Cerpen Paskalis Endot (Media Indonesia, 13 Agustus 2023)
HIDUP memang selalu sederhana bagi Om Lukas. Untuk petani seperti dirinya, impian tak pernah muluk, selain turun hujan, tanaman yang sehat, dan panenan yang cukup untuk kebutuhan keluarganya. Dunia luar dan segala geraknya jauh dan asing. Dunianya tak tersentuh debat kusir para politikus atau perkelahian para wakil. Dunianya sesempit tanah warisan orangtuanya.
“Lukas, kemarin aku bertemu Om Pondik,” istrinya, Marlena, bercerita.
Om Pondik orang terhormat di kampung yang suaranya sangat didengarkan. Ia adalah tetua kampung yang paling bijaksana dan jujur. Om Pondik juga terkenal pintar, punya banyak obat dan segudang mantra demi membantu masyarakat. Perkara-perkara di kampung, jika dibawa ke Om Pondik, tidak ada yang tidak dapat diselesaikan. Semua beres.
Pernah terjadi, Om Polus kehilangan sapinya. Tidak lama setelah meminta bantuan Om Pondik, sapi Om Polus pun pulang sendiri. Di lain kesempatan, asam lambung Tanta Wati kambuh. Setelah meminum air pemberian Om Pondik, Tanta Wati sehat kembali. Apalagi kalau Om Pondik berbicara. Tak ada yang tak mau mendengarnya. Kata-katanya teduh dan sejuk di hati. Lelah dan letih, gelisah dan galau segera pergi, tatkala kata-kata Om Pondik mendarat menyentuh daun-daun telinga.
“Ia bilang, mau ikut ke sawah saat panen hari Senin,” lanjut Marlena.
“Itu pertanda baik,” Om Lukas menimpali.
“Kalau begitu, Lukas, kau pergi beli ayam untuk Om Pondik makan siang nanti. Apa kata orang jika Om Pondik tidak kita beri makan yang enak. Apalagi Om Pondik telah menolong kita banyak kali,” ungkap Marlena.
***
Sang mentari belum sepenuhnya menampakkan diri saat Om Lukas dan Tanta Marlena tiba di sawah. Sawah 10 petak peninggalan ayah Om Lukas ini telah lama menopang hidup keluarga Om Lukas. Sepeninggalan orangtuanya, Om Lukas giat merawat sawah warisan. Kata-kata ayahnya sewaktu menyerahkan tanah itu kepadanya selalu memenuhi dirinya, seolah-olah hidup dalam kepalanya.
“Jangan kau jual tanah ini, Lukas. Tanah ini adalah hidup keluarga kita,” pesan ayah Om Lukas.
Ia sendiri menyadari benarnya perkataan ayahnya ini. Betapa tidak, hasil sawah itu telah membebaskan mereka dari kelaparan dari tahun ke tahun.
“Di sini kenangan akan pendahulu kita tetap terasa nyata. Dari sini hidup keluarga kita lahir, dan akan kembali,” lanjut ayah Om Lukas berpesan.
Om Lukas menjaga amanah ayahnya. Ia tidak tergiur untuk menjual sawahnya kepada orang lain, seperti tetangga-tetangganya yang menjual tanah mereka dan merantau, mencari penghidupan yang lebih baik meski harus jauh dari keluarga dan mengabdi kepada orang lain.
Walau panenan dari sawah sedikit, Om Lukas tidak sampai hati mengabaikan amanah ayahnya. Om Lukas sudah bulat tekadnya, menjaga tanah sama dengan menjaga asa hidup dan bahkan nyawa. Menjual tanah tidak pernah singgah di pikirannya, betapa pun kesukaran hidup merapat dan senantiasa menemani hidup dan keluarganya. Juga tidak pernah ia berangan untuk bekerja di tanah asing demi mimpi mulia, hidup yang lebih sejahtera.
Om Lukas tidak ingin lebih. Ia menerima keadaannya yang sekarang dengan lapang dan syukur. Lebih dari itu, Om Lukas menjaga sawah itu seperti anaknya sendiri. Ia merawatnya seperti ia merawat ayahnya. Sawah itu juga yang selalu membawanya pada kenangan demi kenangan akan ayahnya. Sawah itu seolah-olah seperti kereta yang dapat mengantarnya ke masa-masa ia hidup bersama ayahnya.
Para pekerja berdatangan, membawa peralatan untuk panen. Sepanjang hari mereka bekerja memanen padi hasil jerih payah Om Lukas dan Tanta Marlena. Menjelang sore, padi yang belum dipanen masih tersisa banyak. Bukan karena banyaknya padi, tetapi karena para pekerja yang diupah Om Lukas sedikit.
Om Pondik datang sesaat sebelum mentari beranjak, tanda hari kerja selesai. Om Lukas dan para pekerja mulai sibuk merapikan dan membersihkan peralatan kerja.
“Lena, kita lanjut besok,” kata Om Lukas kepada istrinya, yang sibuk menyeduhkan kopi sore bagi para pekerja.
“Padi-padi yang belum dirontok, juga yang belum dibersihkan, disimpan saja dulu,” lanjut Om Lukas.
“Biar kita tidur di sini malam ini. Kita jaga kita punya padi,” Tanta Marlena menimpali.
“Biar kalian pulang saja. Istirahat yang cukup agar pulih tenaga kalian,” Om Pondik berujar.
“Om Pondik… masih ada padi yang harus dijaga. Baik jika kami bermalam saja di sini,” jawab Tanta Marlena.
“Ah… Marlena. Tak usahlah kau cemas. Tak ada yang berniat jahat di sini. Percayalah.”
“Lena, biar kita pulang saja. Toh Om Pondik sudah berkata seperti itu. Tak ada yang Om Pondik katakan yang tidak terjadi,” Om Lukas meyakinkan istirnya.
Tanta Marlena masih menyimpan ragu dalam hatinya. Tetapi, karena tidak enak dilihat orang jika menentang Om Pondik dan perkataan suaminya, ia mengalah.
Om Pondik memanggil Om Lukas dan Tanta Marlena ke pojok, menjauhi para pekerja. Dengan raut muka serius dan penuh percaya diri Om Pondik berkata sambil menyerahkan sebuah botol berisi penuh air, “Lukas, siramkan air ini di sekeliling padi-padi yang telah dipanen itu,” perintah Om Pondik.
“Tidak akan ada yang mengambil hasil keringatmu ini. Tidak ada yang mampu melewati air itu. Kalau ada yang berani, taruhannya terlampau besar. Nyawa melayang,” tambah Om Pondik.
“Doa-doaku tidak dapat mengambil padi milikmu, tetapi orang, bahkan yang dekat denganmu, dapat mencuri darimu,” Om Pondik melanjutkan.
***
Om Lukas hendak memanjakan diri, melepas lelah dengan berbaring. Walau belum terlalu larut, matanya telah berat setelah lelah bekerja seharian. Lain halnya dengan Tanta Marlena yang tetap terjaga. Tak ada tanda-tanda dirinya segera merebah di samping suaminya. Hati dan pikirannya tiada tenang. Entah mengapa, pikirannya selalu membawa ingatan akan bulir-bulir padi yang baru dipanen. Tanta Marlena menaruh syak, semakin tak tenteram.
Berulang kali Tanta Marlena meyakinkan diri salah, tetapi semakin gelisah dirinya. Terlebih lagi tidak ada hal lain yang mengalihkan perhatiannya. Pukul 23.00. Om Lukas terlelap, ketika Tanta Marlena membangunkannya.
“Lukas, bangunlah kau. Kita ke sawah sekarang, tidak tenang hatiku,” Tanta Marlena berujar.
“Apalah yang kau cemaskan. Semuanya aman, ingatkah kau kata Om Pondik tadi. Lebih baik kamu tidur saja, besok ada banyak pekerjaan berat yang harus diselesaikan. Bukan pertama juga kau cemas begini.”
“Tapi ini lain, Lukas. Kalau kau tidak mau, biarkan aku saja,” Tanta Marlena menggertak.
***
Tak sampai hati Om Lukas membiarkan istrinya berjalan sendirian di tengah malam yang gelap, meski dalam hatinya ia yakin Tanta Marlena salah. Om Lukas tak berani mengajak Tanta Marlena memecah kesunyian malam dengan mengajaknya berbicara. Ia paham betul, laku istrinya jika sedang marah dan jengkel. Jangan sekali-kali diajak bicara kalau mau hidup tenang terhindar masalah. Keduanya berjalan dalam keheningan menembus dinginnya angin malam. Nyala senter menuntun langkah mereka menaklukkan malam yang gelap.
Hamparan sawah mulai tampak. Mata dan telinga Tanta Marlena awas. Langkahnya cepat mendahului Om Lukas.
“Lihat kau Lukas, ada nyala senter di kita punya sawah,” Tanta Marlena berkata kepada suaminya.
“Jangan kau ribut, Marlena,” Om Lukas berujar seraya menarik tangan istrinya berjalan perlahan mendekati sawah mereka. Akhirnya dari jarak dekat, yang memungkinkan mata melihat dengan jelas, mereka mengenali sosok manusia yang sedang sibuk di tanah mereka.
“Om Pondik!” Om Lukas dan Tanta Marelan serempak kaget. ***
.
.
Leave a Reply