Cerpen Jaya Arjuna (Waspada, 25 Juni 2023)
“UDIN Kuriak mengamuk lagi. Dia tidak terima dituduh korupsi. Dia akan mengadukan kita ke polisi,” begitu katanya pada kawan-kawan yang menyambutnya di luar kamar kerjaku.
Aku masih sempat mendengar ocehannya yang menyakitkan itu. Aku memang mengancam mereka yang berani menuduhku korupsi. Tapi yang membuatku marah bukan tuduhan korupsi itu. Kalau masalah tuduhan korupsi, aku berani jamin tidak akan berpengaruh terhadap jabatan maupun kredibilitasku sebagai pejabat. Tokoh anti korupsi yang punya hubungan baik dengan seluruh petinggi negara ini adalah sepupuku. Bahkan beberapa pengacara kondang di negeri ini masih kerabatku. Seluruh petinggi penegakan hukum di daerah kenalan baikku. Paling tidak mereka punya kepentingan dengan aku. Mereka pernah makan budi-baikku.
Tidak akan ada satu lembaga penegakan hukum pun yang akan memproses laporan perilaku korupku. Yang jadi masalah, aku paling benci dikatakan Udin Kuriak. Awalnya aku menganggap biasa saja dengan gelar Udin Kuriak yang mereka tabalkan pada namaku. Ternyata Udin Kuriak nama candaan bagi mereka. Udin Kuriak menyatakan bahwa aku manusia munafik penuh koreng dan kudis yang kusembunyikan di balik penampilan baikku. Aku jadi meradang.
Kalau dalam pertandingan persahabatan sepak bola aku mencetak gol, maka komentar mereka jadi ramai di media sosial.
“Hoi, hari ini Udin Kuriak mencetak gol. Kesebelasan mereka menang telak atas lawannya.” Yang lain mengacungkan jempol. Ada yang komentar; “Kalau dia tidak bisa menggolkan, anak buahnya bisa dipecat semua. Baik kawan maupun lawan kan anak buahnya semua. Cari rezeki tambahan dari kekuasaannya. Mereka aturlah permainannya. Pura-pura serius. Bola disodorkan, back tidak berani menghalang dan kiper nggak mau nangkap. Gol.”
Puluhan komentar yang sangat menyakitkan hatiku dilontarkan mereka. Biasanya tanggapan akan berhenti bila sudah ada komentar berbunyi; “Dasar Udin Kuriak, munafik tengik.”
Polanya sama untuk penulisan postingan yang menyebutku Udin Kuriak. Sialan memang. Mereka sudah berkali-kali aku pukul. Berbagai kebijakan yang kukeluarkan selalu merugikan mereka. Mereka cuma menanggapinya dengan tertawa. Mereka bahkan menjuluki aku sebagai paranoid, karena sudah sampai pada taraf sakit hati bila melihat orang lain tidak menderita. Mereka yakin aku akan lebih menderita bila masa kekuasaanku berakhir.
“Udin Kuriak, sampai berapa lama kau berkuasa. Hilang jabatan, matilah kau. Anak buahmu pasti mulai engkar dan hengkang satu persatu. Di situ baru kau rasakan jadi macan ompong yang mengaum sekeras apupun akan jadi tertawaan orang. Makin banyak cakap kau, makin lucu kata orang.”
Berakhirnya jabatan memang hal yang menakutkan bagiku. Puluhan tahun berkuasa, tiba-tiba kehilangan kekuasaan adalah hal yang tak bisa kubayangkan. Pada waktu serah terima, berbagai kata pujian keberhasilan disanjungkan. Namun hatiku teriris waktu mendengar mereka saling berbisik; “Habislah si Udin Kuriak. Rusak sistem di kantor ini karena keserakahannya dengan kekuasaan. Rusak sistem regenerasi dan rusak moral semua karyawan digerogotinya dengan korupsi.”
Satu bulan setelah penyerahaan jabatan, aku merasakan mulai banyak yang risih melihat aku masih ke kantor. Penggantiku memang mengangkat aku sebagai penasehat. Aku disiapkan ruangan yang kondisinya sama dengan ruanganku dulu. Ternyata kondisi itu akhirnya lebih menyakitkan. Anak buah yang dulunya tidak begitu suka denganku, sekarang lalu lalang saja tanpa sedikit pun melengong ke ruanganku. Bagi yang banyak berutang budi, sesekali melihat ke ruanganku sebelum masuk ke ruang penggantiku. Bahkan ada yang coba menyelinap diam-diam agar tidak terlihat olehku. Kalau dulu ruanganku selalu ramai sebagai tempat pertemuan makan siang, sekarang sudah mulai jarang yang datang. Dulu aku memang menyediakan makan siang untuk kalangan terdekat. Forum silaturahmi melalui kebutuhan paling mendasar istilah mereka. Penggantiku tidak mau melanjutkan. “Masing-masing sudah diberikan uang pengganti makan siang, tidak layak lagi mendapatkan makan siang yang disediakan kantor,” katanya.
Pelan namun pasti, perubahan terjadi terus. Orang mulai membandingkan kebijakanku dulu dengan penggantiku. Hampir tidak ada lagi yang menghargai kerjaku, karena semua seakan sepakat memuji kebijakan pimpinan baru. Lebih transparan, lebih tertata, lebih dapat dipertanggungjawabkan, lebih adil, lebih manusiawi dan berbagai kelebihan lain. Padahal kebijakanku itulah yang telah memperkaya mereka. Aku bahkan mendengar kasak-kusuk bahwa pimpinan yang baru mulai akan mempereteli fasilitas yang selama ini masih kumanfaatkan. Apa berani dia berbuat begitu terhadap aku yang telah mempersiapkan segalanya untuk mulusnya dia menduduki jabatan sekarang?
Akhirnya saat itu memang datang juga. Pertama, mereka mulai memotong honor yang rutin aku terima selama ini setelah pensiun.
“Maaf pak, ini honor bulan terakhir yang Bapak terima. Bulan depan sudah diputus Pak,” begitu kata Kifli yang tampaknya sangat ketakutan menyodorkan daftar honor yang harus kutandatangani. Aku memang tidak pernah mendatangi Bendahara untuk mengambil honorku. Mereka yang biasanya datang ke ruanganku membawa uang dan berkas yang harus aku tandatangani.
“Mengapa begitu?” Tanyaku pura-pura tak mengerti.
“Kata pimpinan, Bapak sudah pensiun. Jadi tidak bisa lagi menerima honor.”
Aku sebenarnya bukan mempermasalahkan jumlah honor yang aku terima. Tabungan dan depositoku sudah sangat lebih dari cukup. Ini masalah harga diri. Tampaknya ketersinggunganku sudah diprediksi mereka. Hari itu semua menghindar, tidak ada yang berani memperlihatkan muka di hadapanku. Penggantiku sedang keluar negeri. Aku tidak tahu mau marah sama siapa. Bahkan Surono, bekas bawahanku yang biasanya paling patuh terhadap apapun yang kukatakan, mulai buang badan.
“Saya tidak tahu pak, semuanya diputuskan tanpa konsultasi dengan kami. Kalau dibicarakan terlebih dahulu, tentu saya akan minta pendapat Bapak.” Inilah hebatnya Surono yang kukatagorikan sebagai penjilat nomor satu. Pada saat terjepit pun dia masih bisa menyenangkan hatiku dengan menyalahkan atasan yang baru.
Kemarahanku sebenarnya tidak perlu memuncak kalau ada yang datang dan menyampaikan masalahnya dengan baik. Karena semuanya mengelak, aku menganggapnya sebagai penghinaan. Setiap yang aku telepon, nomornya dialihkan atau tidak diangkat. Bahkan SMS-ku pun ditolak.
Dengan membawa kemarahan yang tidak tersalurkan, aku kembali ke rumah. Tidak seperti biasanya, kali ini yang membukakan pintu bukan istriku. Aku merasakan ada kejanggalan. Tanpa berkata apapun, aku langsung ke kamar. Isteriku terlihat menangis di tempat tidur sambil memegang selembar kertas. Begitu rapuhnya dia. Sekarang aku baru menyadari bahwa semua masalah yang dihadapinya ternyata diselesaikan dengan tangis.
Kesibukan dengan pekerjaan hingga tengah malam, membuat aku melupakan orang yang selama ini kehilangan tempat berbagai rasa duka denganku. Aku hanya melihat dia berbagi rasa suka dengan isteri bawahanku. Dia diperlakukan bagai ratu. Semuanya berlaku baik karena berharap suami mereka kuperhatikan. Aku tak tahu bahwa di kelompok isteri bawahan pun ada juga kepura-puraan. Aku tahu pasti isteriku tidak suka dengan kepura-puraan orang lain, walau dia sendiri tetap pura-pura bahagia denganku.
Dari rasa marah, aku jatuh ke perasaan iba dan penyesalan. Iba karena isteriku cukup banyak menerima masalah yang tidak pernah kutahu dengan jabatan yang kusandang dan tingkahku sebagai orang yang berkuasa. Aku mulai menyesal karena membiarkan dia menyelesaikan masalahnya sendiri, termasuk dalam membesarkan anak-anak. Aku hanya tahu mencukupi mereka dengan materi, padahal mereka juga butuh perhatian, kasih sayang dan reputasi baik orangtuanya.
Aku duduk di pinggir tempat tidur. Isteriku berbalik dan tanpa berkata sepatahpun menyerahkan kertas yang di tangannya padaku. Dia tetap memeluk bantal untuk menutup mukanya. Kepalanya sudah menyandar di pahaku. Diam. Aku segera mengambil kertas yang disodorkannya. Surat dari anakku. Isinya ringkas saja. “Maafkan kami. Aku selama ini dilimpahi harta tanpa perhatian dan curahan cinta serta kasih sayang. Aku akan mulai hidup dengan cinta dan kasih sayang. Aku akan kawin dengan orang yang kucintai. Bila Allah menghendaki, kami pasti dihidupinya dengan rezeki yang halal. Mohon kemaafan dan doa restu. Ananda.”
Sesederhana itu anakku menyelesaikan masalahnya. Tidak diterima calon yang diajukannya, lalu lari kawin. Dia tidak memikirkan bagaimana malunya aku dengan kelakuannya itu. Memang selama ini aku tidak menyukai lelaki yang diperkenalkan padaku sebagai pacarnya. Beberapa anak buahku menyampaikan informasi yang kurang menyenangkan dari lelaki itu. Kurasa wajar kalau aku menginginkan menantu yang sempurna.
Tiba-tiba kemarahanku memuncak lagi. Memang selama ini aku dikenal sebagai orang yang suka meledak-ledak. Kemarahanku bisa datang tiba-tiba. Semua bawahanku tahu itu. Mereka semampu mungkin mencoba mendinginkan kemarahanku dengan mengikuti setiap apa yang kukatakan. Aku bahkan berkali-kali pernah pura-pura marah. Aku senang melihat ketakutan mereka. Tampaknya hal ini menjadi kebiasaan bagiku.
Sekarang aku tidak tahu mesti marah kepada siapa. Yang ada di kamar hanya aku dan isteriku. Dia masih menangis di balik bantalnya. Aku tidak mungkin menumpahkan kemarahanku pada isteriku. Juga tidak pada bawahanku, karena aku tidak berkuasa lagi. Tidak punya bawahan lagi. Pedih sekali. Akhirnya aku hanya terdiam menatap dinding kosong. Lama. Jauh sekali. Gelap. Aku bahkan tidak sadar sewaktu isteriku menguncang badanku.
Aku melihat banyak sekali orang di kamarku. Satu persatu mereka keluar masuk kamar. Ada juga yang berpakaian putih masuk membawa kereta dorong. Tubuhku dipindahkan. Isteriku menangis mengikuti tubuhku digotong keluar kamar dan langsung masuk ambulans. Aku dimasukkan ke dalam ruangan yang penuh peralatan medis dan elektronis. Berbagai alat dan kabel-kabel disambungkan pada tubuhku. Aku diam. Isteriku masih menangis di sampingku. Kulit tangan dan badanku terasa gatal. Panas. Kurasa mulai timbul bintil merah. Ingin sekali aku menggaruknya, tetapi tanganku tak bisa kugerakkan sama sekali. Aku coba menggeliat dan berusaha minta isteriku untuk menggaruk tangan dan badanku. Aku berteriak sekuatnya. Isteriku diam saja. Ternyata isteriku tak mendengar suaraku, tapi dia tahu aku gelisah dan butuh pertolongan. Dia menatap mataku. Mata yang sudah lama tidak kutatap karena aku terlalu sibuk dengan kekuasaan dan sanjungan orang-orang yang memagari kekuasaanku.
Kulihat beberapa orang memasuki ruangan kamarku. Bekas bawahanku semua. Aku pandangi mereka satu persatu. Mereka menyalami isteriku, turut berduka dan atas serangan penyakit yang aku alami. Tapi aku tahu dalam hati mereka tidak ada yang tulus. Aku mendengar mereka saling berbisik.
“Tak sanggup dia menerima tantangan keadaan,” kata Awin.
“Ya, terlalu bertubi-tubi. Baru saja jabatannya diserahterimakan, kalian hentikan pula honornya. Belum hilang terkejut badannya, anaknya pula yang buat masalah,” komentar Daril.
Yusuf yang selama ini pendiam mulai berani bicara meningkah kata-kata Daril. “Kurasa karena selama ini kehendaknya tidak pernah dihalangi. Tak pernah ada yang berani membantahnya.”
“Macam mana mau membantah, naik berangnya, bepungkahan rezeki awak,” kata Surono meningkahinya.
“Kalau stroke begini, tak ada harapan baik lagi. Berdoa sajalah,” kata Badin coba menutup komentar yang mulai lepas kendali. Tampaknya dia takut kalau masing-masing mulai buang badan dan mengeluarkan komentar yang tidak menyenangkan. Walaupun menurut mereka aku pasti tidak mendengar, tapi kata-kata mencerca itu akan menyakiti hati keluargaku.
Kulitku mulai melepuh. Kurasakan ada bisul yang tumbuh dan makin membesar. Gatal dan juga panas sekali. Ada darah dan nanah. Tiba-tiba aku melihat dari dalam bisulku ada wajah Warman yang pernah aku zalimi. Pangkatnya aku tahan karena dia menyinggung perasaanku. Aku menganggap Warman tidak memiliki rasa homat pada aku sebagai atasannya. Warman menggeliat untuk keluar dengan merobek kulitku. Sakitnya luar biasa. Aku menjerit bersamaan dengan tumpahan darah dan nanah. Setelah keluar, Warman kulihat berjalan dengan tersenyum dan berkata padaku, “Setiap kau mendzalimi orang, maka lukamu akan bertambah parah. Kau sudah menciderai nuranimu sendiri yang selama ini diberi didikan agama oleh orang tuamu.”
Aku hanya terdiam karena bekas luka itu kurasakan masih pedih. Bisul-bisul timbul satu persatu. Membesar dan kemudian pecah. Setiap orang yang kuzalimi, akan keluar dari bisul yang muncul dan kemudian pecah. Sakitnya luar biasa. Jeritan-jeritanku hanya bisa kuteriakkan sendiri. Tidak ada yang mendengar, walau mereka berkumpul dalam ruangan kamarku.
Bukan hanya kedzaliman. Perbuatan kepura-puraanku juga muncul dalam bentuk kudis yang gatalnya bukan main. Satu kasus, muncul dari satu bisul yang pecah. Penderitaanku semakin tak berhenti.
“Udin kuriak stroke. Udin lebih percaya sama informasi anak buahnya dari kata hati anaknya.”
Mereka Saling berbicara yang sepenuhnya menyakiti hatiku. Kurik, koreng dan kudisku pecah satu persatu. Yang merasa dapat keuntungan tidak ada yang bersyukur, karena mereka telah membayar dengan kepatuhan, termasuk menjalankan dan menyembunyikan kejahatanku. Kata mereka, bahagian mereka hanya sebagian kecil dari yang aku nikmati.
Aku melolong mendengar komentar mereka. Tapi tidak ada yang mendengarkan. Aku dikatakan tidak punya harapan lagi. Berdoa sajalah, dan jadikan sebagai contoh untuk tidak berbuat serupa. Aku mau minta maaf pada yang kudzalimi. Tapi aku tidak tahu mulai dari mana. Terlalu banyak korbanku.
Di luar ruangan, aku bisa melihat bekas anak buahku bergerombol. Mereka berkerumun mengelilingi Rinto yang kemungkinan saat ini ditugaskan menggantikanku sementara.
“Bagaimana laporan kita, apa sudah selesai kau perbaiki,” tanya Rinto pada Ucok yang mengelola administrasi.
“Sudah, Bang, sudah tak ada masalah lagi.”
“Eh, coba kau tambahkan dalam laporanmu proyek yang terbengkalai itu. Kan masih di tangan beliau itu. Buat saja sudah selesai dan uangnya kau tambahkan dalam laporan?”
“Tapi kan bukan tanggungjawab beliau, Bang,” tingkah Rinto.
“Pandai-pandai kaulah membuatnya. Kan dia tidak mungkin lagi dimintai pertanggungjawaban. Dari segi hukum akan bebas. Mana yang mungkin, bebankan saja pada laporannya.”
“Gampanglah itu, Bang, kurasa banyak juga angkanya yang bisa kita selamatkan,” katanya sambil tertawa.
Kurang ajar. Mereka membebankan semua tanggungjawab sama aku. Padahal aku tak tahu menahu dengan proyek itu. Aku meradang. Berteriak. Memaki. Sakit sekali memang dikhianati oleh orang yang sudah dipercaya. Tapi tak ada yang mendengarkan teriakanku. Aku melihat tubuhku masih tergolek didampingi istriku. Anakku tak ada yang tampak.
Seseorang kulihat mendatangi isteriku dan menyodorkan sebuah amplop surat. Isteriku segera membuka dan membaca. Tangisnya merebak. Dalam sekali. Aku melihat surat itu. “Mama, aku tak bisa datang. Untuk minta maaf sama Papa tak ada gunanya. Tak mungkin. Papa ‘kan tidak sadar. Papa ‘kan juga tidak pernah minta maaf karena telah menyakiti hatiku. Papa juga tidak pernah minta maaf, walau setiap hari menyakiti hati Mama. Menyia-nyiakan Mama. Gunjingan orang tentang tingkah Papa terus-menerus menyakiti hatiku. Makanya aku menjauh. Udah, Ma. Maafkan aku, Ma.”
Waduh, patutlah isteriku diam. Terlalu dalam sakitnya. Aku merasakan semua bagian tubuhku menggelegak. Aku lihat tubuhku berkali-kali menggeliat. Isteriku hanya terdiam. Orang-orang yang berkerumun di sekeliling tempat tidurku mulai bubar. Dokter dan perawat mengeliling tubuhku. Memasang semua peralatan yang mereka punya.
Dokter memandang pada isteriku. Para perawat juga. Akhirnya mereka berlalu setelah menutup wajahku. Di selasar, aku melihat mereka berkumpul. Satu-satu masuk ke ruangan. Wajah mereka tak jelas antara sedih dan gembira. Namun tiap mulut mulai menggemakan; Udin Kuriak meninggal. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…. ***
.
.
Leave a Reply