Cerpen, Endry Sulistyo, Kaltim Post

99

99 - Cerpen Endry Sulistyo

99 ilustrasi Jumed/Kaltim Post

4.4
(7)

Cerpen Endry Sulistyo (Kaltim Post, 25 Juni 2023)

BAPAK dan ibunya sepertinya telah lelap di kamar. Seharian keduanya sibuk menggarap ladang. Mustari sengaja duduk di teras rumah agar bapak-ibunya tak terganggu saat istirahat.

Segelas kopi, sanggar cempedak bikinan ibunya petang tadi, menemani Mustari. HP digeletakkan begitu saja di meja. Percuma juga digunakan. Jika cuaca mendung seperti ini, sinyal bakalan susah didapat. Diisapnya lintingan tembakau yang bawa dari Jawa. Ia tahu persis, bapaknya adalah penyuka tembakau Temanggung dari tanah para leluhurnya.

Mustari tak habis pikir, mengapa kampungnya sama persis sepinya dengan kondisi sewaktu ia tinggalkan sepuluh tahun yang lalu untuk merantau ke Jawa. Gelap dan sepi. Padahal, kampungnya kini kian padat dihuni manusia. Belum juga pukul 10 malam, namun tak ada tetangga yang melintas dan beraktivitas.

Jika dulu listrik masih terbatas, kini hampir setiap rumah warga telah menyala. Tetapi mengapa sunyi ini begitu berbeda dirasakan Mustari dibandingkan kondisi dulu. Tak terdengar olehnya bunyi jangkrik atau suara kodok yang memberi isyarat menjelang turun hujan? Aneh.

Ingatan Mustari melayang, menyeberangi lautan menuju Jawa, mengingat peristiwa sepuluh tahun silam. Mustari kecil yang begitu terpesona melihat besarnya kapal penumpang KM Mutiara Sentosa I yang akan membawanya ke tanah Jawa. Terpesona ketika bapaknya bercerita detail tentang kapal yang akan ditumpanginya.

“KM Mutiara Sentosa I ini dibangun pada 1988, dengan panjang 127 meter, lebar 21 meter. Bobot kapal Ferry Roro (roll on roll off) mencapai 12,365 ton.”

Bapaknya begitu fasih bercerita tentang kapal raksasa ini. Meskipun pada akhirnya ketika kapal benar-benar berangkat meninggalkan dermaga, di setiap malamnya justru Mustari kecil terkapar, muntah berkali-kali karena mabuk laut.

Hampir seminggu Mustari kecil beserta kedua orangtuanya tinggal di Temanggung. Begitu nyaman. Mustari kecil begitu suka dengan hawa dingin di pagi hari. Setiap pagi bahkan Mustari kecil duduk di lincak, bangku panjang yang terbuat dari anyaman bambu, menikmati pagi, hawa dingin, dan tentu saja mengagumi Gunung Sindoro dan Sumbing yang terpampang di depan mata.

Semua baik-baik saja, hingga suatu pagi, Mustari kecil tak bisa merasakan hawa dingin pagi. Badannya mengeras, air matanya mengucur deras, dan suaranya parau dengan teriakan penolakan. Tidak!

Bapak dan ibu Mustari sudah bersiap menaiki mobil travel yang akan membawa mereka ke Surabaya.

“Kamu baik-baik saja di sini ya, Le. Kami titipkan kamu pada si mbah. Jangan nakal. Jangan lupa bantu-bantu juga di kebun,” kata bapak waktu itu.

Baca juga  Zarkasyih, O Zarkasyih

“Tapi Mustari pengen ikut bapak dan ibu ke Kalimantan.”

“Suatu saat kamu pasti akan ke Kalimantan juga. Sekarang kamu tinggal di Jawa dulu. Sekolah sing sregep biar nanti pas ke Kalimantan, kamu sudah punya bekal yang cukup,” ujar ibunya sambil menyeka segenang air mata sebelum jatuh ke pipi.

“Tidak…! Pokoknya Mustari harus ikut sama bapak dan ibu pulang ke Kalimantan!” teriak Mustari kecil.

“Sudah, Le. Tidak apa-apa. Sementara kamu tinggal bersama kami di sini. Nanti suatu saat kita susul bapak dan ibumu ke Kalimantan, ya,” ujar Mbah Putri turut menenangkan.

Mustari kecil terus berontak, terlebih ketika ibu-bapaknya mulai menaiki mobil travel.

“Ikut… Gak mau tahu. Mustari pokoknya pengin ikut…!!”

Teriakan keras Mustari kecil tak mendapat jawaban. Mustari kecil berontak hendak mengejar mobil yang membawa orangtuanya. Mbah Kakung tak kalah sigap. Didekapnya Mustari kecil dengan erat penuh haru.

***

“Kamu belum tidur, Le?” Sebuah suara membuyarkan lamunan Mustari. Dilihat bapaknya telah berdiri tepat di samping tempatnya duduk.

“Eh… belum, Pak.”

“Ada gawean yang kamu pikirkan, kah?” ujar bapaknya.

“Tidak, Pak. Saya sedang melamun tentang masa kecil saya dulu kok.”

“Apa yang kamu pikir dan rasakan dengan tanah kelahiranmu ini sekarang?”

“Mustari merasa heran saja, Pak. Setelah sepuluh tahun berlalu, desa ini sudah banyak berubah tentu saja. Tetapi mengapa suasana malam ini, tetap saja sama saja seperti sewaktu dulu Mustari kecil. Gelap, sepi, dan suasananya Mustari rasakan seperti mencekam. Dari tadi, Mustari tak melihat lalu-lalang warga beraktivitas. Padahal ini baru jam 10 malam.”

“Memang ada yang berubah di kampung ini sejak beberapa tahun belakangan. Bahkan seingat bapak, setelah kembali dari Jawa, setelah mengantarmu dulu, kampung ini sudah berubah.”

“Apa yang berubah, Pak?”

“Banyak yang berubah. Ini semua gara-gara emas hitam!”

“Emas hitam? Batu bara maksudnya?”

“Begitulah.”

“Dari yang saya baca di berbagai media, kecamatan kita ini memang berlimpah batu baranya. Bukankah ini harusnya membuat sejahtera warga di sini, Pak?”

“Entahlah. Petaka justru yang lebih banyak datang kepada warga.”

“Petaka? Maksud Bapak?”

“Ini bermula pada 2008, saat didirikannya perusahaan batu bara dan beroperasi melakukan penambangan di sini. Pemasok pembangkit listrik dalam industri semen atau industri besar lainnya, serta kepentingan ekspor batu bara ke Jepang, Taiwan, Hong Kong, Malaysia, Thailand, Filipina, hingga Tiongkok, maka perusahaan ini terus meningkatkan produksinya hingga 7 juta ton per tahun.”

“Wahh… banyak sekali. Bukankah seharusnya warga di sini yang paling diuntungkan dan menjadi sejahtera, Pak?”

Baca juga  Rendang Batak Umak

“Justru sebaliknya. Penderitaan warga semakin meningkat. Terlebih saat ini perusahaan telah memperoleh izin konsesi lahan mencapai 2.990 hektare dan itu pun izinnya akan berlaku hingga 2017.”

“Saya tidak habis pikir tentang hal ini. Jika bukan kesejahteraan, lantas apa dampak negatif yang dirasakan warga, Pak?”

“Tidakkah kamu lihat sendiri saat datang tadi? Jalanan kampung banyak yang rusak karena dilintasi truk-truk bertonase besar. Tidakkah kamu lihat, bahwa sumur yang dulu ada di belakang rumah, kering dan sudah tidak terpakai? Kini sebagian besar warga menggunakan air PDAM yang otomatis akan menjadi pengeluaran tambahan bagi setiap keluarga. Padahal dulu, air di sini berlimpah dan gratis. Belum lagi ladang dan sawah yang tak menghasilkan panen berlimpah karena tercemar limbah. Belum lagi, penyakit ISPA akibat debu tambang dan gatal-gatal karena limbah cairan tambang yang mulai mengontaminasi air sungai.”

“Wahh, sebegitu parahnya dampak dari penambangan perusahaan ini ya, Pak? Tak adakah upaya pemerintah membantu warga terkait hal ini?”

“Warga sudah berupaya menuntut ke perusahaan. Justru intimidasi balik yang diterima.”

“Kalau begitu, warga kan bisa membuat laporan pengaduan ke pemerintah daerah atau ke aparat keamanan terkait hal ini, Pak?”

“Apa yang bisa kami harapkan? Yang terjadi saat ini, justru aktivitas perusahaan ini semakin masif. Jarak antara bukaan tepi lubang tambang dengan permukiman terdekat, khususnya di RT 07, kini hanya berjarak sekitar 300 meter.”

“Kenapa Bapak bisa tahu ini semua? Bukankah bapak hanya warga biasa di sini? Bukan pengurus RT atau RW bahkan?”

“Nurani yang menggerakkan, Le. Bapakmu dan beberapa warga masih berusaha menuntut keadilan. Ini tanah adalah warisan untuk kamu dan anak cucu. Apa yang bisa kami wariskan jika tempat tanah yang didiami kini pelan-pelan hilang.”

“Apa yang Bapak lakukan bersama warga bukannya berbahaya, Pak? Sepadankah dengan risikonya?”

“Pilihan dalam hidup memang selalu punya risiko. Pada 8 April 2021, warga melakukan aksi protes dan demonstrasi ke kantor gubernur dengan melakukan aksi mandi lumpur di depan kantor tersebut.”

“Iya, Pak. Saya tahu karena saya sempat membacanya di salah satu media online. Hasilnya?”

“Sebagian warga yang turut protes waktu itu, kini semakin sedikit yang berani terlibat. Entah karena lelah berjuang atau takut akan adanya intimidasi.”

“Kalau Bapak sendiri bagaimana?”

“Le, meskipun leluhur kita dulu adalah orang Jawa, tetapi kita sudah lama hidup di sini. Apa yang kita makan dan minum adalah berkah dari tanah di Kalimantan ini. Bagaimanapun, kita telah menjadi bagian dari tanah Kalimantan ini. Tak ada bedanya!”

Baca juga  Lorong Sunyi

“Iya, Pak.”

Mustari memandang lekat wajah bapaknya. Meski menua, tapi guratan di wajahnya masih menunjukkan bahwa bapaknya adalah seorang petarung sejati. Sama persis mungkin ketika puluhan tahun yang lalu memutuskan hijrah dari tanah Jawa bersama istri yang baru tiga bulan dinikahinya.

“Sudah ya, Le. Bapak mau istirahat dulu. Besok pagi setelah menengok ladang, Bapak dengan beberapa warga mau lapor ke polsek terkait limbah tambang yang kembali mengalir ke sungai dan mencemari tanaman warga.”

“Besok saya ikut ya, Pak?”

“Sebaiknya tidak usah. Lagi pula kamu baru datang. Kamu temani ibumu saja di rumah. Risikonya besar. Bisa-bisa kamu juga akan dituduh dan ditandai sebagai provokator sehingga warga pada berani protes. Biar Bapak saja.”

Mustari terdiam.

“Sebentar lagi sepertinya akan turun hujan deras. Biasanya akan ada beberapa karyawan perusahaan yang ditugaskan untuk berkeliling ke rumah-rumah warga untuk memberi tahu tentang risiko datangnya banjir. Bapak masuk dulu ya. Kamu jangan terlalu larut begadangnya.”

“Iya, Pak. Sebentar lagi,” jawab Mustari.

Setelah bapaknya masuk rumah, Mustari mengeluarkan kotak tembakaunya. Ia mulai melinting persis saat hujan mulai turun.

“Pas sudah. Ini rokok terakhir yang kuisap sebelum tidur,” ucap Mustari sambil menyalakan rokoknya.

Diisapnya rokok dengan tembakau Temanggung kesukaannya. Asap bergulung mengepul keluar dari mulutnya. Saat asap rokok yang diembuskan memudar, dilihatnya dua sosok datang menghampiri dengan menggunakan jas hujan gelap menembus hujan. Mustari menduga bahwa dua orang ini pastilah petugas yang akan memberi tahu soal potensi banjir yang akan terjadi seperti yang disampaikan bapaknya barusan. Mustari tersenyum bangkit hendak menyambut tamunya.

“Rumah Bapak Salim, ya?” ujar salah seorang dari mereka.

“Bapakku terkenal betul rupanya,” batin Mustari. Dia mengangguk sambil tersenyum.

Kilatan petir menyambar disertai bunyi dentuman, saat salah seorang dari mereka mengeluarkan sebilah pisau dan menghunjamkan ke tubuh Mustari. Mustari limbung lalu jatuh bersimbah darah. Ia hanya melihat dua orang berjas hujan tersebut kabur menerobos hujan deras sebelum pandangannya kabur dan menjadi gelap. ***

.

.

*) Cerpen ini terinspirasi berdasarkan Laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur 2022 yang berjudul Dari Wisata Juang Menuju Kota Limbah Tambang.

.

.

Endry Sulistyo. Penulis kelahiran Jogjakarta yang kini bergiat di Komunitas TerAksara dan Komunitas Sejangkauan Tangan Indonesia.

.
99. 99. 99. 99. 99. 99. 99. 99.

Loading

Average rating 4.4 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Menurut saya, Cerita ini menggambarkan suasana kampung yang sepi, tempat diamana Mustari kembali setelah sepuluh tahun pergi. Kemudian Kedua orang tuanya sudah tidur setelah seharian bekerja di ladang. Mustari duduk di teras, ditemani segelas kopi dan makanan buatan ibunya, serta lintingan tembakau dari Jawa yang ia hisap sesuatu yang diwarisi dari bapaknya, pecinta tembakau Temanggung. Dalam suasana mendung yang membuat sinyal ponsel sulit diakses, ia merenungkan betapa kampung halamannya masih sama sunyinya seperti saat ia tinggalkan dulu. Lalu mustari duduk di teras rumahnya pada malam hari, membiarkan bapak dan ibunya beristirahat setelah seharian bekerja di ladang. Ditemani secangkir kopi dan camilan buatan ibunya, ia merenungkan kampung halamannya yang tetap sepi, sama seperti saat ia meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Ia mengisap lintingan tembakau yang dibawanya dari Jawa, mengenang bahwa bapaknya selalu menyukai tembakau dari Temanggung, warisan dari leluhur mereka.

  2. Bobi Anika

    Cerpen tersebut bisa menginspirasikan kita bahwasanya pentingnya menjaga kelestarian suatu Desa atau suatu Daerah karna karna itu semua Aset berharga yang bisa kita nikmati berkelanjutan hingga anak cucu nanti, dan dari cerpen itu juga saya melihat tadi ada insiden terakhir yakni salah satu tokoh di cerpen tersebut yang bernama Mustari yang menjadi korban penusukan oleh dua sosok orang misterius dan disini setelah penusukan itu tidak ada alurnya yng akan terjadi setelah dua orng tersebut pergi dari TKP

Leave a Reply

error: Content is protected !!