Cerpen Kurnia Gusti Sawiji (Kompas, 06 Agustus 2023)
SEPERTIGA malam temaram. Dari bibir Kakek Doa, doa-doa jatuh sebagai bisikan-bisikan yang mengisi dinding-dinding kusam tempat peribadatan. Duduk bertafakur di atas karpet lusuh bercorak kubah, pria uzur itu menyelami kembali makna hidupnya: bahwa hidup adalah bisikan-bisikan. Ada suatu masa di zaman dahulu kala, ketika dia berpikir bahwa dia bisa berteriak lantang, sebagaimana manusia lainnya. Maka dia pun berbisik; memanjatkan doa-doa kepada Tuhannya agar suaranya menggelegar.
Lalu ketika Tuhannya memberikan kekalahan, dia pun kembali berbisik; memanjatkan doa-doa kepada Tuhannya agar dia bisa bangkit setelah terpuruk. Kini, ketika suaranya lemah dan tulang-tulangnya tidak lagi mampu menopangnya untuk berdiri, dia tetap berbisik; memanjatkan doa-doa kepada Tuhannya. Dia tahu itu, dan itulah yang dilakukannya terus-menerus. Tanpa henti. Dalam teatrikal semesta, doa-doa yang dipanjatkannya adalah suara-suara; energi yang merambati ruang nir-batas. Tanpa henti.
“Pak Tua, Anda masih di sini?”
Kakek Doa menoleh. Itu adalah Pemuda Berita. Sepertinya usia tua membuatnya begitu cepat terlelap, dan tidak menyadari bahwa pagi sudah menjelang. Cahaya matahari dari arah pintu masuk tempat peribadatan menyilaukan matanya, dan si pemuda terlihat seperti sebuah siluet. Hanya ketika si pemuda sudah duduk di sebelahnya, sang kakek bisa mengenalinya: kulit putih, mata biru jernih, dan rambut pirang. Sangat berbeda dengan dirinya yang berkulit sawo matang, dengan keriput sana-sini.
“Kupikir ini sudah genap seminggu aku melihatmu di sini, Pak Tua. Memangnya kau tidak ingin kembali ke negara asalmu?” tanya Pemuda Berita. Pertanyaan itu terdengar kurang sopan, tetapi nada bicaranya bersahabat. Kakek Doa tidak menjawab. Bisikan-bisikan tetap ditumpahkan. Bisikan-bisikan yang di luar penalaran si pemuda.
“Ada berita apa hari ini?” setelah diam sebentar seusai menumpahkan bisikan-bisikannya, Kakek Doa bertanya. Suaranya parau, tetapi terdengar tenang.
“Ah, tidak ada yang spesial. Masih sama seperti kemarin, tentang Homo sapiens-cosmos. Aku sudah menceritakannya kepadamu, bukan?” balas si pemuda. Kakek Doa mengerutkan bibir, lalu mengangkat bahunya.
“Ingatanku sudah tidak baik, kau tahu itu.”
“Ayolah, seburuk-buruknya ingatanmu, aku bercerita baru kemarin, Pak Tua,” seloroh si pemuda. Kakek Doa tersenyum tipis, terdengar tawa kecil tersembul di napasnya.
“Intinya, sekarang bukan saja peradaban yang berubah. Manusia juga,” ujar Pemuda Berita. Dia memberikan koran kepada sang kakek. Setelah merogoh saku jubah putihnya dan mengambil kacamatanya, dia mulai membaca koran pemberian si pemuda.
“Tapi kau paham kan, tentang fenomena Gelombang Besar yang kujelaskan kemarin?” tanya si pemuda. Kakek Doa tidak menjawab dan tetap membaca koran. Pemuda Berita pun menepuk jidatnya dan tersenyum kecut.
Maka si pemuda pun mulai bercerita tentang hal-hal yang dia tahu betul tidak akan dipahami sang kakek: teori relativitas umum Einstein tentang ruang hampa dan zat-zat yang menyusunnya, teori mekanika kuantum tentang zat-zat yang lebih kecil dari atom, hingga teori gravitasi Newton yang konon mengikat segala zat alam semesta. Semesta raya dalam perumpamaannya adalah dunia bawah lautan: planet, bintang, galaksi, seumpama batu-batu yang jatuh ke dalam laut, menimbulkan gelombang dan riak bergema, merambat dalam ketanpabatasan ruang lautan.
“Hal sesederhana ini tentu kau pun tahu, kan? Misalkan dua bola besi berat bertabrakan dalam laut, tentu gelombangnya akan terasa ke mana-mana. Begitulah Gelombang Besar. Pada dasarnya ruang hampa itu tidak ada, dan kehampaan itu, sebagaimana udara yang kita hirup sekarang, terdiri dari partikel-partikel penyusun. Gravitasi pada dasarnya bukan sebuah gaya, tetapi gelombang yang dihasilkan dari partikel-partikel tersebut. Nah, ganti dua bola besi berat itu dengan dua bintang besar, dan laut dengan alam semesta kita. Voila, Gelombang Besar; gelombang gravitasi terbesar di alam semesta kita, seribu kali lebih besar yang terdeteksi tahun 2016, sekitar 60 tahun yang lalu,” jelas si pemuda dengan bangga.
“Kau memang bukan pembawa berita sembarangan,” balas Kakek Doa.
“Kau mungkin tidak percaya ini, tetapi aku mahasiswa MIT. Kuliahku mulai siang, sehingga pagi aku melakukan kerja paruh waktu seperti ini. Oh, ngomong-ngomong tentang pekerjaanku, permintaanmu untuk selalu membawakan koran, bukan hologram sebagaimana orang-orang pada umumnya, cukup menyulitkanku. Kau tahu kan, mulai bulan depan produksi kertas sudah akan dihentikan?” protes si pemuda.
“Peradaban bisa saja berubah, tetapi manusia tidak.”
“Kau bicara apa, Pak Tua? Bukankah baru kukatakan tadi? Efeknya baru terasa sekarang, tetapi tidak dimungkiri Gelombang Besar sedekade lalu mengubah struktur genetik dan molekul tubuh manusia, membuat partikel-partikel penyusun molekul mereka lebih sensitif dan begitu mudah terkait dengan partikel-partikel di sekitarnya. Makanya sekarang berita dipenuhi dengan berita-berita semacam ini; lihat, seorang pria di Denver baru saja mengubah meja makannya menjadi jeruk. Oh, ini juga menarik; seorang wanita di Albuquerque mengaku bisa membaca pikiran. Kalau ini bukan perubahan, aku tidak tahu apa namanya.”
Kakek Doa diam. Hal-hal semacam ini tentu di luar nalarnya. Dia masih ingat sedikit-sedikit membaca berita ilmu pengetahuan dan teknologi. Di negaranya, yang kini sebagian sudah tenggelam sehingga dia perlu hijrah ke negara lain, ada koran yang biasa memuat banyak berita ilmu pengetahuan. Tetapi sebagaimana katanya: ingatannya sudah tidak baik. Lagi pula, begitu banyak hal sudah terjadi, begitu banyak hal sudah dilalui, sehingga hal-hal muluk seperti itu jauh dari jangkauan pikirannya.
“Kau tahu, Pak Tua. Aku banyak berbicara dengan orang-orang. Maaf, aku juga sempat berbicara tentang dirimu.”
“Oh, apa yang ingin kau bicarakan tentang tua renta ini?”
“Yah, tidak banyak. Hanya bertanya-tanya mengapa kau banyak menghabiskan waktu di tempat usang ini.”
“Jangan macam-macam, anak muda. Ini adalah rumah Tuhan.”
“Pak Tua, di zaman sekarang, tidak ada lagi yang membicarakan Tuhan.”
Kakek Doa menghela napas. Bisikan-bisikan kini dilantunkannya bukan sebagai bisikan-bisikan, tetapi suara-suara. Pemuda Berita tidak mengenal bisikan-bisikan itu. Sebuah bahasa yang asing. Tetapi keasingan itu pula yang menggetarkan. Dia tidak sengaja melihat sang kakek ketika sedang mengantarkan berita-berita, kurang lebih seminggu yang lalu. Kebetulan tempat peribadatan itu berada di persimpangan jalan, sehingga dia bisa langsung melihat ke dalamnya. Ketika melihat di dalamnya ada seseorang, dia penasaran dan bertemulah dengan Kakek Doa. Siapa sangka, ketika sang kakek sedang tidak berbisik, dia adalah teman bicara yang menenangkan. Kakek Doa tidak banyak bicara, tetapi ada perasaan nyaman ketika si pemuda menceritakan berbagai hal kepadanya.
“Anak muda, apa yang kau lakukan ketika kau berada di titik terendah kehidupanmu?” tanya Kakek Doa tiba-tiba.
“Titik terendah… kehidupanku?” tanya Pemuda Berita kebingungan.
“Kau pernah merasakan kegagalan yang begitu besar, sampai-sampai kau merasa ingin mati?” tanya sang kakek dengan lebih tegas.
“Yang seperti itu… tidak separah itu. Kenapa pertanyaanmu tiba-tiba menyeramkan?”
“Aku pernah. Sering, malah. Padahal, aku senantiasa berdoa kepada Tuhanku agar aku bisa menjadi seseorang yang spesial. Kekayaan melebih orang lain, kekuatan melebih orang lain, aku berdoa untuk segala hal. Tetapi apakah Tuhanku mengabulkannya? Tidak. Tuhanku menjadikanku biasa. Tetapi apakah itu membuatku berhenti berdoa kepada-Nya? Tidak. Semakin besar kegagalanku, semakin kuat doaku kepada-Nya. Dan ketika aku jatuh, Tuhanku membangkitkanku. Ketika aku terpuruk, Tuhanku menaikkanku. Kini, Tuhanku mempertahan hidupku. Tuhanku tidak membuatku kaya raya, kuat, atau menguasai segalanya. Tidak, anak muda. Tetapi Tuhanku, Dia mencukupkanku,” jelas Kakek Doa.
“Kau menggantungkan dirimu kepada abstrak, Pak Tua,” balas Pemuda Berita.
“Dan kalian menggantungkan diri kepada logam. Sudah kukatakan bukan, manusia tidak berubah. Mereka hanya berpindah; tetap menggantungkan dirinya, dari satu hal ke hal lain,” balas sang kakek sambil tersenyum.
Pemuda Berita tertawa sembari sedikit mendengus. Pahamlah dia bahwa sebagaimana sang kakek tidak akan memahaminya ketika dia berbicara tentang teknologi dan fenomena alam modern, dia tidak akan memahami pandangan-pandangan sang kakek. Tetapi itu bukan berarti kakek itu harus dijauhi. Malahan, mengunjungi si kakek mungkin akan menjadi rutinitas tambahannya. Dia akan menyerahkan berita ke rumah-rumah lain terlebih dahulu, dan terakhir berhenti di tempat peribadatan ini. Lagi pula tempat ini cukup nyaman jika dijadikan tempat istirahat. Dia yakin, sang kakek tidak akan mempermasalahkannya.
“Yah, Pak Tua, kau bisa bicara begitu karena belum pernah mengalami perubahan-perubahan seperti di berita-berita. Kau dan aku, tepatnya. Mungkin jika hal itu terjadi, masing-masing kita akan memiliki pandangan berbeda,” pungkas Pemuda Berita.
“Ketika Tuhanku berkata: terjadilah! Maka terjadilah ia,” balas Kakek Doa. Si pemuda mengangkat alisnya dan pamit meninggalkannya.
Tentu Kakek Doa tidak akan mengira bahwa pertemuan itu adalah yang terakhir di antaranya dan Pemuda Berita. Keesokan harinya, ketika pemuda itu tidak kunjung datang, Kakek Doa melangkah ke luar dan bertanya tentangnya kepada seorang wanita uzur yang kebetulan lewat. Wanita itu lantas bercerita tentang seorang pemuda bernama Ted yang dibawa ke Nevada setelah mengaku bisa mengingat semua hal yang dia baca. Sembari melihat wanita itu berlalu, Kakek Doa berdoa di dalam hatinya: semoga pemuda bernama Ted itu baik-baik saja, dan semoga hari ini hujan sedikit turun, karena dari kemarin tempat peribadatan terasa panas.
Dalam teatrikal semesta itulah, setitik hujan turun di wajahnya. Sedikit demi sedikit, mengubah warna tanah menjadi coklat basah. ***
.
.
Juni 20XX
Kurnia Gusti Sawiji (kerap dipanggil Wiji) lahir di Tangerang, 26 November 1995. Menjalani pendidikan di University of Malaya, Malaysia, di Jurusan Fisika, kini penulis berdomisili di Tangerang dan bekerja sebagai guru fisika di SMA Al-Fityan School Tangerang. Menulis di berbagai media daring. Novel perdananya, Tanah Seberang (Buku Mojok), terbit pada tahun 2018. Meraih juara harapan sayembara cerpen nasional oleh Nongkrong.co dengan cerpen berjudul Dongeng Pengantar Kiamat No. 4722.
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Ia lulusan Magister Manajemen Universitas Warmadewa, Denpasar. Pameran tunggal pertamanya bertajuk “The Audacity of Silent Brushes” di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), pameran di Devto Studio (2021), dan pameran Argya Citra di Gourmet Garage (2021).
.
Homo Sapiens-Cosmos I: Manusia yang Berdoa. Homo Sapiens-Cosmos I: Manusia yang Berdoa. Homo Sapiens-Cosmos I: Manusia yang Berdoa. Homo Sapiens-Cosmos I: Manusia yang Berdoa.
Leave a Reply