Cerpen Nurillah Achmad (Jawa Pos, 12 Agustus 2023)
I
AKU ingin membangunkan sebuah istana untukmu, Anakku. Bukan gubuk sebagaimana rumah yang selama ini kita tempati. Sebab pada bangunan itu, kau bukan saja mendapati rayap menggerus tiang buluh betung, atau rapuhnya reng-reng yang terpasang melintang di atas kasau, melainkan kau juga mendapati selentingan kabar tak nyaman yang tersebar ke seluruh lekuk pedukuhan.
Marni tersentak kala mendengar derap langkah kaki yang beriringan dengan gonggongan anjing kelaparan. Lekas-lekas ia melipat kertas dan menyelipkannya ke dalam saku celana. Belum sempat ia membetulkan rambutnya yang kusut masai, Tuan Besar mendobrak pintu. Kilat amarah tampak betul di pelupuk mata majikannya itu. Tanpa menghiraukan Marni yang berdiri gemetar, Tuan Besar menggampar Marni berulang-ulang, lalu mendorong Marni hingga terjerembap ke atas lantai.
“Kau mau anjing-anjingku mati?”
Marni tak menyahut. Bibirnya berdarah. Tuan Besar yang mengenakan baju tiada berlengan seketika menyeret Marni keluar. Marni berusaha tak mengeluarkan rintih.
“Jangan harap kau dapat jatah makan hari ini!”
Tuan Besar meninggalkan Marni dengan dua kotak makanan anjing. Tiga ekor anjing bertubuh besar saling mengeram manakala Marni menuangkan makanan ke dalam wadah. Ketiganya berebut rakus atas apa yang Marni sodorkan. Menyadari binatang peliharaan Tuan Besar takkan menyerang, Marni membersihkan kotoran di dalam kandang.
Baunya sungguh memualkan. Sejak semalam Marni tak makan. Bekas pesta juga masih berserakan di halaman. Sontak Marni memungut sisa daging di piring kotor tanpa peduli jenisnya. Seekor anjing menyalak ke arah Marni yang tampak lahap. Marni tak peduli. Ia menyantap segalanya tanpa sisa.
Gerimis mulai turun saat Marni selesai membersihkan piring-piring kotor di keran depan. Ia beranjak ke belakang, tapi gagang pintu tak bisa dibuka. Perempuan yang tak lulus SD itu pun bersandar ke dinding. Saat itulah, saat gerimis makin deras serupa gerimis yang jatuh dari kedua anak sungai matanya, ia merogoh kertas dan pulpen kecil di saku celana.
Khoiruni, Anakku tercinta. Aku ingin membangunkan sebuah istana yang bisa kaunikmati sembari memandang ilalang dari samping rumah kita. Bila malam tiba, kau bisa duduk di tangga berundak sembari menghitung bintang-bintang di atas sana.
Umpama nanti kau bermain di padang alang-alang, lalu tersesat tak tahu arah pulang, kau cukup memandang pendarnya cahaya dari kastil istana kita. Dari sana, kau akan menemukan jalan tanpa takut disergap orang.
Khoiruni, Anakku tercinta. Walau akhir ini kita terpisah suasana dan tempat berbeda, engkau mesti teguh menunggu. Percayalah, suatu hari nanti, aku datang menemuimu, dan kupastikan istana itu akan terwujud jua. Dan bila hari itu tiba, usai bermain di rumah tetangga, engkau tak perlu lagi berlari-lari menghampiriku sembari terisak, lantaran tak ada lagi yang menghinamu sebagai insan tak berharta.
Suara teriakan terdengar dari luar. Buru-buru Marni melipat kertas dan menaruhnya ke dalam saku. Sialnya, pintu terbuka. Nyonya Besar memelotot tajam. Perempuan itu mendorong Marni hingga terjungkal. Belum sempat berdiri, Nyonya Besar menarik rambut Marni dan menyeretnya ke dalam.
“Kau tak lihat tumpukan baju itu? Butakah matamu, ha?”
Nyonya Besar seketika memungut setrika yang telah dipanaskan, lalu ditempelkan ke punggung Marni. Sontak Marni meronta-ronta. Sang majikan beralih menempelkan setrika panas ke paha Marni sampai-sampai kulit dan kain celananya menempel ke tembaga.
“Kalau sampai pekerjaan ini tak selesai sejam lagi, nyawamu taruhannya!”
Kendati perihnya bekas setrika tak bisa dihindari, Marni berupaya menyetrika setumpuk pakaian yang menggunung. Disingkirkannya rasa sakit tak berkesudahan. Sampai-sampai ia teringat sesuatu. Marni menghentikan aktivitasnya. Dirogohnya saku celana. Ah, untunglah Nyonya Besar tak menyetrika paha kanannya di mana surat itu tersimpan.
Lekas-lekas Marni menyelesaikan pekerjaan. Perutnya terasa ada yang melilit. Marni berusaha mengalihkan pikiran lewat menghibur diri, jika pekerjaan ini selesai, ia bisa istirahat barang sebentar. Sayangnya, keinginan itu kandas begitu saja. Manakala pekerjaan Marni menyisakan sepotong celana yang mesti disetrika, Nyonya Besar membawa lima plastik hitam besar.
“Semua masakan harus selesai sore ini. Jangan bikin malu ke tamu!”
Akhirnya, Marni berkutat dengan daging yang teksturnya tak pernah ia jumpai di kampung. Kendati langkah kakinya agak diseret, Marni berupaya memasak semua daging. Perutnya terasa kian perih. Marni celingak-celinguk, memastikan tak ada majikan lewat atau suara derap langkah terdengar. Ia pungut dua potong cake untuk tamu, dan tiga potong daging yang baru selesai ia masak.
Aku ingin membangunkan sebuah istana untukmu, Anakku. Bukan gubuk sebagaimana rumah yang selama ini kita tempati, yang ternyata tak beda jauh dengan kandang ayam milik kepala pedukuhan. Kelak, istana itu memiliki banyak ruang dan kamar. Dan bila waktunya kau beranak pinak, engkau tak perlu memikirkan tempat tinggal. Biarkan anak cucumu tertawa lepas semau mereka. Jangan sampai mereka merasakan asinnya air mata yang terpaksa tertelan lantaran tak ada yang bisa dimakan.
Khoiruni, Anakku tercinta. Tunggulah Ibu di sana. Bila kau rindu, cukuplah berdiri di antara peron sembari memandang rel yang membujur dari selatan ke utara Hyang Argopuro. Sesekali kau mungkin akan menangis lantaran kereta tak menurunkan penumpang yang kautunggu. Tapi nanti, entah hari ini atau esok, Ibu akan kembali.
Marni menjerit saat seorang lelaki yang tak ia kenal tiba-tiba mendobrak pintu dan berusaha menindihnya. Aroma alkohol tercium pekat dari desah napas lelaki itu. Marni berusaha melepaskan diri. Sialnya, tubuh si lelaki jauh lebih besar. Ia menggerayangi Marni tak keruan.
Marni tak kehilangan akal. Pulpen yang masih digenggamnya ditusukkannya ke telinga lelaki itu. Sontak si lelaki berteriak dan merenggangkan dekapan. Marni segera berlari menyelamatkan diri. Tapi belum sampai menuruni seluruh anak tangga, si lelaki berhasil menarik Marni. Ia dorong perempuan paro baya itu ke dinding dan memepetnya. Marni berhasil menendang kemaluan lelaki itu, dan ia berupaya melarikan diri kembali. Meski kesakitan, si lelaki tak menyerah. Ia kejar Marni. Nahasnya, ia tersandung.
Lelaki itu terjatuh menggelinding menuruni tangga. Kepalanya terantuk-antuk membentur anak tangga sampai akhirnya tergeletak di lantai dasar. Matanya membelalak. Kepalanya mengeluarkan darah segar. Saat itulah, saat Marni terkesiap melihat si lelaki meregang nyawa di hadapannya, Tuan Besar berdiri tak jauh dari sana. Sorot mata majikannya itu serupa nyala api neraka.
II
Aku ingin engkau pulang, Ibu. Bukan di negara yang letaknya hanya bisa kulihat di peta dunia yang terpajang di dinding kelas. Biarlah bubungan di rumah kita menghitam lantaran tiap hari disesaki asap tungku yang menguar, itu jauh lebih membahagiakan ketimbang engkau berada di seberang dan tiada kabar berkepanjangan.
Ibu, umpama Pak Guru bertanya padaku, adakah yang lebih kering dari musim kemarau, maka hari kepergianmu jawabannya. Hari di mana roda kereta mulai melaju, lalu aku berlari-lari seraya berteriak memanggil namamu, sejak itulah, mata air di dalam kelopak mataku mengering.
Bel berdeting tiga kali. Sekelompok anak memasuki kelas dan seketika menuju sudut ruangan, tempat di mana Khoiruni menulis surat. Lekas-lekas Khoiruni melipat dan menyelipkannya ke dalam buku paket. Salah seorang berupaya merebut, namun Khoiruni menghalau tangan anak itu.
“Bah! Anak TKI sedang menulis surat untuk ibunya,” seru Anwar yang disambut gelak tawa.
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba mereka mulai bernyanyi.
“Anak TKI nulis surat… Anak TKI nulis surat….”
Mereka bukan sekadar meneriaki Khoiruni anak TKI. Mereka juga membuat serbuk kertas, lalu ditaburi ke kepala Khoiruni sembari kembali bernyanyi “Anak TKI”.
Khoiruni tersudut sendirian tanpa ada uluran tangan. Ia merunduk serupa pohon tercerabut dari akar. Kelakuan teman sekelasnya baru berhenti manakala guru geografi masuk ruangan. Di sepanjang pelajaran, Khoiruni tak sanggup memperhatikan. Ia terus merunduk dan memutuskan membuka buku paket.
Aku tak ingin engkau membangunkan istana untukku, Ibu. Sebab mimpi itulah yang melahirkan jarak dan memisahkan seorang ibu dan anaknya. Aku mesti merunduk ke arah bumi, lalu menunjuk arah langit sembari berdiri di tepi rel selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Engkau tak perlu bersedih hati, umpama sumur mengering dan aku mesti ke sumber mencari mata air. Ular, kalajengking, atau tawon tak akan menyerang bila tak aku ganggu. Malah, aku bisa bersenandung sebab aku tahu, ujung pelangi kerap berlabuh di sumber mata air itu.
Engkau juga tak usah khawatir, bila musim hujan, derasnya air langit akan membasahi lantai. Padahal dengan begitu, aku leluasa memungut daun talas dan membuat rumah-rumahan. Atau, aku bisa memotong gedebok pisang dan bermain seluncuran.
Ibu, sesungguhnya aku amat membenci istana. Sebab pada istana, aku takkan lagi bisa menghitung bunyi tokek, mencongkel bilah bambu di dapur yang menyimpan uang logam, atau mendengar derek timba sumur tiap waktu. Bisaku hanya berharap, engkau lekas pulang tanpa membawa mimpi membangun megahnya bangunan. Biarlah kita menjadi insan tak berharta, hina dalam pandangan manusia, tercampak dalam pergaulan, atau melarat perihal makan, asal aku bisa memandangmu, Ibu, aku terima segala derita.
Khoiruni tak sadar jika pelajaran telah usai, bahkan gurunya itu telah meninggalkan ruangan. Ia tersadar saat suasana kelas mulai riuh akan murid-murid yang bersiap pulang. Sayangnya, saat ia hendak memasukkan buku paket ke dalam tas, Anwar berhasil merebut dan memungut surat.
Seisi kelas tertawa saat Khoiruni berlari mengejar-ngejar Anwar. Sialnya, anak lelaki itu melempar surat ke salah seorang di belakang, dan memintanya membaca isi surat lewat suara lantang. Khoiruni kembali berlari ke belakang, ke arah anak perempuan yang tengah membaca suratnya. Namun, belum sampai Khoiruni merebut, anak perempuan itu kembali melempar ke teman yang lain dan disusul dengan membaca isi surat.
“Woi, Teman-Teman. Ada anak TKI mau bangun istana di desa,” celetuk Anwar yang disusul gelak tawa seisi kelas. “Tujuh tahun dia menunggu ibunya membangun istana, tapi ibunya tak kunjung datang.” Seisi kelas kembali tertawa. Kali ini, mereka menciptakan nyanyian perundungan, “Anak TKI mau bangun istana… Anak TKI mau bangun istana… Anak TKI mau bangun istana….”
Seusai itu, Anwar dan lima kawannya menari dan mengelilingi Khoiruni seraya bernyanyi anak TKI. Sementara teman yang lain, ada yang menabuh meja mengiringi tarian, serta ada pula yang menaiki kursi dan berteriak tak keruan.
Suasana mulai tenang manakala anggota kelas lain berhamburan keluar. Satu per satu penghuni kelas meninggalkan Khoiruni yang sesenggukan sendirian. Ia hanya mengusap air mata, lalu beranjak pulang. Di sepanjang jalan, teman-temannya yang pulang sembari mengayuh sepeda dan menyalipnya yang berjalan sendirian kembali meneriaki Khoiruni.
“Anak TKI mau bangun istana… Anak TKI mau bangun istana… Anak TKI mau bangun istana….”
Khoiruni terus merunduk. Ia tak sanggup mendongakkan kepala. Sampai akhirnya, ia berhenti melangkah musabab mendengar teriakan seorang lelaki pengembala kerbau yang terbirit-birit mengejar binatang peliharaan. Rupanya, dua ekor kerbau tengah melarikan diri dan menyisakan temali yang masih melekat di batang pohon bajur. Mendapati tampar yang lumayan panjang, Khoiruni tahu apa yang mesti ia perbuat sekarang. ***
.
.
*Kalimat pertama di cerpen ini terinspirasi dari kalimat pembuka cerpen M Shoim Anwar yang dimuat di Jawa Pos, 1 Februari 2015, yang berjudul “Jangan ke Istana, Anakku”.
.
.
Nurillah Achmad. Alumnus TMI Putri Al-Amien Prenduan, Sumenep, dan Fakultas Hukum Universitas Jember. Novel terbarunya Berapa Jarak Antara Luka dan Rumahmu? (2023). Penulis tinggal di Jember.
.
Mimpi Sebuah Istana. Mimpi Sebuah Istana. Mimpi Sebuah Istana. Mimpi Sebuah Istana. Mimpi Sebuah Istana. Mimpi Sebuah Istana.
Leave a Reply