Cerpen Beatrix Polen Aran (Koran Tempo, 23 Juli 2023)
SETIAP subuh sebelum orang-orang kampung pergi melaut dan ke kebun, Pastor Ola sudah berada di taman bunga persis depan gereja, membersihkan lalu merawat aneka bunga layaknya tubuhnya sendiri. Memindahkan batang-batang bunga yang mulai mengering pun dedaunan yang nampak kuning ketuaan.
Kolam ikan berukuran kecil-permanen, dibuatnya dari sisa-sisa semen pembangunan aula paroki. Ikan-ikan kecil dipelihara di dalam kolam, berkejaran kian kemari pandai merayu memanja. Ulet tangannya membingkai teras gereja bak surga untuk setiap hati yang hendak pulang ke pelukan iman.
Ia ingin agar setiap hari minggu dan hari-hari raya, gereja bukan hanya terminal datang dan lalu. Tetapi lebih dari itu, menjawab sebuah rindu yang gigil, menentramkan batin yang renyuk dan mengekalkan tubuh kepada abu-esensi hidup!
Impian Pastor Ola itu sangat sederhana.
Sesederhana panggilannya?
Ah, entahlah.
***
Masih dengan semangat yang sama, Pastor Ola bangun lalu merapikan tempat tidurnya. Pada sudut biliknya, sebuah salib bergantung tubuh Tuhan. Ia mengucek-ngucek matanya lalu berjalan pelan dengan memegang sebatang lilin. Berlutut dan mendaraskan doa. Ia akan berbagi kisah dengan Tuhan tentang kegelisahan hatinya, tentang iman umat, tentang tanggung jawab panggilan yang kian berat dan pucuk-pucuk harapan yang terus bermekaran.
Sebab, seperti kata Uskup, melepaskan domba ke tengah serigala bukan untuk menaklukkan atau membinasakan, melainkan untuk menyelamatkan.
Berat memang!
Bagaimana menyelamatkan iman umat sedang hari minggu ketika lonceng gereja dibunyikan umat berbondong-bondong tarik pukat?
Lebih menyedihkan, beberapa ibu pergi ke kebun menjaga padinya dari hama babi hutan. Katanya, pergi ke gereja hanya akan buang-buang waktu. Tidak dapat uang. Makan itu iman!
Rentetan jawaban yang demikian menyulut amarahnya, bibirnya turut gemetar. Gereja menurut mereka adalah lahan memanen uang jika harus alpa ke kebun pun alpa ke laut.
Semakin pergi ke gereja, semakin membuat iman kami hancur babak belur karena banyak pakaian yang tidak pantas dipakaikan tubuh, hasilnya banyak daging tubuh nampak kelihatan, seorang nenek berumuran selalu melontarkan kalimat itu padanya seusai perayaan ekaristi.
Terkadang ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa kekecewaan, kesedihan, dan curahan hati umatnya sendiri adalah pujian sekaligus berkat untuk dirinya sendiri.
Diraihnya ember, cangkul, dan sapu lidi lalu melangkahkan kaki perlahan menuju taman. Dengan bernyanyi kecil, jari-jemarinya meremas-remas tubuh tanah, memindahkannya ke dalam pot-pot hingga terisi penuh. Sebagaimana selama ini yang ia lakukan. Demikian pula dengan ikan-ikan kecil pada kolam nan teduh damai menggerak-gerakan tubuhnya hingga ke ceruk-ceruk yang lebih dalam.
“Sejak Pastor di sini, suasana menjadi hidup,” ujar Ketua Dewan Paroki dengan suara lirih mengagetkan.
“Terima kasih,” jawab Pastor Ola sedikit mendongakkan wajahnya.
Beberapa hari belakangan, Ketua Dewan Paroki tak menampakkan batang hidungnya. Ia hanya menyuruh anak laki-lakinya mampir ke Pastoral sekadar mengetahui situasi di sana.
Bagaimana keadaan Pastor Ola?
Apakah Pastor Ola sudah menjalankan tugasnya dengan baik atau belum?
Maklum, seorang Pastor baru di paroki mesti dijaga bak telur ayam agar tidak mudah tergoda dengan Peni, si tukang masak centil di pastoral itu.
Ya, Peni.
Seperti yang sudah dikisahkan padanya, Peni seorang perempuan janda, berusia kira-kira dua puluh tahun, berkulit sawo matang, berambut ikal dengan tahi lalat melekat erat di jidatnya. Senyumnya mematikan banyak penglihatan.
Pernah, seorang Pastor yang mendapatkan tugas pastoral di kampung bernama Pastor Kamilus, menjalin kedekatan bersama Peni. Keduanya terlibat dalam celoteh yang tidak biasa. Yang tidak layaknya seorang Pastor kepada umatnya pun sebaliknya. Saat itu jam makan siang. Kebetulan hadir juga Pastor Paroki, ketua-ketua basis, dan perwakilan tokoh umat.
Makanan sudah tersedia di atas meja sedang Peni dan Pastor Kamilus berada di dapur. Angin berhembus pelan, merapatkan pintu dapur yang sejak tadi terbuka lebar. Hanya sedikit udara yang keluar-masuk lewat ventilasi. Senyap. Kadang meledak tawa yang menjengkelkan. Pastor Paroki yang mendengar itu naik pitam. Kedua alisnya nampak bersambung. Wajahnya memerah penuh amarah. Ia menarik nafas lalu menelan ludah. Seketika melarikan bola matanya ke seisi ruangan.
“Mana Pastor Kamilus?”
Semua yang berada di seputaran meja makan beradu pandang. Keheningan menjalar. Sebab, diam-diam Ketua Dewan Paroki pun sudah mengamati pola tingkah-lakunya. Karena setiap tutur kata, tindak tanduk, ia mengamati tatapan mata Pastor Kamilus yang pandai berkelit.
Ternyata, Peni dan Pastor Kamilus telah menjalin hubungan khusus.
Pada hari berikutnya, Pastor Kamilus dipanggil oleh Pastor Paroki untuk menyetujui permintaan dipindah-tugaskan.
“Pindah?” matanya tiba-tiba terbelalak.
Pastor Paroki memalingkan wajah lalu pergi.
“Sepertinya aku harus kembali ke kampung, menjadi umat biasa untuk menuntaskan keinginan daging daripada berdusta di balik jubah,” tandasnya.
Sebelum pergi, ia menemui Peni, memeluk erat tubuh perempuan malang itu. Peni benar-benar menaruh cinta. Air mata terus bergulir di pipinya.
“Pulanglah, temuilah Tuhan dalam hidupmu.”
***
Kupu-kupu melebarkan sayapnya tepat di depan bebungaan di mana ketua Dewan Paroki berdiri. Tak lama Peni membawa dua gelas air putih dan Fruit Tea All Varian. Menaruhnya dan menatap Pastor Ola. Lama.
Kain penutup dada Peni sekelumit bolong. Sepasang mata Pastor Ola menyelinap memasuki arena yang langka itu. Sesuatu yang belum pernah dilihatnya dalam hidup. Semacam gumpalan daging empuk sigap dicecap lidah.
“Silahkan diminum,” suara Peni sekonyong-konyong jadi terdengar ramah hingga Pastor Ola merasa kupingnya meleleh.
Dan, sebentuk makhluk aneh hinggap pada daun telinganya, membisik-bisikkan sesuatu. Suaranya lemah gemulai, sayup-sayup terdengar.
“Perempuan itu elok.”
Meski makhluk itu tak kelihatan, tapi hasrat Pastor Ola tiba-tiba menggeliat, ada gejolak dalam dada.
“Ah,” matanya lantas terpenjara. Pikirannya menjadi liar.
Ia membayangkan berjumpa Peni pada suatu masa di negeri antah berantah. Dirinya bukan sebagai seorang Pastor yang menjaga tubuh seutuhnya milik Tuhan, melainkan seorang lelaki jantan yang bersenggama dengan kekasihnya. Berserakan pada lantai celana dalam dan pada ranjang yang penuh dengan kondom bermerek. Keduanya memadu kasih dengan tubuh telanjang. Menjilat-jilat leher dan berandai-andai agar segala hari adalah hari paling istimewa. Rongga bibir perempuan itu terus mengeluarkan desahan, membuatnya tak berdaya lalu berpagutan mesra.
“Tidak… jangan!” Pastor Ola tersadar dari pikirannya sendiri. Hingga ia merasa seluruh tubuh dan sendi-sendirnya pegal dan kaku. Tubuhnya gemetar, ia lalu mengepalkan telapak tangannya erat-erat, mencengkeram jari-jari kakinya pada tanah yang telah basah.
“Mea cupla… mea cupla!?”
Keringat berdesak-desakan memenuhi sekujur tubuhnya.
Ia pastor yang lahir dari rahim seorang manusia dan selamanya menjadi pastor manusia. Bahkan Tuhan Yesus pun, masih dicobai oleh Iblis ketika di Padang Gurun. “Jika Engkau anak Allah, perintahkan batu-batu ini menjadi roti.”
Berulang kali, ia memantapkan hatinya bahwa menjadi imam di hadapan seorang perempuan adalah menimba kekuatan, bukan menjemput godaan.
“Pastor baik-baik saja?” Ketua Dewan Paroki tercengang.
Peni masih saja melongo.
“Kenapa belum pergi?” Pastor Ola geram.
“Ya… ya…,” jawab Peni pendek sembari melangkahkan kaki menuju dapur.
Pertemuan Pastor Ola dan Peni tidak sesering dulu, tidak seakrab kemarin. Pastor Ola suka menyendiri. Jika harus ke taman pun, kecuali Peni sibuk-sibuknya di dapur. Bersua muka pun hanya pada jam makan.
Namun suatu hari, ketika Ketua Dewan Paroki mendapat kabar bahwa Pastor Ola dipukul oleh beberapa pemuda di kampung pada acara pernikahan, desas-desus kabar yang akhirnya ia peroleh yakni Pastor Ola bermesra-mesraan dengan Peni.
Pastor Ola terluka parah. Beberapa tulangnya dikabarkan patah akibat dipukul menggunakan balok. Ketua Dewan Paroki nekat menemui Pastor Ola. Peni juga ada di sampingnya, mengambil kain lalu mengompresnya.
Segera ditariknya Peni keluar.
“Kupikir tabiatmu setelah Pastor Kamilus, kau akan tobat. Perbuatanmu itu benar-benar kelewatan,” Ketua Dewan Paroki mencium firasat kurang enak.
Setelah tersadar, Pastor Ola bangun dan menghampiri keduanya.
Ia malu menatap wajah Ketua Dewan Paroki.
“Pendeknya” di mata Ketua Dewan Paroki pun nantinya di ingatan Pastor Paroki, ia adalah pastor paling tidak tahu malu. Pastor yang tidak ada harganya. Pastor yang bermain hati dengan seorang janda dan barangkali ia akan digunjingkan umat.
Sejak itu, ia tidak merayakan ekaristi. Entah malu. Entah bersalah. Yang pasti ia tetap mencintai Tuhan dan senantiasa mendandani rumah-Nya.
***
Setelah merasa benar-benar tidak berdosa lagi, Pastor Ola memberanikan diri memimpin perayaan ekaristi pada hari minggu dan hari-hari raya. Uang-uang kolekte dari setiap basis dikumpulkan lalu disimpan dalam saku. Seminggu kemudian Pastor Ola membeli hp berkelas. Umat biasa-biasa saja. Tidak merespon apa-apa. Toh, itu untuk menelpon rekan-rekan pastor. Dua minggu setelah perayaan Natal, Pastor Ola membawa sedan mewah berhenti di halaman gereja, ia turun dengan penuh kehati-hatian, melihat-lihat taman lalu masuk ke dalam sedan dan memarkirnya pada garasi pastoral.
Melihat lagaknya Pastor Ola yang semakin kaya-raya, mendadak beberapa umat datang sekadar bercerita dan ingin tahu.
“Ada donatur yang menyumbangkan uang untuk pembuatan taman.”
“Sekalian, aku mau mempercantik rumah Tuhan.”
Peni nan cantik dengan rambut basah sehabis keramas, menyodorkan kopi. Meliuk-liuk matanya ke seisi gelas dan melemparkan senyum. Bibir merahnya makin mentereng.
“Ia tukang masak yang genit itu, kan?” ***
.
.
Beatrix Polen Aran adalah seorang guru di Flores, Nusa Tenggara Timur. Dia juga bergiat di Nara Teater. Menulis cerpen dan puisi di media cetak dan online.
.
.
Nel
Ditulis dengan tata bahasa yang sangat apik.. bravo!!