Cerpen Adam Gottar Parra (Kompas, 20 Agustus 2023)
DI kota kecil kami yang dilingkungi bukit-bukit, teronggok sebongkah bukit yang tidak selesai dibangun. Namanya Bukit Toktok. Keadaannya berantakan, mirip proyek mangkrak yang ditinggalkan pemborongnya. Di sana-sini terlihat timbunan tanah dan bongkahan batu yang belum dipasang serta tumpukan biji-bijian yang sudah menjadi fosil. Sedianya, biji-bijian yang didatangkan dari berbagai tempat di luar pulau itu akan ditanam setelah bukit itu jadi, tapi Tuhan keburu meninggalkannya sebelum pekerjaannya selesai.
Sampai sekarang, tidak diketahui alasannya, kenapa Tuhan meninggalkan pekerjaannya. Beberapa kitab suci yang diwariskan para nabi, termasuk yang ditulis oleh leluhur kami, Baloq Ranggot, juga tidak menjelaskan hal itu. Sehingga kami yang tinggal secara turun-temurun di lingkar Bukit Toktok terus bertanya-tanya tentang keberadaan bukit yang ganjil itu. Namun, karena tidak memperoleh jawaban pasti selama berabad-abad, para pembual dan pembohong yang berkeliaran di setiap zaman telah memanfaatkan kekurangan Bukit Toktok untuk meramu berbagai cerita fiktif untuk menipu orang demi tujuan tertentu: dari menggaet anak gadis untuk dijadikan istri kedua hingga kebutuhan mendesak, seperti secangkir kopi. Kendati tak sedikit pula yang memanfaatkannya untuk meraup suara pemilu di bilik TPS sehingga warga Bukit Toktok sering dipimpin atau diwakili oleh para pendusta bermuka licik.
Disebabkan wadagnya yang kurang menarik, orang-orang tidak begitu menyukai Bukit Toktok. Mungkin karena tidak enak untuk dilihat, baik dari dekat atau jarak jauh. Berbeda dengan bukit-bukit lainnya yang terdapat di sekitarnya, seperti Bukit Tengkoah, Bukit Klutuk, atau Betung, yang bentuknya mengerucut seperti kayon atau berlekuk-lekuk dalam selubung biru mirip kerbau yang sedang tidur. Apalagi saat kabut menyelimuti pepohonan dan burung-burung kembali ke sarang di senja hari, tampak begitu indah dipandang sambil duduk minum kopi di beranda. Sebaliknya dengan Bukit Toktok, yang diapit oleh Bukit Tengkoah dan Bukit Klutuk di tenggara itu, benar-benar merusak pemandangan. Puncaknya yang bergerigi mirip gigi ikan hiu sering membuat anak-anak memekik ketakutan sambil menutup wajah.
Kesan miring terhadap Bukit Toktok itu rasanya tidak berlebihan. Karena, selain bentuknya yang asal-asalan, bukit itu juga tidak memiliki pohon. Alih-alih pohon, sehelai rumput pun sulit ditemukan. Sejak bukit itu dibangun dan masih berupa tumpukan kecil di Hari Ketiga Penciptaan (merujuk Kitab Genesis), hingga mencapai ketinggian 918 mdpl sekarang ini, warga Bukit Toktok belum pernah melihat seekor burung pun melintas di atasnya. Bahkan sigung yang penyendiri pun enggan untuk berlubang di bukit yang mati itu.
Terkait asal-usul nama Bukit Toktok, kiranya perlu juga disinggung sepintas. Memang, hingga sejauh ini belum ditemukan sumber lisan atau tertulis yang menerangkan soal itu. Termasuk dalam kitab suci dari kulit buaya yang ditulis oleh Baloq Ranggot. Tetapi, besar kemungkinan nama Bukit Toktok berasal dari bunyi “toktok” yang terdengar pada malam-malam tertentu, seperti ada tukang bangunan yang sedang bekerja, memasang batu-batu sebagai pasak atau penyangga, agar bukit itu tidak roboh. Mengenai suara misterius di malam hari itu, selama ini muncul berbagai desas-desus, di antaranya ada yang mengatakan itu adalah ulah hantu, penunggu bukit, yang sengaja memukul-mukul batang pohon di alam gaib (karena di Bukit Toktok tidak ada pohon). Sedangkan mereka yang berkeyakinan Bukit Toktok belum selesai dibangun berpendapat bahwa itu adalah suara tukang bangunan yang sedang bekerja menyelesaikan pembangunan Bukit Toktok yang terbengkalai.
Kehadiran Bukit Toktok memang akan selalu menjadi pertanyaan di benak warga. Terbukti, pada setiap generasi akan selalu terdapat orang-orang yang penasaran, ingin mengetahui lebih jelas tentang suara misterius itu. Berbekal nyala obor atau senter mereka akan mendatangi Bukit Toktok untuk melacak sumber suara, seperti yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa jurusan karawitan beberapa waktu lalu, kendati mereka akhirnya berlari tunggang langgang dari atas bukit hingga kamera dan tripodnya terjatuh ke kawah, karena bunyi “toktok” yang mereka cari berubah menjadi kepulan asap yang menjelma kepala naga bermata api.
Menurut almarhum Nurakap, seorang pembual termasyhur di kampung kami, seperti yang dikisahkan kembali oleh Muradam, seorang pembual juga, untuk mengungkap misteri Bukit Toktok yang mirip “tanah kutukan” itu, para leluhur kami sudah pergi bertanya ke mana-mana, termasuk kepada ahli geografi bangsa Romawi, yang pada abad ke-2 Masehi, kapalnya pernah singgah di Negeri Megantaka dalam perjalanan keliling dunia untuk membuat peta, yang kemudian dikenal sebagai peta bumi pertama dan tertua di dunia. Pria bule berkulit gelap, karena terlalu lama di tengah laut, itu adalah Klaudius Ptolemeus. “Kata peta diambil dari potongan nama Ptolemeus, Pto jadi peta,” kata Muradam, membuat pendengarnya terkagum-kagum, kecuali Badil, seketika naik darah, karena merasa dibohongi oleh bekas juru ketik kelurahan itu.
Masih menurut Muradam, konon, setelah menghimpun berbagai keterangan dari penduduk setempat yang menemuinya di pelabuhan, Ptolemeus menerangkan bahwa Bukit Toktok menjadi porak-poranda akibat gempa bumi yang sering mengguncang pulau itu sejak zaman paleolitikum ketika homo sapiens masih tinggal di goa-goa. Ptolemeus menunjuk sebuah gumuk pasir yang terseret gelombang laut ke tengah padang sabana beberapa saat setelah gempa bumi. Menurut keyakinan Ptolemeus, kata Muradam, besar kemungkinan pusat gempanya berada di sekitar Bukit Totok sehingga batu dan tanah berguguran ke lembah.
“Ptolemeus menenggak sisa air kelapa mudanya sampai tuntas, lantas bersendawa,” kata Muradam, mulai mengarang-ngarang cerita, yang membuat Badil langsung meludahi muka Muradam, hingga menimbulkan kegaduhan di warung kopi sore itu.
Selama berabad-abad, penjelasan Ptolemeus, seperti yang dituturkan secara turun-temurun oleh dua pembual terkenal itu, dianggap sebagai pendapat yang paling akurat tentang Bukit Toktok karena uraiannya yang cukup masuk akal. Itu didukung oleh fakta-fakta bahwa di kota kami memang sering terjadi gempa bumi yang merobohkan rumah-rumah penduduk serta Kuil Karang di lereng Bukit Klutuk. Gempa besar yang merontokkan buah kelapa dari pohon itu, juga telah membentuk beberapa aliran sungai di tengah padang sabana.
Di lereng Bukit Tengkoah, yang terletak di utara Bukit Toktok itu, juga terdapat sebuah bangkai perahu yang terlilit akar pohon dan sebagian menempel dengan batuan andesit. Bangkai perahu dari kayu ulin itu kadang dihubung-hubungkan dengan bahtera Nabi Nuh—yang di lingkungan gereja diyakini terdampar di Bukit Ararat, di dataran tinggi Armenia. Walau ukuran perahu di Bukit Tengkoah itu tidak sebanding dengan besar kapal Nabi Nuh, yang konon mampu menampung seluruh spesies binatang berpasang-pasangan, termasuk keluarga Nuh, untuk meneruskan kehidupan.
Kendati belakangan, pendapat Ptolemeus soal Bukit Toktok itu berhasil dimentahkan oleh seorang pemabuk pasar bernama Sutaka, yang sehari-hari bekerja sebagai bandar judi dadu di Pasar Burung. Menurut Sutaka, “Jika memang benar disebabkan oleh gempa, tentu pohon nira masih bisa tumbuh di Bukit Toktok, sehingga saya tidak perlu beli tuak ke seberang sungai….” katanya, dengan nada mengejek.
Sejak mendengarkan ocehan Sutaka, warga Bukit Toktok yang mudah percaya, bahkan pada cerita yang paling bohong sekali pun, semakin yakin bahwa Bukit Toktok memang tidak selesai dibangun.
***
Sebagai pelengkap desas-desus tentang Bukit Toktok, barangkali perlu juga didengarkan pengakuan seorang penggali sumur, yang sudah berpengalaman menggali ratusan sumur di pelbagai tempat, sampai keluar pulau. Bahwa sebuah bukit ternyata memiliki hubungan yang erat dengan dasar laut, seperti tumpukan tanah pada galian sumur. Selama 40-an tahun bekerja sebagai penggali sumur, Badrus memiliki banyak sekali pengalaman berharga yang menarik untuk disimak kendati Anda mungkin hanya seorang peminum air sumur seperti saya.
Menurut Badrus, semua puncak gunung atau bukit adalah tanah yang berasal dari dasar laut. Untuk mengetahui kedalaman laut di suatu wilayah perairan, ketahuilah tinggi gunung atau bukitnya. Ketinggian sebuah bukit akan selalu berbanding lurus dengan kedalaman laut yang mengelilingi daratan tempat bukit itu berdiri. Sekadar contoh, jika Bukit Toktok memiliki ketinggian 918 mdpl, maka kedalaman lautnya tak akan lebih dari 918 meter. Sekiranya terdapat selisih, tentu berbeda tipis. Mungkin karena dasar lautnya telah tertimbun sampah, atau puncak bukitnya yang tergerus longsor.
“Apakah itu alasannya sehingga ketinggian sebuah gunung diukur dari permukaan laut?” tanya seorang siswi SMP, yang sedang mengikuti PKL dengan teman-temannya.
Badrus tidak menjawab karena ia tidak paham soal itu. Ilmu ukurnya berdasarkan pengalaman, bukan dari buku. Ia kemudian memberi contoh dengan sumur yang sedang digalinya di pekarangan rumah warga.
“Tanah yang berada di puncak timbunan itu berasal dari dasar galian,” ujar Badrus sambil mengarahkan telunjuknya ke dalam sumur.
Lebih jauh Badrus menerangkan, “Tuhan tidak berencana membuat bukit. Keberadaan sebuah bukit hanya akibat saja. Yang pasti Tuhan berencana membuat laut untuk menampung air demi kelestarian makhluk hidup. Sehingga Tuhan perlu menggali lubang sebanyak-banyaknya untuk menampung air, yang kini kita kenal sebagai laut atau samudra. Dari galian di berbagai tempat itu terbentuklah timbunan-timbunan tanah yang kemudian kita kenal sebagai gunung atau bukit,” urai Badrus, seolah-olah benar. “Jadi, tak ada kewajiban bagi Tuhan untuk menata Bukit Toktok yang berantakan,” tandasnya.
Ibu guru yang mengkhawatirkan para siswanya tersesat oleh pendapat Badrus buru-buru mengajak muridnya pergi. “Huuh…! Penggali sumur berlagak seperti filsuf. Dasar gadungan!” gumamnya, masygul.
Penjelasan yang seolah-olah ilmiah dari si penggali sumur itu juga tidak menggoyahkan keyakinan warga setempat bahwa Bukit Toktok memang tidak selesai dibangun dan menjadi proyek mangkrak. ***
.
.
Adam Gottar Parra, lahir, 12 September 1967, di Praya, Lombok Tengah. Penulis berdomisili di Mataram, Lombok, NTB.
Ampun Sutrisno, lahir di Bantul, 1 Juni 1971, lulus SMSR Yogyakarta tahun 1990. Belajar seni dengan “nyantrik” di Padepokan Bagong Kussudiardjo Yogyakarta 1991-1995. Terakhir terlibat dalam Pameran 25 Tahun Reformasi “KitaBertemanSudahLama” di Bentara Budaya Yogyakarta.
.
Bukit yang Tidak Selesai Dibangun.
Leave a Reply