tenggelam dalam penantian para peziarah. Suhu udara di luar sekitar 40 derajat. Cuaca garing, terasa nikmat saat udara basah tergiring.
Sambil menunggu waktu salat tengah hari, lelaki itu keluar menuju pintu nomor 339. Area yang selalu diingat karena dari situ terdapat jalan lurus menuju penginapan Emaar Aldiyafa Hotel di sudut persimpangan kedua, bersebelahan dengan Ruve Almadinah dan Al Haram. Di depan gerbang masjid dia berdiri. Di tempat ini pula dia biasa menanti istrinya saat akan kembali ke penginapan karena jemaah laki-laki dan perempuan dipisah saat dalam masjid.
Langit kerontang, asap tipis-tipis mengapung seperti kapas. Dipandangnya Hotel Dar Al Taqwa dan Al Zahbi. Toko-toko kecil seperti Arabian Oud dan Dar Alzaman ada di deretan bawah. Ada hamparan tanah lapang di halaman bangunan-bangunan itu, sebagai pembatas dengan area masjid. Tiba-tiba lelaki itu mengeryitkan mata. Embusan udara panas terasa menerpa wajahnya, dibarengi gulungan-gulungan debu.
Ada hasrat yang menggiring lelaki itu untuk duduk di pinggir lapangan. Sementara istrinya, jika tidak di dalam masjid, memilih berjalan sendiri melihat-lihat abaya dan perhiasan di deretan toko Sahwat Almadina, Milano, Sahaab Alandalus, serta Soir. Lelaki itu kembali melihat ke arah masjid. Payung-payung berwarna tulang itu tampak sudah paripurna mekarnya.
Dan inilah yang membuat lelaki bernama Daroji itu suka duduk-duduk di pinggir lapangan. Dia senang ada burung-burung merpati selalu datang dan pergi. Mula-mula hanya beberapa ekor, tapi saat ada yang menabur makanan, burung-burung lain berbondong turun, jumlahnya puluhan, ratusan, bahkan bisa ribuan. Memang ada yang menjual biji-bijian untuk makanannya. Para peziarah memberi makan merpati itu karena berjasa dalam kisah-kisah nabi sehingga dilarang diburu dan dibunuh. Hewan-hewan terkesan jinak itu beranak pinak di celah-celah bangunan. Jumlahnya terus bertambah, melebihi jumlah penduduk di wilayah ini.
Daroji menemukan dunianya. Dia heran melihat burung merpati dalam jumlah berlimpah, akrab dengan para peziarah. Bumi makam sang nabi memberi kebebasan pada burung-burung ini. Cerita yang didengar Daroji, nanti di kota tempat menunaikan rukun haji, jumlah merpati juga berlimpah. Dia belum saatnya ke sana. Soal burung, istrinya sering menegur. Saat diajak cepat-cepat menuju masjid, Daroji sering menghentikan langkahnya. Dia terpesona melihat sekelompok merpati yang berlawatan di ketinggian langit, terbangnya sangat indah.
“Ccccck…hebat!” Daroji mendecak.
“Burung lagi, burung lagi….” sang istri menarik lengannya. “Azan sudah selesai. Kita harus salat arbain empat puluh waktu. Tidak boleh bolong, Pak.”
“Masjid sudah dekat,” kata Daroji enteng.
“Ya, tapi panas kenthang–kenthang begini. Kakiku sudah perih pecah-pecah.”
Daroji memang penggemar merpati. Karena itu, awalnya dia enggan untuk menemani istrinya menunaikan ibadah haji. Dia khawatir belasan pasang burungnya telantar saat ditinggal pergi dalam waktu yang lama, bahkan kalau dilepas bisa minggat atau mati kelaparan. Para joki yang selama ini menemani, Yadi dan Mardi, tak dipercayai sepenuhnya. Mereka bisa bersekongkol mencuri telur keturunan merpati juara dan dijual ke orang lain.
“Terlalu cinta pada burung, sampai ibadah dikalahkan,” kata istri Daroji.
“Bukan dikalahkan, tapi mencari waktu yang tepat!” sergah Daroji. “Merpati juara harus dirawat sendiri. Sudah ditawar mahal sekali.”
“Kita sudah makin tua, Pak. Bertahun-tahun menabung. Yang antre banyak sekali. Masak tiba gilirannya harus ditunda gara-gara burung dara?” nada istri Daroji makin tinggi.
“Ibadah harus sepenuh hati, tidak boleh dipaksa.”
“Umur gak ada yang tahu, Pak. Kalau tidak diniati sekarang, apa ada jaminan tahun depan kita bisa memenuhi panggilan ini?”
“Kalau tidak, berarti belum waktunya dipanggil,” jawab Daroji enteng.
“Sudah dipanggil dari dulu, Pak. Nggak tahu ta Sampean?”
“Nggak….”
Merpati balap Daroji terkenal hebat. Perawatannya secara khusus. Makanannya dari biji-bijian yang terbaik: jagung kuning, beras, gabah, kacang hijau, kacang panjang, kedelai, jawawut, dan kacang tanah. Tiap Sabtu sore piaraan itu selalu dilolohi jamu untuk menambah stamina: ramuan telur bebek, madu, temulawak, kunyit, umbi rumput teki, jahe, ginseng, serta lengkuas merah. Sejak piyik merpati Daroji dipasangi gelang yang bertulisan “Dar”, nomor seri, dan tahun. Gelang ini tak bisa dilepas saat burung sudah dewasa.
Nama-nama merpati Daroji juga unik: Bledek, Halilintar, Kilat, Gluduk, Guruh, Petir, dan sejenisnya. Trofi dan piala kejuaraan dipajang di lemari kaca. Merpati itu rutin dilatih. Si jantan dilepas dari jarak jauh, sementara betinanya dipegangi joki sambil dikibas-kibaskan sayapnya. Si jantan akan terbang melesat dan hinggap di punggung betinanya. Makin lama jarak latihnya makin jauh. Burung-burung Daroji berpacu antarteman, melintas di atas sawah-sawah, tambak-tambak, dan tanah-tanah lapang yang jauh terpandang.
Secara rutin merpati Daroji diikutkan lomba di berbagai kota. Hadiah para pemenangnya cukup besar. Tapi, yang lebih penting, merpati yang juara dalam kelas perang bintang harganya bisa meroket. Ada persaingan antar penggemar untuk bisa memiliki. Bledek adalah merpati yang harganya sedang meroket karena selalu juara, disusul oleh Halilintar. Dalam arena lomba, saat dilepas dari jarak jauh, Bledek terbang melesat meninggalkan lawan-lawannya, meninggi, dan saat mengetahui betinanya di tangan joki, Bledek menukik tajam dan hinggap di punggung betinanya. Bledek bahkan sanggup menukik tegak lurus melewati lingkaran tali yang ada di atas joki. Daroji, Yadi, dan Mardi yang selalu mengenakan kaus oranye lengan panjang menjadi pusat perhatian. Harga seekor merpatinya bisa mengalahkan harga beberapa ekor sapi. Para penggemar merpati seperti Haji Khilmi, Roy, Acun, dan Pak Saryono konon bersedia mentransfer Bledek dengan harga sangat tinggi. Daroji belum mau melepas, Bledek dengan betina Gadis Manja sedang di-breeding. Sementara Halilintar diperjodohkan dengan Putri Malu.
***
Awalnya Daroji adalah penghobi dara kenthong. Merpati-merpati milik sekelompok orang dibuatkan pagupon berkaki tinggi, di atas genting rumah dengan diberi bendera. Merpati itu untuk berjudi. Dilepas dari jarak jauh secara bersamaan, burung yang hinggap di atas rumahnya lebih dulu itulah yang menang. Salah seorang akan memukul kentongan saat burung itu hinggap. Kampung itu akhirnya menjadi ramai oleh para petaruh. Perjudian balap merpati akhirnya digerebek polsek. Daroji ikut diciduk. Namanya sempat dimuat di koran lokal. Setelah peristiwa itu, Daroji beralih ke wadah resmi. Lama-lama piaraannya menjadi moncer. Nama Bledek dan Halilintar semakin dikenal.
Pada suatu hari, Daroji melatih merpatinya di pinggir pantai agar terbangnya kuat karena dilatih menembus angin laut. Sore itu laut sedang pasang. Angin menerjang. Ombak gulung-menggulung. Latihan dengan jarak pendek berjalan dengan baik. Semua merpati kembali ke tangan joki. Jarak semakin diperjauh. Pada akhirnya, Bledek dan Halilintar dilepas dengan jarak maksimal. Yadi telah membawanya dengan motor. Gadis Manja dan Putri Malu, pasangan kedua merpati, dipegang oleh Daroji dan Mardi.
Angin semakin kencang dengan deburan-deburan ombak. Kedua burung itu telah dilepas di jauh sana. Daroji dan Mardi mengibas-ngibaskan betinanya sambil berteriak-teriak memanggil seperti lazimnya. Tapi, kedua burung itu seperti tersapu angin, terbangnya melambung ke arah daratan, dan tertutup pohonan. Setelah tampak lagi sekelebat, kedua burung itu malah melambung seperti limbung, lalu menggeblas dan amblas ke daratan sana. Keduanya tak pernah kembali karena tak dilatih untuk pulang ke rumah, tapi dilatih untuk kembali ke tangan para joki.
***
Makin siang cuaca makin panas. Daroji masih duduk di tepi lapangan sambil mengamati merpati berebut makanan. Peziarah makin banyak menaburkan makanan. Beberapa anak berlarian riang mendekati gerombolan merpati. Burung-burung itu hanya terbang sesaat, lalu turun kembali.
Seekor merpati berjalan mendekati Daroji. Daroji menggerakkan jarinya agar si burung semakin mendekat. Sesaat merpati itu terdiam, pandangannya diarahkan ke Daroji sambil berkedip-kedip lembut. Terlintas dalam ingatan Daroji. Merpati itu warnanya mirip sekali dengan si Bledek, kelabu dengan garis-garis hitam di sayap. Memang semua merpati di sini bulunya mirip sehingga sulit dibedakan.
Daroji terkejut. Ternyata merpati yang mendekat itu bergelang cokelat muda, seperti warna gelang Bledek juga. Daroji mendekat, ingin melihatnya lebih dekat, apakah gelang itu ada tulisan “Dar” seperti gelang Bledek. Dengan lambat tapi pasti burung itu beringsut menjauh, kemudian berhenti lagi ketika Daroji terdiam. Adegan itu beberapa kali terjadi. Pandangan dan paruhnya tetap ke arah Daroji.
Daroji sadar bahwa posisinya sudah makin ke tengah lapangan. Dia kembali minggir sambil matanya tetap tertuju ke merpati tadi. Tapi apa yang terjadi? Merpati itu mengikuti Daroji ke pinggir. Daroji memfokuskan pandangan untuk membaca tulisan di gelangnya. Tapi merpati itu tiba-tiba terbang meroket, meninggi membentuk lingkaran. Daroji tak berkedip. Merpati itu sekonyong-konyong menukik dengan cepat, benar-benar seperti peluru. Tahu-tahu merpati itu sudah mendarat lagi di dekat Daroji.
Daroji berguman-gumam. Dia ingat lagi ciri pada Bledek. Pada kaki kiri, jari belakangnya tidak ada kuku sehingga tampak tumpul. Daroji ganti mencermati kaki kiri merpati di depannya. Dia makin terkejut, merpati itu jari belakangnya juga tumpul. Bibir Daroji bergumam-gumam lebih cepat. Meski agak samar, motif atau bentuk goresan di gelangnya juga mirip “Dar” dengan huruf kapital di awal. Benarkah dia adalah Bledek? Mana mungkin Bledek sampai di sini, sedangkan Daroji sendiri naik pesawat tanpa berhenti, perlu waktu sekitar sebelas jam, menempuh jarak hampir sembilan ribu kilometer melintasi samudra dan benua.
Ciri-ciri Bledek yang dimiliki merpati itu makin jelas. Pada pangkal mata sebelah kiri juga ada bisul kecil kekuningan. Merpati itu terdiam sambil berkedip-kedip memandanginya. Daroji kembali terjingkat. Sang merpati sekonyong-konyong melesat ke langit, bermanuver hampir tegak lurus. Mata Daroji mengikutinya. Burung itu sebentar-sebentar menukik, lalu menanjak kembali secara sempurna hingga tampak sebesar titik di angkasa.
Daroji benar-benar kagum. Dia mengusap-usap matanya, memejam-mejam sesaat. Dia yakin bahwa ini bukan mimpi. Dan saat dia membuka kedipannya, merpati itu sudah berada di depannya, menatap lurus ke arah Daroji. Kali ini dia memperhatikan lagi gelang di kaki merpati. Dada Daroji bergetar makin kencang. Bibirnya juga ikut bergetar. Tulisan di gelang merpati itu benar-benar nyata. Dengan tergugup Daroji berujar.
“As…as…salamualaikum, Bledek….”
Merpati itu berkedip-kedip, seakan-akan mengerti salam dari Daroji. Burung itu lantas berjalan ke arah pintu nomor 339, kadang diselingi terbang sehingga terkesan melompat. Daroji mengikutinya, melipir ke tepi lewat samping toilet. Saat Daroji tertinggal, burung itu berhenti, menoleh ke arah Daroji seakan memberi kode. Daroji mempercepat langkah. Si burung pun kembali berjalan. Sebelah kirinya adalah tembok makam Al Baqi. Makin cepat, kadang melompat sambil mengepakkan sayap. Daroji membuntutinya, terus berjalan dan berjalan. Keduanya sudah meninggalkan area masjid, masuk ke jalan-jalan kecil, bangunan-bangunan tua ada di kanan dan kiri. Kesepian mulai terasa.
Cuaca makin memanggang. Angin kering bertiup dari arah depan, disusul gulungan debu beserta plastik-plastik beterbangan. Merpati itu terus berjalan dan mengepakkan sayap makin jauh. Daroji membuntuti dengan tertatih. Bukit dan tanah-tanah berbatu tampak di depannya, kerontang menghampar sebatas mata memandang. Langit memucat seperti kain kafan. Desau terdengar timbul tenggelam. Dari kejauhan kedua makhluk itu tampak makin mengecil, hablur dalam fatamorgana, lalu lenyap bersama desau…. ***
.
.
Madinah-Surabaya, 2023
M Shoim Anwar. Sastrawan tinggal di Surabaya. Buku-bukunya antara lain Oknum, Musyawarah Para Bajingan, serta Tikus Parlemen. Dosen Universitas Adi Buana Surabaya.
.
Merpati di Bumi sang Nabi. Merpati di Bumi sang Nabi. Merpati di Bumi sang Nabi. Merpati di Bumi sang Nabi.
Leave a Reply