Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Solopos, 19 Agustus 2023)
DIBASUHNYA wajahnya dengan air dingin yang mengucur deras dari keran wastafel. Sedikit ia menggigil. Ketika mengangkat pandang, samar-samar dilihatnya wajahnya yang basah di permukaan cermin berembun.
Disekanya kaca dengan tangan kiri dan menatap lebih lekat. Wajah itu tak lagi setampan dulu, bertahun-tahun lalu ketika banyak gadis tergila-gila padanya. Mereka suka menggodanya, memberikan hadiah padanya, mengajaknya nonton, makan malam, ke pesta-pesta tak jelas, mengiriminya banyak surat cinta norak, bahkan mengajaknya tidur.
Kulit mukanya tak lagi sesegar dan sekencang ketika ia baru menikah. Kini tulang pipinya kiri-kanan tampak sedikit menonjol, bibirnya kehitaman akibat terlalu banyak merokok, dan di dagunya beberapa hari ini bulu-bulu hitam kasar mulai bertumbuhan. Liar tak beraturan.
Hm, sudah empat entah lima hari atau mungkin sudah seminggu ia tak bercukur. Kedua matanya terlihat merah.
Mata itu menatapnya dan ia balas menatap mata itu. Mereka bertatapan seperti hendak menerka-nerka apa yang tersirat dari sebuah adu pandang. Seperti hendak saling menebak yang terlintas dalam pikiran masing-masing.
Nyaris ia meradang. Buru-buru ia mundur dari wastafel. Tetapi, sosok dalam cermin itu seperti tak ingin melepaskannya begitu saja: menatapnya dengan marah. Ia menggeleng-geleng. Tentu, sosok di cermin itu ikut menggeleng-geleng. Dalam kesunyian malam, mereka berdua, ia dan lelaki dalam cermin itu seolah saling bersitegang.
“Seharusnya kau memberikan ia kepercayaan dan kebebasan!” dapat ia dengar suara gusar dari bayangan dalam cermin itu.
Perlu waktu lebih dari sepuluh menit baginya untuk berdamai dengan lelaki dalam cermin yang menjengkelkan itu. Oke, katanya, kau cuma pantulan diriku. Sosok dalam cermin itu mengangguk kecil padanya. Ia kembali melihat dirinya sendiri, terpantul di permukaan cermin yang bergelombang oleh pendar lampu kamar mandi. Wajah dan kerah piyamanya basah. Ia kembali mendekat ke wastafel, kali ini meraih handuk kecil berwarna jingga yang tergantung di samping cermin dan mengeringkan mukanya. Ia hendak beranjak ke dapur, membuat secangkir kopi panas.
Namun cermin itu rupa-rupanya belum juga sepenuhnya berkenan meninggalkannya. Tanpa mampu menolak, ia kembali menatap dirinya sendiri. Lima tahun pernikahan….
Ia meraba dagunya yang kasar, termangu untuk beberapa jenak. Beginikah diriku? batinnya dengan perasaan ganjil. Namun, kini ia bahkan tak yakin pada bayangan yang terpantul pada cermin oval di hadapannya itu. Cermin bisa saja menipu, batinnya. Seperti ketika seorang gadis dalam dongeng bertanya kepada cermin riasnya: Wahai cermin, katakanlah siapa yang tercantik di dunia ini? Oh, tentu dirimu, jawab sang cermin. Dan itu bohong, pikirnya, sebab cermin tersebut tentunya tahu ada berjuta-juta gadis yang jauh lebih cantik dan menawan di dunia ini daripada si gadis malang yang bertanya.
Ah, mungkin ia membutuhkan lebih banyak cermin untuk dapat merasa yakin seperti apa dirinya. Sebagaimana seseorang mungkin memerlukan lebih banyak arloji untuk yakin pada waktu. Mungkin ia perlu mengunjungi sebuah rumah cermin. Di sebuah arena hiburan, misalnya, atau di pasar malam atau sirkus di mana dirinya akan mengganda berkali lipat.
Ia ingat Bruce Lee dan sebuah adegan di rumah cermin dalam film Enter of The Dragon. Bayangan tubuh setengah telanjang dengan dada kekar berotot yang tercakar berdarah itu tampak di mana-mana. Sewaktu masih mahasiswa, ia punya koleksi salah satu poster jawara legendaris itu dalam adegannya di rumah cermin. Sorot mata garang dan dua tangan terkembang dalam jurus siap menyerang tertempel di kamar kosnya, memotivasinya selalu rutin ke tempat fitness.
Ia bahagia punya seorang isteri seperti Nesya dan anak-anak yang baik. Nesya lebih dari seorang isteri idaman baginya: cantik, seksi, hangat, terampil, dan cerdas. Ia selalu menikmati pandangan iri orang-orang ketika mereka sedang berjalan-jalan berdua, ia selalu menikmati komentar teman-temannya tentang Nesya. Ia merasa sungguh-sungguh telah menjadi seorang lelaki bersama Nesya dan kedua anak mereka. Bayu dan Banyu anak-anak yang pintar dan manis.
Tapi, suatu hari, perempuan itu memutuskan untuk pergi dengan mata yang sembab. Kau tak pernah mencintaiku! Kau hanya mencintai dirimu sendiri! Kau membutuhkan aku hanya untuk dirimu! Nesya menatapnya dengan air mata berlelehan. Bayu dan Banyu menangis memeluknya. Pagi yang pucat.
***
Akhirnya ia berhasil juga membebaskan diri dari cermin wastafel terkutuk di depan kamar mandi itu dan menyeduh secangkir kopi. Ia membawa kopi panas mengepul itu ke ruang tamu, meletakkannya di meja, dan mengempaskan tubuhnya ke sofa. Kain gorden jendelanya masih tersibak. Angin yang berhembus basah masih mengandung butir-butir air, membawa bau tanah basah selepas hujan turun hampir seharian.
Ia menghirup kopinya dan cairan panas itu menggetarkan bibirnya. Kemudian dua menit berlalu tanpa ada yang melintas dalam pikirannya. Sampai ia kembali tersadar bunyi keloneng lonceng yang lamat-lamat sampai. Dentang yang tak pernah dipahaminya dan selalu saja membangkitkan semacam sensasi aneh.
Senantiasa tepat jam dua belas malam, berasal dari sebuah gereja kecil yang tak jauh dari kompleks perumahan. Terdengar mistis, seakan sesuatu yang agung bertandang ke bumi yang celaka.
Kadangkala, ia melihat Nesya di hadapannya, tersenyum tipis dalam balutan lingerie merah jambu hadiah ulang tahun darinya. Ia mengutuk dirinya berulang-ulang. Tak ada rasa kantuk, sungguh menyiksa. Tetapi, tidur pun seringkali menyiksa karena mimpi indah—mungkin lebih tepat kenangan—yang sesekali datang menjenguk.
Tak ada yang dilakukan, iseng ia merogoh bawah meja. Tangannya menemukan sebuah majalah wanita. Sudah berdebu, entah berapa lama tergeletak di sana tanpa ada yang menyentuh.
Dibersihkan debu-debu dengan tangannya. Sampul majalah itu bergambar gadis dengan pinggul sungguh menggoda. Dan terkutuklah segalanya yang bersepakat meledeknya malam ini! Pinggul bulat perempuan itu mengingatkannya pada Nesya. Pinggul seorang penari yang piawai.
Tentu ia ingat perjumpaan itu. Di sebuah klub malam yang sesak dengan lampu-lampu genit. Ia begitu terpesona pada pinggul indah di panggung itu. Penari malam seperti Salome yang membakar libido ayah angkatnya Herodes hingga berkenan mempersembahkan setengah kerajaan dan kepala seorang Yohanes Pembaptis di atas talam.
Ia menunggu hingga pertunjukan tarian erotis itu selesai dan bergegas ke belakang panggung. Tentu karena klub itu milik om teman karibnya. Aroma keringat perempuan membuat hidungnya kembang-kempis gelisah. Penari malam itu menatapnya dengan mata seekor kucing liar yang ketahuan mencuri ikan asin.
Ia balas menatap. Jauh di dalam pupil kedua mata penari malam yang gelap itu, samar ia melihat bayang-bayang sebuah rumah mungil dengan halaman rumput yang luas. Ada ayunan di bawah pohon. Ada anak-anak berlarian di sana. Dan ia begitu terpana.
Bermalam-malam setelah itu, ia selalu singgah berulang. Malam-malam yang sungguh riang. Tidak lagi sekadar mengusir penat atau untuk menikmati masa muda yang gegap gempita seperti seloroh kawan-kawannya.
Hampir seperempat jam ia tak mampu melepaskan diri dari buaian kenangan celaka itu. Ah, kini apalah beda tidur dan terjaga? Malam yang panjang, ia beranjak dari duduknya. Berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang terasa begitu luas, namun tak juga memberinya ruang bebas sejenak dari penderitaan.
Ia melihat sebuah pistol mainan tergeletak di sudut ruang tamu. Milik Bayu entah Banyu. Ditatapnya sesaat dengan gairah yang tiba-tiba terasa meletup. Entah kenapa, ia terkenang cerita Hitler menembakkan peluru ke dalam mulut sendiri. Ia melangkah mendekati pistol mainan itu, memungutnya. Pistol itu terasa ringan di tangannya. Tentu saja karena terbuat dari plastik. Ia tidak ingat membeli pistol mainan itu untuk Bayu atau Banyu atau keduanya. Pasti dibelikan ibu mereka. Atau ia memang betul-betul lupa.
Ditelitinya pistol itu, ditarik-tariknya picunya. Sebuah imitasi yang bagus untuk tipe Magnum 46.
Tiba-tiba ia terlempar ke sebuah pasar malam yang sibuk. Dipenuhi poster-poster besar dengan huruf-huruf besar, berwarna-warni. Ia melihat stan permainan berderet-deret yang menyita hati. Ada lempar-lemparan gelang, memanah, dan ketangkasan menembak. Sembari menyombongkan diri sebagai penembak jitu, ia menarik Nesya ke loket menembak dan membeli setumpuk koin.
Penjaga stan, seorang lelaki cepak—mungkin seumuran kakak sulungnya yang putus sekolah lalu merantau ke seberang dan tak pernah berkabar—mengangguk padanya. Ia berdiri agak canggung di sisi seorang kakek yang lagaknya persis koboi tua. Dessss…! Peluru si kakek meleset jauh dari boneka panda yang jadi sasaran. Terdengar gerutuan kesal.
Dengan kegagahan zaman Amerika liar, ia pun memasang posisi siap menembak seolah nyawanya benar-benar ada di ujung peluru-peluru plastik itu. Sebelah matanya memicing, mengincar helikopter yang tergantung di hadapannya, bergoyang-goyang menantang.
Dua tembakan pertamanya meleset, yang ketiga nyaris kena. Ia ikut mengeluh seperti si koboi tua. Dan Nesya tertawa bergelak. Ketika tersadar, ia menemukan dirinya dalam posisi badan setengah merunduk di ruang tamu. Dengan pistol mainan teracung ke jendela terbuka.
***
Kenapa malam tak kunjung beranjak? Rasa dingin seperti mencakar-cakar ruangan. Juga mahasepi itu, seolah mengiris urat nadi. Ia terbatuk. Daun jendela menderit ngilu oleh hempasan angin kencang yang lewat. Mungkinkah hujan akan turun lagi?
Ia masih betah mondar-mandir. Berhenti sebentar untuk menggigit-gigit kukunya. Mondar-mandir lagi. Menghela napas panjang, diperhatikannya seisi ruang tamu. Sofa cokelat tua, meja kecil dengan taplak ungu berenda, sebuah asbak berbentuk hati, guci porselen di sudut, lukisan pedati melintasi jalan desa di dinding. Belum ada yang berubah sejak Nesya pergi.
Ia mendongak. Ada sarang laba-laba di pojok kanan langit-langit. Mendesah kecil ia menunduk. Pistol plastik itu kini tergeletak di sofa.
Rumah kecil yang nyaman untuk beranak-pinak. Ia kembali teringat pada bayang-bayang samar di pupil mata sang penari malam yang gelap. Ah, seperti apa sih rumah kau idamkan? Penari itu mengulum senyum, seperti meledeknya. Membuatnya begitu gemas.
Ia merancangnya sendiri. Bermalam-malam. Berhitung dengan saksama, membuat garis-garis: horisontal, miring, tegak lurus dengan langit. Lalu memerinci ruang demi ruang. Sembari membuka banyak majalah, buku, dan kliping-kliping koran yang ia kumpulkan. Hingga akhirnya rumah yang tampak samar-samar di kedua pupil mata yang gelap itu pun tegak dengan anggun. Begitu nyata di hadapannya. Itu tiga bulan sebelum mereka menikah.
Angin berkesiur keras di luar jendela. Melabrak cemara kipas di halaman. Menimbulkan suara berisik yang syahdu. Terdengar derit rantai ayunan bergoyang-goyang. Seolah-olah ia mendengar suara tawa yang ramai, tawa yang begitu riang dari hari-hari yang riang. Lalu suara Nesya dari teras, mengajak makan siang. Bayu dan Banyu berhamburan meninggalkan ayunan. Derit rantai pun melemah, perlahan senyap.
Tanpa sadar ia berjalan ke jendela bahkan menyibak kain gorden lebih lebar. Termangu ia menatap keremangan halaman. Ayunan itu masih bergoyang-goyang seperti baru saja ditinggalkan. Masih menyimpan keriangan anak-anak yang mendudukinya. Pandangannya kemudian beralih pada cemara kipas yang rimbun, melambai-lambai seperti tangan seorang penari. Tubuh penari itu meliuk-liuk, melenting, menukik lagi, berputar-putar seperti melayang. Derit daun jendela semakin ngilu.
Ketika kau menari, dunia akan ikut menari, kata Nesya. Ia hanya mengangguk-angguk, tapi tak benar-benar paham. Justru merasa bodoh. Ia tidak mengerti banyak tentang tari. Ia hanya duduk di tepi tempat tidur, menikmati setiap gerak perempuan itu. Menyaksikan dengan mata terpukau bagaimana tubuh indah isterinya melenting, berputar-putar, melayang, melentuk. Dari perlahan semakin cepat. Melambat lagi. Begitu molek, sungguh molek. Terlebih ketika sehelai demi sehelai pakaian yang melekat di tubuh Nesya tanggal terenggut jari-jemari yang lentik.
Lalu sesosok tubuh putih yang licin, nyaris mengilap, meliuk gemulai. Aroma keringat yang sama dengan malam di belakang panggung itu mulai membuat hidungnya kembang-kempis.
Itu kali terakhir Nesya menari. Kemudian mereka bercinta dengan suara mendengus-dengus. Nesya seolah menari di atas tubuhnya. Malam yang begitu memukau.
“Aku ingin menari lagi di panggung,” suara itu hampir terisak.
“Buat apa?”
“Kau tidak mengerti!”
“Mamaa! Maammaaa…!” ***
.
.
Sunlie Thomas Alexander lahir 7 Juni 1977 di Belinyu, Pulau Bangka. Sempat belajar Seni Rupa di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan menyelesaikan studi Teologi-Filsafat di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Ia menulis cerpen, puisi, esai, artikel, kritik sastra, dan catatan sepak bola di sejumlah media dan jurnal yang terbit di Indonesia maupun luar negeri.
.
Malam Selepas Hujan. Malam Selepas Hujan. Malam Selepas Hujan. Malam Selepas Hujan. Malam Selepas Hujan. Malam Selepas Hujan.
Leave a Reply