Cerpen Aveus Har (Jawa Pos, 05 Agustus 2023)
ARJUNO klepek-klepek. Sebagai pemuda desa yang menjadi mahasiswa di Jakarta, Arjuno mulanya tidak berminat menonton pertunjukan sintren di lapangan desanya. Hanya agar bapaknya kelak terpilih lagi di pemilihan kepala desa, Arjuno mau berbaur dengan warga menyaksikan pergelaran sintren yang—dalam ingatan dan persepsinya—norak, kampungan, dan membosankan. Namun, kali ini, seorang penari sintren telah membuat pemuda desa yang mengkota itu tergila-gila.
Tidak tanggung-tanggung, seusai pergelaran itu Arjuno membuat ultimatum untuk bapaknya: tidak akan melanjutkan kuliah kecuali sang bapak melamarkan sintren itu untuk menjadi istrinya.
“Kamu tahu Sumeleh yang menjadi sintren itu?” tanya bapaknya.
Arjuno menggeleng. Sejak SMA di kota kabupaten, Arjuno nyaris tidak bergaul dengan warga desa. Apalagi kini dia sudah merantau jauh ke ibu kota.
“Dia anaknya Wahab,” kata bapaknya lagi, tetapi Arjuno juga tidak tahu siapa Wahab.
“Bapak ini lurah, Jun. Kalau berbesan sama guru, sama juragan, itu pas. Lha, Wahab itu cuma tani penggarap yang sawah saja tidak punya!”
Arjuno bisa memahami soal itu. Kasta-kasta di desa adalah hal yang lumrah sebagaimana dia juga tidak bergaul dengan sembarang orang. Namun, dalam kasusnya kali ini, Arjuno memilih beretorika soal kesetaraan.
“Wahab dan Bapak sama-sama manusia,” kata Arjuno. “Di hadapan Tuhan dan hukum, sama, setara. Jadi tidak soal benar dengan siapa Bapak berbesan.”
Kalau saja Arjuno bukan anak laki-laki satu-satunya yang bisa bapaknya banggakan, sang bapak pasti tidak akan menyerah dan menyetujui kemauan anaknya. Namun, dari empat anaknya yang laki-laki semua, hanya Arjuno si bungsu ini yang sekolahnya bener. Tiga orang kakaknya tidak lulus SMA dan ijazahnya kejar paket C yang didapatkan dari “jalan belakang”.
“Apa kuliahmu nanti bisa beres kalau kawin?” tanya bapaknya, waswas.
“Justru kalau aku kawin, aku tidak perlu nyari cewek di diskotek saban suntuk,” sahut Arjuno. Dia sudah membayangkan memboyong Sumeleh ke kamar kontrakannya di Jakarta. Selepas kuliah dia bisa bergoyang dan digoyang Sumeleh, yang pasti berbeda dengan perempuan-perempuan nakal diskotek. Urusan duit toh tinggal menunggu kiriman dari panen sawah dan tambak di desa. Urusan Arjuno hanya kuliah dan leyeh-leyeh dalam kelonan Sumeleh.
Soal Sumeleh yang hanya tamat SD bukan masalah besar. Di Jakarta, Arjuno yakin Sumeleh bisa dia ajari bagaimana menjadi perempuan kota yang modern.
Ketika dini harinya Arjuno kembali ke Jakarta karena sedang banyak tugas perkuliahan, Arjuno mengira urusan lamar-melamar itu bakal mudah. Bagaimanapun, di desa, kasta seorang lurah berada di ketinggian. Siapa, sih, yang bakal menolak menjadi besan lurah? Menjadi mantu lurah?
Dini hari dalam gerbong kereta api eksekutif Arjuno terbayang-bayang Sumeleh yang menjadi sintren itu. Wajah Sumeleh saat itu seperti berisi neon, berpendaran cahaya, keluar dari kurungan ayam yang dibuka oleh pawang. Arjuno tidak melihat dari awal ketika Sumeleh belum berdandan dan diikat tangannya sebelum dimasukkan dalam kurungan yang dilapisi kain kelam. Konon, Nyai Ratu Dewi Lanjar yang merasuki Sumeleh yang membuat gadis itu bisa berdandan di dalam kurungan. Namun, Arjuno tidak percaya hal-hal mistis semacam itu. Dia lebih percaya bahwa ikatan tangan Sumeleh sesungguhnya longgar dan gadis itu memang pandai berdandan.
Ritmis suara laju kereta di telinga Arjuno berubah menjadi alunan gamelan yang sederhana, bertempo cepat, dan monoton. Dari awal pertunjukan sampai akhir, irama musiknya sama semua. Ditambahi dengan suara panjak yang cempreng dan syair lagunya yang diulang-ulang, daya tarik tontonan ini bagi Arjuno yang modern sungguh tiada pikat. Hanya Sumeleh yang membuat segala kemonotonan itu menjadi berdaya pukau. Segala gerak kaki, tangan, dan pinggul Sumeleh terekam kuat dalam benaknya.
Saking terpukaunya, pada waktu Sumeleh mendatangi para penonton dengan membawa cething anyaman bambu untuk meminta derma, Arjuno tidak bisa menahan diri. Dia menyentuh lengan Sumeleh. Hal yang luput dari ingatannya, sintren tidak boleh disentuh karena akan membuat sintren terkulai jatuh.
Arjuno tidak menyesal melakukan itu. Dia akan menyesal kalau tidak melakukannya. Toh, untuk ini, dia memberi sejumlah besar uang sebagai derma.
Arjuno mencium telapak tangannya seolah jejak lengan Sumeleh masih menempel. Pada saat balangan, Arjuno melemparkan jaketnya ke arena pertunjukan dan dikembalikan oleh Sumeleh setelah diberi wewangian oleh pawang. Wewangian yang menyengat itu di hidung Arjuno tercium sebagai aroma tubuh Sumeleh yang menggetarkan tubuhnya.
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta ini, di kursi gerbong kereta eksekutif yang empuk, aroma minyak di jaket yang dikenakannya itu melelapkan Arjuno dalam mimpi erotis dengan alunan gamelan menjadi suara latarnya.
Sungguh!
***
Jatmiko, sang lurah, bapaknya Arjuno, juga berpikir bahwa mewujudkan permintaan anak bungsunya bukan perkara sulit. Dia tinggal menyuruh staf kelurahan memanggil Wahab dan bapaknya Sumeleh itu datang menghadap dengan takzim. Tanpa berbasa-basi, Jatmiko menyatakan apa yang menjadi kehendak anaknya. Wahab, dengan ekspresi masygul, menjawab bahwa dia menurut saja apa kehendak Sumeleh, sambil mengingatkan bahwa anaknya itu masih bocah kencur.
“Berapa umur anakmu?” tanya Jatmiko dengan wibawa seorang lurah.
“Lima belas tahun, Pak Lurah.”
“Sudah cukup umur. Nanti di buku bisa ditulis enam belas tahun biar sesuai peraturan. [1] Bisa diatur soal itu.”
“Iya, Pak Lurah.”
“Yang penting, kamu mau tidak besanan sama lurah.”
“Ya, karep, Pak Lurah.”
“Ya, besok ajak Sumeleh ke sini buat ditanya.”
“Iya, Pak Lurah.”
Nyatanya, ketika Sumeleh dibawa ke hadapan Jatmiko dan ditanya, gadis itu menggeleng. “Nok belum mau kawin,” katanya.
“Kenapa, Nok?” tanya Jatmiko, ikutan memanggil Nok seperti Sumeleh memanggil dirinya.
“Nok takut.”
“Takut apa? Kawin itu enak, apalagi jadi istri Arjuna, jadi mantu lurah. Banyak yang karep dilamar, kok, kamu malah nolak.”
“Takut tidak diperbolehkan sama Nyai Dewi ….”
“Nyai Dewi siapa? Nyai Dewi Lanjar? Tidak apa-apa. Nanti urusan Nyai Dewi Lanjar urusan Pak Lurah. Nok menurut saja.”
“Kata Pak Dulkamin, Nyai Dewi senang Nok jadi sintren.”
Mendengar nama sang pawang disebut, Jatmiko merasa tahu simpul permasalahannya. Dia tertawa keras-keras dan menyebut nama Dulkamin berkali-kali di sela tawanya.
“Itu bisa-bisanya Dulkamin saja. Yang senang kamu jadi sintren itu Dulkamin. Dia tidak bisa mencari ganti kalau kamu kawin,” kata Jatmiko. “Sudah, urusan Dulkamin serahkan sama saya.”
***
Dulkamin membakar rokok, menyesapnya lama, lalu mengembuskan asapnya yang putih tebal seperti menyembur. Wajahnya keras, sangar, dan dengan ekspresi segarang itu tidak ada yang bernyali di hadapannya. Namun, yang dihadapinya kini adalah lurah. Dulkamin tidak berani macam-macam sama lurah.
“Saya ngomong apa adanya, Pak Lurah. Sumeleh itu sintren jadi, bukan sintren jadi-jadian,” kata Dulkamin. “Dia direstui Nyai Dewi ….”
Jatmiko tahu perihal sintren jadi dan sintren jadi-jadian. Dalam kepercayaan masyarakat, sintren jadi itu yang benar-benar dirasuki roh Ratamsari atau yang lebih dikenal sebagai Nyai Dewi Lanjar, penguasa pantai utara. Sementara sintren jadi-jadian hanya berpura-pura kerasukan. Hanya orang-orang yang mempunyai kemampuan linuwih yang bisa membedakan mana sintren jadi dan mana jadi-jadian. Namun, kepercayaan itu sekarang sudah tidak kental lagi. Orang-orang desa pun sudah melek informasi dan sadar bahwa sintren hanya main-main. Sebagian juga sudah meninggalkan sesajen-sesajen dan kepercayaan mistis.
Ini hanya masalah ekonomi pikir Jatmiko. Jatmiko tahu jika Sumeleh kawin dan Dulkamin tidak menemukan pengganti, kelompok seni miliknya akan mati. Jatmiko tahu kelompok sintren macam punya Dulkamin ini sudah langka. Mungkin di kecamatan ini hanya satu-satunya.
“Begini saja, Dul,” kata Jatmiko, “kamu bilang saja sama Sumeleh, bilang bahwa Nyai Dewi memperbolehkannya kawin.”
“Tapi ….”
“Urusan kamu, nanti aku kasih kerjaan di kantor kelurahan.”
Dulkamin tidak bereaksi. Dia masih menyesap rokoknya dan mengembuskannya seperti sedang mengeluarkan keresahan. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala.
“Saya tidak bisa melakukan itu, Pak Lurah,” katanya, “tetapi ….”
“Ayo, bilang saja kamu maunya apa, aku kasih!”
“Saya akan matur sama Nyai Dewi ….”
Jatmiko mengangguk-angguk. “Ya … ya … ya ….” katanya. “Aku ngerti, Dul.”
Apa yang dipahami Jatmiko bahwa Dulkamin hanya sedang berusaha menyelamatkan muka. Dia hanya mencari cara untuk menerima tawaran bekerja di kelurahan itu tanpa kentara dan segala hal mistis itu omong kosong.
Ketika Arjuno menelepon bapaknya, Jatmiko dengan mantap berkata bahwa urusan lamar-melamar sudah kelar. Tinggal mencari hari baik untuk melangsungkan pernikahan. Arjuno gembira betul sampai bernyanyi-nyanyi di telepon.
***
Dulkamin ternyata menolak pemberian kerja di kelurahan. Dia bilang sadar diri bahwa kemampuannya hanya bertani dan pawang sintren. Dia juga bilang bahwa apa yang disampaikannya nanti adalah perkataannya Nyai Dewi, bukan perkataannya.
“Di acara kawinan nanti, Sumeleh harus nyintren,” kata Dulkamin.
Jatmiko tidak berkeberatan. Dia bahkan bilang bahwa sintren Dulkamin ini nanti akan ditonton para pejabat dan tamu undangan. Dulkamin tidak menunjukkan rasa senang. Dia hanya mengangguk.
Hajatan mantu lurah itu kemudian dirancang. Ini mantu terakhir untuk lurah Jatmiko sehingga pesta akan dilangsungkan selama tiga hari. Hari pertama akan diselenggarakan pergelaran sintren. Hari kedua akan digelar orkes Melayu. Hari ketiga akan digelar pengajian akbar dengan pembicara dari Jakarta.
Karena kabarnya menyebar jauh, di malam pertama pesta itu lapangan dipenuhi pengunjung dan para penjual aneka jualan yang mengais rezeki. Lampu-lampu besar terpancang di banyak tempat dan suara diesel menderu-deru berbaur dengan nyanyian para panjak dan alunan gamelan lewat sepiker-sepiker besar di lapangan.
Di depan arena pertunjukan Arjuno duduk di singgasana dengan pakaian pengantin, tak berkedip memandangi sosok Sumeleh yang lencir dalam balutan pakaian sederhana. Kemlandang, perempuan paro baya yang membantu pawang, membakar kemenyan. Asapnya mengepul, membubung, menyebar, dan menebarkan aroma mistis. Setelah sang kemlandang mengasapi Sumeleh dan kurungan yang akan mengurung gadis itu, pawang membisikkan mantra ke telinga Sumeleh.
Arjuno telah lesap dalam pertunjukan. Pawang mengikat tangan Sumeleh dan memasukkannya dalam kurungan dan kemlandang memasukkan perlengkapan berdandan. Oh, keahliankah atau sungguh keajaiban, setelah kurungan bergoyang, kemlandang membuka kurungan dan Arjuno melihat jelas betapa Sumeleh telah menjelma menjadi bidadari dengan kacamata hitam menutup matanya, dengan tangan masih terikat!
Betapa Arjuno ingin lekas membopong gadis itu dan membawanya ke pelaminan. Namun, sesuai kesepakatan, pertunjukan ini harus usai dahulu, dan Arjuno menahan hasratnya yang menggebu.
Masih dalam keadaan tangan terikat, Sumeleh yang telah menjadi sintren menari, menggoyangkan pinggul, berjingkat kanan kiri.
Kemudian sintren bersimpuh dan kembali dikurung. Ketika kurungan kembali dibuka, sintren telah melepas ikatan tangannya dan menari dalam gerak keceriaan, memainkan tali di tangannya.
Sekali lagi sintren bersimpuh dan dikurung. Ini kurungan terakhir. Selepas ini, pertunjukan sintren akan berjalan sampai akhir dan Arjuno akan membopong sintren yang telah dilepaskan dari kerasukannya dan menjadi Sumeleh, mempelainya.
Kemlandang mengasapi kurungan dengan mengitarinya. Namun, asap kemenyan itu surut dan kemudian lenyap. Bara di wadah gerabah itu menghitam. Tubuh perempuan yang menjadi kemlandang itu gemetar. Dia menolehi pawang, tetapi sang pawang telah bersimpuh.
Suara gamelan surut dan berhenti. Sesaat suasana senyap. Lalu kasak-kusuk dari penonton mengambang dan menjadi kegaduhan. Arjuno terpaku di kursinya.
Ketika ketakmengertiannya memuncak, Arjuno memburu kurungan yang menelan Sumeleh. Dia membukanya, tetapi tidak menemukan siapa-siapa.
“Mana Sumeleh? Di mana Sumeleh?” Dia bertanya.
“Sumeleh milih ikut Nyai Dewi,” kata pawang.
Arjuno mencampakkan kurungan. Dia berteriak memanggil-manggil Sumeleh. ***
.
.
Catatan:
[1] Aturan tersebut tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebelum direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 yang berlaku sejak 15 Oktober 2019.
.
.
Aveus Har. Tinggal di Pekalongan. Kesehariannya adalah seorang pedagang mi ayam sembari bereksperimen di Laboratorium Ide dan Cerita (Labita). Telah menerbitkan 12 buku.
.
.
Leave a Reply