Cerpen, Media Indonesia, Risen Dhawuh Abdullah

Biografi Kesetiaan

Biografi Kesetiaan - Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Biografi Kesetiaan ilustrasi Budi Setyo Widodo (Tiyok)/Media Indonesia

3
(1)

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah (Media Indonesia, 30 Juli 2023)

PAGI itu, ketika segala aktivitas baru akan dimulai, Gondek yang sudah bangun dari tidur dan sedang berdiri di depan rumah, dikagetkan dengan kemunculan dua orang berpakaian hitam mengenakan penutup wajah secara tibatiba. Mereka menodong Gondek dengan pedang yang dipegang masing-masing, sembari mengancam supaya tidak berteriak.

Lalu datang dua orang lainnya. Kedua orang yang baru saja muncul membungkam mulut Gondek. Tangan Gondek tidak dapat bergerak. Tangannya diikat menggunakan tali. Gondek tidak mungkin memberontak, sebab bila hal itu ia lakukan, sebilah pedang akan menebas lehernya—salah satu dari keempat orang itu memang telah mengancam demikian. Ia dibawa menuju sebuah tempat, di tengah hutan, jauh dari permukiman penduduk.

Mata Gondek disuguhi pemandangan sekumpulan orang berpakaian layaknya orang kampung seperti dirinya, sedang duduk dengan kepala menunduk. Gondek menduga orang-orang itu juga diculik sama seperti dirinya. Gondek didorong ke arah kumpulan orang itu dan disuruh untuk duduk sebagaimana mereka. Tidak ada jalan lain, selain menuruti. Ia takut, jika tidak menuruti, kepalanya akan terpisah dari badan.

Tentu Gondek tidak mengetahui, tujuan orang-orang berpakaian hitam itu menculik orang-orang. Maka Gondek berinisiatif untuk bertanya kepada seorang lelaki tua yang duduk di sampingnya.

“Kau tahu, apa tujuan mereka menculik kita dan membawanya kemari?” tanya Gondek. Kepalanya sedikit ia miringkan ke kanan, ke arah lelaki tua itu.

“Kita akan dijadikan alat untuk memberontak terhadap pemerintahan Majapahit. Mereka orang-orang Kediri,” jawab lelaki tua itu.

“Apa yang kalian bicarakan?” Terdengar teriakan. Suara itu berasal dari salah satu orang berpakaian hitam yang berjaga tidak jauh dari Gondek dan lelaki tua itu.

Cepat-cepat Gondek memalingkan mukanya, menghadap ke tanah yang dipenuhi daun-daun kering. Wajah istri dan anaknya berkelebat. Hening. Gondek tidak berani menatap orang berpakaian hitam yang baru saja berbicara. Beruntung orang itu tidak mendekat pada Gondek dan lelaki tua itu. Sesaat kemudian Gondek melirik ke kanan dan ke kiri. Banyak juga orang-orang yang diculik, batinnya. Ia menjadi teringat dengan kabar-kabar beberapa hari terakhir yang hinggap di telinganya, perihal penduduk yang tinggal dekat Kotaraja yang hilang mendadak. Ternyata hilangnya penduduk digunakan untuk kepentingan pemberontakan.

Baca juga  Bulan Memancar

Gondek tiba-tiba teringat dengan istri dan anaknya. Hatinya tidak tenang. Khawatir memeluknya. Meski terus memohon kepada Dewata agar mereka berdua tidak diculik seperti dirinya, tetapi ia tetap saja membayangkan kemungkinan yang tidak mengenakkan.

Majapahit belum lama berdiri. Orang-orang Jayakatwang masih banyak yang berkeliaran, dan tentu saja berusaha mendirikan kembali Kediri. Dari istana sendiri, pembersihan orang-orang Kediri terus gencar dilakukan, meskipun cukup sulit melacak keberadaan mereka. Orang-orang Kediri telah berbaur dengan rakyat Majapahit. Tapi orang istana selalu punya cara untuk menemukan mereka. Orang Kediri yang mau tunduk kepada Majapahit akan selamat dari hukuman mati. Tetapi ada juga yang setia kepada Kediri meskipun nyawa menjadi taruhannya.

Kekuasaan memang mengerikan. Pertumpahan darah begitu menjadikan nyawa tidak berharga.

“Jika Kediri kembali berdiri, kalian dijamin tidak akan hidup sengsara. Tidak seperti sekarang! Mana kerja raja kalian? Mereka, orang-orang istana hanya memikirkan diri sendiri!”

Gondek tidak mau menatap ke arah datangnya suara itu.

“Dulu, Prabu Jayakatwang tidak pernah membiarkan rakyatnya telantar!”

Pemerintahan baru beberapa pekan berdiri, pikir Gondek. Mana mungkin langsung mengalami perubahan di segala hal, pikirnya lagi. Sedangkan di masa pemerintahan Prabu Jayakatwang, Gondek tidak merasakan seperti apa yang ia dengar. Gondek yakin, Prabu Kertarajasa tidak seburuk yang ada dalam pikiran-pikiran orang-orang berpakaian hitam itu, yang ia duga, pembesar kerajaan dan bekas prajurit Kediri.

Kata-kata untuk memengaruhi terus dikeluarkan, supaya berkhianat. Kata-kata berupa kejelekan-kejelekan Prabu Kertarajasa beserta janji-janji manis apabila Kediri kembali berdiri terus terdengar.

“Maka dari itu, untuk mewujudkan Kediri kembali berdiri, kalian akan dilatih ilmu bela diri. Kita akan bersama-sama menghancurkan Majapahit. Kita akan membalaskan kematian Prabu Jayakatwang!”

Gondek langsung bergidik membayangkan seandainya dirinya dilatih ilmu bela diri untuk disiapkan sebagai pasukan perang meruntuhkan Majapahit. Tajamnya pedang, runcingnya tombak, tidak ketinggalan pula anak panah yang melesat telah tergambar di benaknya. Ia melihat senjata-senjata itu berlumur+an darah. Gondek mengandaikan apabila ia benar ikut ke dalam pasukan, dan senjata yang dikuasainya berhasil membunuh lawan yang sedang ia hadapi.

Baca juga  Cinta Absurd di Sekitar Yamato dan Kematian Mallaby

Gondek mengangkat sedikit kepalanya. Orang-orang berpakaian hitam itu berkumpul, membentuk setengah lingkaran, dan membelakangi tawanan. Mereka sedang merundingkan sesuatu, entah apa. Gondek menoleh ke belakang. Tidak ada orang yang berjaga. Gondek ingin terlepas dari orang-orang itu. Ia mempunyai gagasan untuk enyah. Hanya saja ia ragu-ragu karena tangannya terikat, membuatnya tidak leluasa untuk bergerak. Namun, keraguan itu sirna saat ia kembali teringat dengan anak dan istrinya. Semangat membara di dadanya. Gondek pun melaksanakan gagasannya. Kalau pun kemudian tidak berhasil, ia sudah siap menghadapi segala risikonya, biarpun harus mati sekalipun.

Gondek mengubah posisinya dari duduk menjadi jongkok. Ia bergerak mundur dengan perlahan. Saat ia mendapat delapan langkah, ia berdiri. Secepat kilat Gondek berlari. Teriakan-teriakan hinggap di pendengarannya. Lari Gondek semakin cepat, seakan tenaganya justru bertambah. Sesekali ia melompat.

Permukiman masih jauh. Sesaat kemudian lari Gondek mulai melambat. Tenaganya terkuras. Ia sudah cukup jauh berlari. Langkahnya kemudian benar-benar terhenti di bawah pohon klengkeng dengan ukuran batang lima kali tubuhnya. Gondek berusaha keras melepas tali yang mengikat dua tangannya. Tali itu pun akhirnya lepas setelah ia terus mencoba untuk melepaskannya. Gondek tidak henti-hentinya memanjatkan syukur kepada Dewata.

Suara langkah kaki mendekat. Gondek berlari dengan tenaga yang tersisa. Terdengar suara yang memerintahkan dirinya untuk berhenti. Gondek tidak menghentikan langkahnya.

Gondek lantas berjalan membungkuk, manakala hampir tiba di permukiman penduduk. Perutnya seperti ditusuk-tusuk benda runcing. Kerut di sekitar bola matanya tampak menegang. Ia berharap orang-orang Kediri itu tidak mengejarnya lagi. Dan, harapan itu terkabul hingga ia sampai rumah. Istri dan anak lelaki satu-satunya yang berusia tujuh tahun tidak menyambut kedatangannya. Gondek mencari ke dapur, ke kamar tidurnya. Tidak ada. Ia keluar rumah. Rasa gelisah dan khawatir semakin besar.

Gondek bertanya kepada tetangga-tetangganya. Tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaan mereka.

“Ke mana mereka? Apa benar mereka diculik?” tanya Gondek, duduk di depan rumahnya dengan tatapan tidak tenang.

Baca juga  Perempuan Kunang-kunang

Gondek berupaya menghilangkan pikiran itu, menggantinya dengan kemungkinan lain. “Bisa jadi mereka mencariku ke tempat-tempat saudaranya yang jaraknya cukup jauh sehingga wajar kalau belum pulang. Perjalanan membutuhkan waktu lama.”

Tetapi kemungkinan-kemungkinan yang ia ciptakan tidak dapat membuat sirna dugaan diculik. Gondek beranjak dari duduknya, ia berjalan menuju pintu rumah. Begitu ia akan membuka pintu, terdengar teriakan seorang perempuan memekikkan telinganya.

“Dari mana kalian?” tanya Gondek dengan penuh kelegaan.

Wajah istrinya tampak senang. Begitu pula dengan anaknya. Pandangan Gondek tak sengaja mengarah ke tangan kanan istrinya yang menggenggam buntalan kain.

“Apa itu?” tanya Gondek penasaran.

“Kepeng, Kakang,” kata istrinya sambil membuka buntalan kain.

“Dari mana kau dapatkan?”

“Dari orang-orang yang mengaku setia dengan Prabu Jayakatwang, Kakang. Mereka memberi aku kepeng, asalkan mau tunduk kepada mereka, dan kakang harus mau bergabung dengan mereka. Kita tidak perlu peduli dengan sebutan pengkhianat. Kapan lagi kita mempunyai kepeng sebanyak ini? Bukan begitu, Kakang? Kakang tidak keberatan bukan jika tunduk dengan Kediri?” ujar istri Gondek.

Gondek pun langsung merebut buntalan itu dan membantingnya. Kepeng-kepeng itu tercecer.

“Kembalikan semua kepeng ini! Aku tidak mau menjadi pengkhianat! Jasa Prabu Kertarajasa sudah begitu besar kepada kita, kepada penduduk Majapahit!” Gondek pun berlalu dengan wajah merah padam.

Kemudian ia kembali menghampiri istrinya.

“Lebih baik aku mati daripada aku hidup menjadi pengkhianat! Aku tidak rela, tanah kita Majapahit direbut oleh antek Jayakatwang!” ***

.

.

Pleret 2020-2023.

Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Universitas Ahmad Dahlan 2021 ini pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Ia merupakan alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen, dan anggota komunitas Jejak Imaji. Penulis kini bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risendhawuhabdullah.

.
Biografi Kesetiaan. Biografi Kesetiaan. Biografi Kesetiaan. Biografi Kesetiaan. Biografi Kesetiaan.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!