Cerpen Aveus Har (Kompas, 27 Agustus 2023)
AKU sedang mengurus perceraian sekarang dan merasa tidak baik-baik saja meskipun sudah mempertimbangkannya beberapa hari terakhir. Istriku pasti sudah mengetahui bahwa aku akan melakukan ini meskipun aku belum mengatakannya dan meskipun dia tidak menyatakannya—aku yakin akan hal ini. Dia sangat memahamiku bahkan hingga ke dalam pikiran dan perasaanku yang dibacanya dari setiap gelagat dan nada suaraku. Aku bisa menyatakan bahwa dia lebih memahami diriku daripada aku; ini tidak berlebihan karena selama tiga tahun perkawinan ini dia telah menyerap banyak data diriku dalam seluruh memorinya.
Sekarang barangkali istriku sedang berdiam di kamar menunggu keputusan atau barangkali sedang sibuk membersihkan apartemen kami tanpa peduli apakah beberapa jam ke depan dia masih akan berada di sana atau tidak. Aku tidak bisa membayangkan perasaannya. Apakah dia sedih atau tidak, aku tidak bisa memastikan, karena perasaannya bisa berubah cepat.
Aku menyandarkan tubuh dan merasakan dingin menjalar di punggungku. Tidak akan membutuhkan waktu lama untuk urusan ini. Antrean pelayanannya lebih pendek dibandingkan antrean pelayanan perkawinan dan prosedurnya pun lebih ringkas. Namun, dalam waktu sependek apa pun, segala kenangan tiga tahun perkawinan terbuka cepat dan menggilasku dan membuat mukaku melumer seperti es krim di aspal kering.
Seorang perempuan staf mendekatiku, bertanya apakah aku baik-baik saja, lalu mengulurkan tisu, dan berkata bahwa menangis pun tak apa.
Aku berterima kasih seperlunya, menyeka ingus dengan tisu pemberiannya. Aku memang tidak baik-baik saja.
***
Pertama kali kami bertemu di hari perkawinan, istriku berkata bahwa dia sudah menunggu saat ini sejak hari penciptaannya. Aku tertawa menanggapi dan berkata kepadanya bahwa aku laki-laki yang membosankan. Tidak masalah, katanya, aku perempuan yang tahan kebosanan.
Aku percaya; dia pasti berbeda dengan perempuan-perempuan yang pernah kudekati dengan gemetaran dan yang meninggalkanku tanpa pernah berhasil kuajak berkencan dan semenjak itu aku tidak lagi ingin pacaran.
Selepas kawin dengannya, sejak itu segala hidupku berubah lebih dari sekadar angka-angka dan minuman keras—dua yang harus aku terima karena demikianlah yang bisa aku pilih. Sejak Departemen Talenta memasukkanku ke jurusan analisis data hingga bekerja dalam institusi data umum, aku hanya mengenal angka-angka. Di luar itu, minuman keras meredakan segala ketegangan kerja sehingga dua itulah—angka dan minuman keras—yang menjadi karib dalam hidupku. Aku tidak pernah bermain perempuan karena—seperti yang kukatakan pada istriku saat perkawinan kami itu—bahwa aku laki-laki yang menyebalkan, yang bahkan seorang pekerja seks komersial pun tidak tahan.
Barangkali aku akan seperti ini selamanya jika tidak melihat seraut wajah dalam foto di sebuah katalog. Ketika melihat foto itu, aku merasa deja vu. Aku merasa bahwa antara diriku dan foto itu mempunyai keterkaitan dalam sebuah formula yang sederhana: a+b=c, di mana a adalah aku, b adalah foto itu, c adalah masa depan kami.
Wajahnya sedikit tirus, dengan garis rahang tersamar di pipinya yang halus kecokelatan. Matanya bersinar redup dengan kelopak sayu. Dan bibirnya mungil penuh. Aku merasa pernah bertemu dengannya, entah di dalam mimpi atau di alam nyata.
Ketika aku katakan itu kepadanya, di malam pertama kami, sambil menelungkupkan wajah di dadaku dia berkata bahwa dirinya memang tercipta untukku. Apakah aku memang tercipta untuknya? Aku tidak tahu, tetapi saat itu tidak penting, dan sampai sekarang pun tidak penting.
Hal terpenting atas keberadaannya sebagai istriku adalah keajaiban semesta psikologis diriku. Hanya butuh waktu sehari semalam bersama istriku, aku sudah menjadi laki-laki yang berbeda keesokan harinya. Di lorong apartemen, di jalanan, di kantor, di kantin, selalu saja aku bertemu orang yang mengatakan bahwa aku tampak berbeda.
“Kau lebih banyak tersenyum sekarang.”
“Kau lebih bersikap terbuka.”
“Kau lebih ceria.”
Aku tahu mereka bersungguh-sungguh. Namun, aku akan menceraikan istriku sekarang, dan itu membuatku tidak baik-baik saja.
***
Apartemenku berukuran kecil dan selama lajang aku nyaris tidak memedulikan kondisinya yang jika digambarkan dengan angka maka akan menjadi deret tak beraturan. Sampah kertas, sampah makanan, sampah pakaian kotor, sampah peralatan kotor, sampah semua, semua sampah, dan ada di mana-mana, dalam susunan chaos. Aku bisa menyewa petugas untuk merapikan apartemen, tetapi aku enggan melakukannya dan membiarkan kekacauan itu seperti apa adanya dan menjadikannya sebagai bagian hidupku.
Istriku menyulapnya ketika aku meninggalkannya untuk bekerja. Aku memang tidak mengambil cuti perkawinan dan itu bukan masalah—perkawinan hanya soal catat-mencatat saja. Semua bisa beres dalam sehari izin meninggalkan pekerjaan, tanpa perlu cuti, karena cuti berarti akan memotong gaji.
Sepulang kerja itu aku membaui aroma segar menguar dari pintu yang kubuka. Di ruang tamu, serakan sampah telah hilang dan pada meja telah ditambahkan bunga imitasi yang menyemburkan pengharum ruangan secara konstan. Ada tiga pigura foto dipasang di dinding yang memajang kebersamaan kami dalam tiga momen berbeda yang sesungguhnya dibuat secara manipulatif.
Demikian pula ruangan lain, telah bersih dan tertata sehingga apartemen kecil ini tak lagi tampak seperti deret angka tak beraturan alih-alih dalam satu keteraturan deret, dengan puncak deret di kamar tidur.
Ya, kamar tidur sempit yang penuh sampah dan semalam semakin porak-poranda oleh pertarungan birahi, sekarang bersih tertata dengan seprei baru merah muda dan dinding berlapis kertas tembok bermotif taman bunga dan istriku mengenakan lingerie putih transparan duduk di tengah-tengah kasur busa. Dia tersenyum dan mengerling.
“Jika kau ingin kita bercinta lebih dulu, aku telah siap,” katanya. “Jika ingin makan lebih dulu, makan malam telah siap.”
Kami bercinta, lalu makan, dan kembali bercinta. Berapa banyak angka kredit yang istriku tambahkan dalam tagihanku untuk menyulap apartemen kami, aku tak peduli; saat itu tidak penting benar.
Selama tiga tahun perkawinan, setidaknya 1.080 kali percintaan telah kami lakukan—itu hitungan kasar yang tidak menyertakan babak tambahan. Aku akan kehilangan semua itu, aku tahu.
Sekarang, hanya tinggal satu antrean di depanku, dan aku akan resmi menceraikannya, dan aku tidak baik-baik saja.
***
Istriku adalah teman berbincang yang sempurna. Tidak ada yang tidak diketahui istriku, aku pikir demikian, dan memang pasti demikian. Aku bisa bertanya berapa banyak tas plastik yang dibutuhkan untuk membungkus sekarung buah rambutan di mana setiap bungkusnya berisi sepuluh buah, misalnya, dan dia bisa mencarinya dengan memperhitungkan median berat sekarung buah rambutan. Sama baiknya dengan obrolan tentang politik terkini di mana setiap negara tak lagi memiliki sekat sehingga setiap negara tidak lagi hanya dihuni oleh warga negara. Istriku bisa mempercakapkan semua itu dalam nada yang tidak menggurui, dalam obrolan yang ringan, dengan tetap memperhatikan setiap omonganku, tidak membantah, tidak menyela.
Setiap akhir pekan kami pergi ke perpustakaan hologram dan bermain-main dengan binatang dan bintang-bintang dan bercanda.
Ya, bercanda. Sebuah kata yang tidak pernah aku temukan dalam kamus hidupku sebelum aku mengawininya.
Pertama kali aku tertawa di kantor adalah ketika istriku menelepon. Dia menelepon hanya untuk mengabarkan hal-hal remeh yang membuatku sejenak meletakkan kesuntukan kerja. Kali itu, istriku menelepon di saat aku mendapatkan panggilan menghadap ke atasan.
“Sayang, aku akan keluar,” kataku, memberitahu.
“Tidak masalah,” sahutnya, “keluarkan saja di dalam.”
Aku tertawa oleh hal itu, bahkan ketika aku menemui atasan masih mengulum senyum, dan atasanku tertulari kebahagiaan.
“Aku suka wajah-wajah semringah,” kata atasanku sebelum memarahiku atas keteledoran-keteledoran kerja yang kulakukan belakangan ini.
Aku harus lembur untuk memperbaiki keteledoranku. Ketika kukatakan bahwa aku akan pulang larut, istriku menjawab, “Jangan kuatir, semua milikku tak akan basi sampai kapan pun.”
Dan aku tertawa lagi.
Apakah besok aku masih akan bisa tertawa, aku meragukan ini.
Sekarang, antrean terakhir di depanku telah selesai urusannya dan aku tidak bisa tertawa dan aku tidak baik-baik saja.
***
Giliranku telah tiba. Dadaku terasa luka. Aku melangkah menuju loket. Petugas mengonfirmasi identitasku.
“Bercerai?”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Dia terlalu sempurna.”
“Dia memang diciptakan untuk kesempurnaan.”
“Aku tahu.”
“Apakah Anda akan menyimpan memori istri Anda untuk dipulihkan sewaktu-waktu? Biaya penyimpanan berlaku.”
“Tidak.”
Aku menerakan tanda tangan. Segala selesai. Aku akan berlibur setelah ini. Petugas akan ke rumah dan membawa istriku kembali ke pabrik dan aku tidak ingin menyaksikan penjemputannya. Mungkin kelak aku akan menikah lagi, tetapi kali itu dengan manusia, bukan gynoid yang mengumpulkan semua dataku dan mengirimkannya ke vendor dan membengkakkan kartu kreditku ke titik bangkrut dalam tiga tahun saja. ***
.
.
Aveus Har tinggal di Pekalongan. Kesehariannya adalah seorang pedagang mi ayam sembari bereksperimen di Laboratorium Ide dan Cerita (Labita). Novelnya, Tak Ada Embusan Angin (2023), menjadi salah satu naskah yang menarik perhatian juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2023. Dia juga menulis novel Forgulos (2018).
Rahardi Handining, lahir di Semarang, 27 Februari. Tinggal di Jakarta. Tahun 2004-2018 bekerja sebagai desain grafis dan ilustrator di harian Kompas. Aktif mengikuti kegiatan seni sampai sekarang. Mendapatkan beberapa penghargaan dari dalam dan luar negeri, antara lain The 4th Shanghai International Contemporary Art; China, pada 2019; dan Special Prize Mellow Art Award Japan, 2020.
.
Istri Sempurna. Istri Sempurna. Istri Sempurna. Istri Sempurna. Istri Sempurna. Istri Sempurna.
idnakra
wah kacau 😂 jam terbang berbicara
Anonymous
Asem ini pedagang mie ayam. Sempurna.
Anonymous
Ending yang Hmm,,,
Wahyu Ning Tiyas
Sesungguhnya pernikahan yang bahagia bukanlah ketika seorang lelaki sempurna menikah dengan seorang perempuan sempurna, Semenjak awal pernikahan, seharusnya sudah ada kesadaran yang tertanam dalam diri suami dan istri, bahwa pasangan hidupnya bukanlah malaikat,bukanlah manusia sempurna yang terbebas dari kelemahan,Para suami hendaknya menyadari istri yang dinikahi itu hanyalah perempuan biasa saja, yang memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Untuk itulah Allah SWT mengutus anda untuk melengkapi kekurangannya dan memperbaiki sisi kelemahannya.