Cerpen Marisa Rahmashifa (Kedaulatan Rakyat, 28 Juli 2023)
APAKAH aku akan mati?
Pertanyaan itu sekonyong-konyong terlontar di usiaku yang masih empat tahun. Aku menunggu jawaban Ayah. Entah, ia mendengarku atau tidak. Kuulangi pertanyaan itu sekali lagi.
“Ya,” jawabnya ringan.
“Setelah itu bagaimana?” tanyaku lagi.
“Menjadi bidadari,” ujarnya.
“Apakah bidadari bersayap?” Dan Ayah hanya mengangguk.
Sejak itu aku menggambar paras bidadari. Mahkotanya seperti rumpun bunga di pekarangan rumah dan mengenakan gaun menjuntai bak putri raja yang sering aku lihat di layar televisi. “Bidadari tinggal di surga, Ibu juga di sana,” ujar Ayah suatu hari. Dan aku ingin melihat bidadari itu, aku ingin bertemu Ibu. Meringkuk di sayapnya yang hangat seperti anak kucing yang baru lahir.
“Maria. Panggil aku Mama.” Seorang perempuan memperkenalkan diri saat ayah membawanya ke rumah di usiaku yang keenam. Bibirnya merah muda melengkung ramah, kulitnya berkilat terang saat tertimpa cahaya matahari dari celah jendela. Seperti mimpi, aku bertemu dengan bidadari. Kurasakan halus kulit tangannya seperti bedak saat mengusap-usap puncak kepalaku.
Maria, bidadari yang kuimpikan. Ia kan membawaku ke tempat-tempat ajaib. Menghabiskan waktu libur dengan menikmati rumpun pohon cemara dan setiap malam dahiku akan dielus-elusnya hingga tertidur.
Rupanya, keindahan senyum Maria tak lagi kulihat saat hari-hari kami dimulai. Suaranya tak lagi lembut seperti saat pertama kami bertemu. Ia tak segan-segan melayangkan tongkat panjang ke arahku begitu perintahnya diabaikan. Belaian tangannya yang sehalus bedak itu tetiba raib ditelan angin.
Ayah perlahan lupa membelikan makanan atau mainan kesukaanku. Ia jarang menanyakan kabarku sepulangnya dari kantor. Sepenuhnya perhatian itu tertuju pada bidadari barunya. Kekecewaanku pada ayah semakin dalam, saat ia menyetujui usulan Maria agar aku belajar menyelesaikan pekerjaan rumah setelah pulang sekolah. Ia tak tahu Maria selalu tersenyum baik kepadaku hanya saat ayah di dekatnya.
“Bagaimana kau ini? Cepat bersihkan!” Nada itu berubah tinggi selepas ayah berangkat kerja. Aku mengompol hari itu, kesalahan yang mustahil kusembunyikan. Akibatnya, harus terlambat ke sekolah setelah berupaya membersihkan tempat tidurku.
Lambat laun, mainanku mulai dirampas sebagai hukuman atas kesalahan yang tak sengaja kubuat. Satu-satunya yang tertinggal dan kusembunyikan hanya kotak berwarna merah muda yang kuncinya berbentuk kuda poni. Kotak itu dibelikan ibu, kata ayah. Yang saat kuputar kuda poninya, tak kutemui mata Maria yang sinis dan menghardikku melainkan sebuah cahaya yang memunculkan kepak sayap berkilau.
“Apakah kau bidadari?” tanyaku padanya.
“Bisakah kau bawa aku bertemu Ibu?”
“Aku hanya sebatas bersayap dan menghibur anak-anak sepertimu. Tidak ada kebebasan bagiku untuk terbang.”
Tak lama kepakan sayap itu menghilang, mengembalikanku pada hening dan ketakutan. Mimpi indah, tertidur di sayap bidadari yang elok telah sirna. Hari-hari diselimuti tangis dalam kesendirian juga tubuh yang gemetar akan hantaman caci makinya.
Aku bertekad melanggar perintah Maria, setelah lenganku dibuatnya memar dan berdarah. Bagaimanapun caranya, aku harus mengadu pada ayah. Namun, kabar kehamilannya mengurungkan niatku. Demi kebahagiaan ayah, lagi-lagi aku harus menyembunyikan luka itu dibalik lengan bajuku yang panjang.
Perlakuan Maria semakin menjadi-jadi saat tanpa sengaja aku menumpahkan air di depan kamarnya yang membuatnya hampir terpeleset. Tanpa ampun, diseretnya aku ke dalam gudang yang tanpa penerangan dan mengunciku di sana. Ia tak lagi peduli akan rengek tangisanku.
Dalam gulita dan isak yang membekap, aku menyakini keindahan lahir dari kebebasan. Bukan saat aku bertemu dengan Ibu yang tak pernah kumiliki keberadaannya. Dan Ibu yang melahirkanku tak akan seperti Maria. Dadaku yang begitu sesak perlahan terasa lapang seiring samar-samar cahaya memunculkan dua kepak sayap putih, silau mataku tak bisa melihatnya jelas. Dengan kecepatan kilat, tubuhku di bawahnya terbang entah kemana. ***
.
.
Malang, 12 Juni 2023
Marisa Rahmashifa, penggiat literasi dan penikmat sastra. Alumni Sastra Inggris UIN Malang. Penulis bisa dihubungi via Instagram @marisarahmashifa.
.
Dua Kepak Sayap.
Leave a Reply