Cerpen, Dody Widianto, Media Indonesia

Tanah Perawan

Tanah Perawan - Cerpen Dody Widianto

Tanah Perawan ilustrasi Budi Setyo Widodo (Tiyok)/Media Indonesia

5
(2)

Cerpen Dody Widianto (Media Indonesia, 02 Juli 2023)

SEBELUM selesai kuceritakan kenapa kau berani melawan sejarah demi pundi-pundi rupiah, Kidung Turun Sintren [1] berhasil membiusmu keluar dari kurungan besar yang terbuat dari anyaman bambu yang terbalut kain merah. Lepas dari jerat tali yang melilit tubuhmu. Sebelumnya kau terlihat telentang tak berdaya di dalamnya. Sekarang, kau keluar begitu ayu dengan baju golek [2], celana cinde [3], juga hiasan untaian melati di telinga kiri dan koncer [4] di telinga kanan. Empat orang di sekelilingmu membantu memapahmu berdiri di depan puluhan penonton. Ragamu masih nyata, tetapi jiwamu telah dipinjam pawang sintren yang berharap datangnya hujan.

Tiba-tiba tubuhmu telah melenggak-lenggok dengan tarian sampur yang mengikat pinggang mengikuti irama Kidung Sintren setelah wajahmu diusap pawang sambil mendengungkan mantra. Dengan pipi kemerahan dan kedua matamu tertutupi kacamata hitam, kau terlihat manis memang. Juga membuat penasaran siapa pun yang memandang. Lewat ritual ini, penantian lebih dari tiga ratus hari akan terbayarkan. Bagaimana warga berharap hujan segera datang. Ketika lahan sawah dari pinggiran Ligung hingga ujung Sumberjaya hanya dikirim angin gersang dari utara.

Di antara semua perawan desa di kampung ini, entah kenapa kau yang selalu terpilih. Banyak yang bilang kau mewarisi bakat mendiang ibumu yang juga seorang penari sintren. Sebuah pulung yang menurun tidak secara kebetulan. Namun, tidak sembarang pawang memilih perempuan untuk ritual pemanggil hujan seperti ini. Ada banyak syarat yang harus dipatuhi dan dipersiapkan. Termasuk unsur keperawanan yang tabu untuk diperbincangkan.

Terakhir kali kemarin setelah hajatan itu digelar kau mendekatiku. Berdiri tepat di depanku di sela puluhan penonton. Melihat orang-orang memberesi semua peralatan. Berkata ingin datang ke rumahku. Berbicara pelan di depanku seolah ingin meminta pertolongan. Tentu saja aku tak keberatan. Penari sintren tadi adalah sahabatku dari aku bermain bola bekel, petak umpet, dan permainan bongkar pasang baju boneka kartun. Hingga sekarang kami telah menjelma dewasa dan mengerti arti keperawanan.

Malam itu kau bercerita seluruh keluh kesahmu tepat di depanku. Saat teras rumahku ditiup angin yang membawa sedikit butiran garam dari laut utara. Tiba-tiba kau berkata padaku tentang sebuah kejujuran. Kita sama-sama perempuan. Aku paham apa yang dari dulu telah membebani hidupmu. Terlahir tanpa ayah lalu ibumu tiba-tiba pergi untuk selama-lamanya tanpa tahu sakit yang dideritanya, aku tahu kepedihan yang kau rasakan. Kini, kau meneruskan cita-cita ibumu. Namun, kau bilang padaku jika saat ini apa yang kau lakukan hanyalah kesia-siaan. Aku malah tak begitu paham apa yang kau katakan.

Baca juga  Manusia Kantong Plastik Hitam

“Aku tak tahu apakah Dewi Lanjar murka jika ia tahu apa yang telah kusembunyikan dalam dada. Tetapi yang aku lebih tahu, Tuhan tak akan pernah sudi menurunkan hujan di tanah para bajingan.”

Ucapmu terhenti. Bibirmu sedikit bergetar. Di teras rumah kita berdua duduk tanpa ada siapa pun, kau menepuk pundakku. Lalu bilang ingin meminta pertolonganku. Apa yang akan kulakukan nanti juga demi kebaikan semua warga di kampung ini. Sudah lama hujan tak kunjung datang. Area persawahan kering kerontang. Warga terpaksa memakan rebusan gaplek dari singkong yang dijemur dan dikeringkan. Paceklik hampir tepat setahun. Tak ada padi. Air sumur tak lagi terisi. Terakhir kemarin lewat petugas dari dinas kepemerintahan telah mengirimkan puluhan tangki besar berisi air bersih, tetapi kami tak tahu sampai kapan keadaan ini akan bertahan.

Kau tatap lagi wajahku. Melihat butir bening tiba-tiba menggelinding di tepian pipimu. Ini untuk terakhir kali katamu. Kau ingin pergi dari tempat ini. Meninggalkan kampung ini bersama kekasihmu yang sering kau ceritakan kepadaku. Sedikit kaget aku mendengarnya karena selama jadi sahabat baikmu kau tak pernah cerita keinginanmu untuk pergi. Tak paham juga kenapa kau berucap begitu tiba-tiba. Di kampung ini setelah ibumu tak ada, tak pernah ada yang keberatan kau ingin tinggal di mana dan bersama siapa. Kau tak lagi punya saudara kecuali aku. Temanmu sejak kecil yang selalu melihatmu lincah menari sintren.

“Kata orang, wajah kita mirip walaupun tak pernah ada pertalian darah di antara kita. Sekarang aku malah paham, adakalanya sahabat bisa lebih dari saudara. Selalu ada di kala sedih dan susah. Hari ini, aku ingin memintamu menggantikanku menari sintren. Besok pagi, aku dan kekasihku akan pergi dari kampung ini.”

Baca juga  ‘La Vita e Viaggio’

Sekali lagi, aku tak begitu paham apa yang kau katakan. Apalagi ketika meminta pertolongan dengan tiba-tiba. Merasa tidak bisa menjalankannya. Kau menepuk pundakku kembali. Meyakinkanku. Tarian sintren pemanggil hujan hanya layak dilakukan gadis yang benar-benar suci. Setelah ibumu tak ada, ada utang ibumu yang belum lunas. Kau tak pernah tahu. Ketika tiba-tiba seorang lelaki datang ke rumahmu lalu meminta pembayaran. Pilihanmu hanya melunasi utang itu di dunia atau Tuhan yang akan meminta tagihan pelunasan itu di akhirat. Kau terlalu lugu dan terlalu cepat mengambil keputusan lalu membayar dengan tubuh gadismu. Sekarang, kau tahu sesal selalu datang di belakang. Demi ini, kau menodai sejarah, berbohong kepada pawang sintren, lalu melakukan ritual dalam kepura-puraan. Dalam tarian sintren, kau tahu arwah leluhur Sulasih dan Sulandono tak akan pernah mau masuk tubuh yang tak lagi perawan.

“Aku ingin pergi dari kampung ini. Kau harus mau menggantikanku. Entah orang-orang tahu apakah aku yang menari ataukah dirimu, aku hanya ingin Tuhan masih mau berbelas kasih. Biarkan aku pergi. Ingatlah, betapa ritual sintren terus dilakukan, tetapi hujan tak kunjung datang. Terserah kau sebut ini kutukan, tetapi aku lebih memilih pergi. Saat ini aku tahu kau masih menjaga kegadisanmu. Buatlah hujan turun di kampung ini setelah aku pergi.”

***

‘Turun-turun sintren

Sintrene widadari

Nemu kembang ning ayun ayunan

Kembange siti mahendra

Widadari temurunin naranjing ka awak sira’

Kidung Turun Sintren terus saja terngiang di telinga tepat ketika tiba-tiba gerimis tercurah dari angkasa. Di sela-sela penonton, beberapa orang di depanku sigap bersujud lalu mengucap syukur. Dalam kacamata hitam yang menutupi kedua mataku, mereka tak tahu jika sedari tadi aku sedang menangis. Bahkan begitu rindu sahabat yang sudah kuanggap kakakku sendiri. Tetapi hari ini, demi apa yang pernah diucapkanmu, kau selalu berpesan padaku untuk selalu menjaga kesucianku sampai nanti saatnya tiba jika memang harus diserahkan kepada suami sahku. Di zaman seperti ini, orang hanya percaya Tuhan itu ada tanpa takut adanya karma dan sebuah pembalasan. Jaga baik-baik dirimu. Begitu ucapmu berulang.

Baca juga  Kepada Luka, kepada Rahasia

Asih, sahabat terbaikku itu, benar-benar pergi. Orang-orang mengira seorang perempuan belia yang melenggak-lenggok di depannya adalah kau. Biduan sintren yang terkenal hingga luar kota. Tetapi hari ini, aku merelakanmu pergi. Benar. Kita berdua memang lebih mirip saudara ketimbang sahabat. Sejak lahir aku tak tahu di mana ibuku berada dan ayahku bekerja di tambak garam di pesisir Kandanghaur laut utara dan jarang pulang. Selama keperluan hidup dan biaya sekolahku, semua ditanggung ibu Asih saat itu. Nanti ketika ayahku pulang, baru ia akan mengganti semua biayanya.

“Tuhan tak akan pernah sudi menurunkan hujan di tanah para bajingan.”

Hingga saat ini, kata-kata itu terus saja menggantung dalam kepalaku. Ketika tiba-tiba dering ponsel mengabarkanmu jika engkau pergi bukan dengan kekasihmu. Sebuah nama yang aku begitu mengenalnya. Suami ibuku. Tenggorokanku sakit, mataku perih, dadaku terasa sangat nyeri. Di sana, Asih terus meminta maaf kepadaku berkali-kali. Darinya, aku baru sadar. Ada harga yang harus dibayar mahal dari menjaga sebuah kesucian. ***

.

.

Bongas Kulon, Majalengka

.

Keterangan:

[1] Turun Sintren: lagu pengiring pertunjukan sintren yang sering kali diadakan masyarakat pesisir utara Jawa Barat, sebelum melakukan tarian, sang penari terlebih dahulu berpuasa agar roh Dewi Sulasih mudah masuk tubuh, dan para penari dipilih dari para gadis yang benar-benar masih suci.

[2] Baju golek: baju tanpa lengan yang biasa digunakan dalam tari golek.

[3] Celana cinde: celana tiga per empat yang panjangnya sampai selutut.

[4] Koncer: hiasan rias yang mirip anting.

.

.

Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar Makassar, dan Rakyat Sultra.

.
Tanah Perawan. Tanah Perawan. Tanah Perawan. Tanah Perawan. Tanah Perawan.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!