Cerpen, Kompas, Sunlie Thomas Alexander

Mo Thian Liang

Mo Thian Liang - Cerpen Sunlie Thomas Alexander

Mo Thian Liang ilustrasi Uuk Paramahita/Kompas

5
(1)

Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Kompas, 03 September 2023)

KETIKA pertama kali mendengar dari temanku Yakobus Chin Kim Fat atau yang lebih karib kami sapa A Fat bahwa sebuah Goa Maria akan dibangun di lereng timur Mo Thian Liang, aku langsung teringat pada satu peristiwa besar di masa kecilku: penampakan sesosok perempuan suci di puncak bukit itu.

Itu menjelang Pemilu 1982, ketika banyak orang China yang masih menyandang status WNA, termasuk ayahku, tiba-tiba memperoleh kemudahan untuk menjadi WNI dengan syarat harus menusuk gambar beringin pada hari pencoblosan.

Dalam bahasa Hakka, Mo Thian Liang artinya Bukit Menggapai Langit. Entahlah kenapa ia dinamakan demikian, tak ada yang tahu. Kata ayahku, memang sudah begitu bukit itu disebut sejak zaman kolonial.

Untuk sampai ke bukit yang rimbun oleh pepohonan karet itu, dari belakang ruko, kami hanya perlu meniti sebuah jembatan kecil dari batang bambu yang terbentang di atas sungai kecil penuh kotoran mengambang. Ya, di atas badan sungai yang dijadikan jamban itu berdiri tujuh buah bilik kayu termasuk milik keluargaku.

Namun dari lereng hingga ke puncak bukit adalah kawasan teduh yang mengasyikkan, kendati saban waktu kami mesti melumuri badan dengan krim antinyamuk serta waswas bakal melihat jin berwajah seram tiba-tiba menyeringai di hadapan kami. Sebagian besar batang-batang karet di sana adalah milik orang-orang China yang telah turun-temurun berdiam di sisi barat daya bukit, sebagian kecil lagi hutan karet tak bertuan yang boleh disadap siapa saja.

Mencari buah karet, itulah yang dulu sering kami lakukan. Terutama pada musim permainan adu buah karet. Bepangkak, orang-orang Melayu menyebutnya. Dua buah karet disusun bertingkat lalu dipukul, yang kalah tentu saja yang buah karetnya pecah.

Setiap kali musim buah tiba, di malam hari bukit kecil itu akan ramai dengan para pemburu kalong yang bertandang dari seantero wilayah Belinyu. Hal ini lantaran di sana juga tumbuh subur beragam jenis pohon buah-buahan mulai dari durian, rambe, manggis, duku, sampai langsat.

Kami tentu tak mau kalah. Seperti saat mencari buah karet, kami pun datang membawa kantong keresek besar. Ya sembari mengendap-endap, berpura-pura mencari buah karet. Apabila pemilik pohon duku atau manggis yang kami incar tak kelihatan bayang-bayangnya, maka selincah monyet kami pun bergegas memanjat ke atas pohon. Memetik duku dan manggis sampai berkantong-kantong, sebagiannya bahkan kami lahap di atas dahan. Beberapa kali pula kami berhasil mendapatkan durian ranum yang jatuh berdebum di antara semak belukar.

***

“Kau masih ingat waktu dikejar-kejar A Miau kan?” tanya A Fat lalu terkekeh di telepon. Aku ikut tertawa mengingat kejadian pada saat kami duduk di kelas empat SD itu. A Miau bukan saja mengejarku sambil mengacungkan parang, tetapi kemudian juga melaporkanku kepada ayahku setelah ketahuan bahwa akulah yang telah mencuri manggisnya hingga sekarung.

Baca juga  Rumah Baru Budi

Namun itu bukan cerita terkonyol di masa kanak-kanak kami. Lagi pula kami tahu bahwa A Miau tidaklah mungkin membacokku. Cerita yang menimpa teman kami A Fui jauh lebih seram. Betapa tidak, ia menemukan sebuah tengkorak berambut panjang tersembul keluar di bawah sebatang karet. Ya, tengkorak manusia. Sehingga bukan ia saja yang lari terbirit-birit, kami pun demikian.

Maklumlah, Mo Thian Liang memang dipenuhi oleh kuburan China. Separuhnya masih disembahyangi pada hari raya Chin Min dan Chit Ngiat Pan. Tetapi separuh lagi hanya tinggal gundukan makam terbengkalai, bahkan sejumlah kuburan tak lagi memiliki nisan dan sudah nyaris rata dengan tanah.

Yang jelas setiap kali tahu aku hendak naik ke bukit, ibuku selalu berpesan agar aku tak kencing sembarangan, tidak omong jorok, dan hati-hati jika melangkah, jangan sampai menginjak makam. Bukit itu juga dipercayai dihuni oleh kaum siluman. Bahkan hingga beberapa tahun silam saat aku mudik dan berjalan-jalan ke atas bukit, masih saja aku temukan sesajen di depan batu-batu besar.

Penampakan makhluk halus? Itu memang kejadian lumrah. Ada yang melihat tetangga mereka yang telah lama mati, ada yang melihat celeng bertanduk sapi sedang makan daun karet, ada pula yang melihat sesosok nenek berjalan tertatih-tatih tanpa menginjak bumi. Namun begitu, belum satu pun jin, siluman, atau arwah penasaran yang aku dan kawan-kawanku pergoki di sana.

Ah, mungkin saja kami terlampau penakut untuk ditakut-takuti. Selain selalu mengucapkan “Akek-Anek, kamek numpang liwat” dengan sopan setiap naik ke bukit, biasanya begitu mendengar anjingku Bong Keu Lin yang kerap ikut dengan kami melolong panjang, kami sudah terpontang-panting. Ya, sampai penampakan perempuan suci yang menggemparkan itu terjadi.

***

Peristiwa itu terjadi petang hari, seminggu setelah aku menerima komuni pertama. Tiga hari setelah penis Lim Wei Kwet, teman sekelasku, membengkak besar usai ia mengencingi sebuah batu patok tanah di kaki bukit.

Betul, akulah salah satu saksi penampakan itu. Begitu pula Hon Nen, anak tetangga yang mendaki bersamaku. Sayangnya, kami tidak menyaksikan dari jarak cukup dekat. Yang kami lihat hanyalah sesuatu berselimut cahaya di pucuk pohon karet. Berbeda dengan sejumlah saksi lain yang mengaku bahwa mereka melihat sosok itu dengan cukup jelas. Dan semuanya bersepakat ia adalah seorang perempuan jelita bergaun putih panjang. Begitu cantiknya, sehingga tak mungkin ditandingi oleh perempuan cantik mana pun termasuk artis-artis Hong Kong.

“Kwan Jim Phu Sat!” teriak Liu Thin Kon tersungkur di atas tebaran daun karet begitu sosok itu raib dari pandangan seperti ditiup angin.

“Bunda Maria!” suara Chin A Mui bergetar ketika ia jatuh berlutut di kebun sayurnya. Ember berisi kotoran babi yang dipergunakannya sebagai pupuk kandang terlepas dan tumpah berhamburan. Hanya dalam waktu singkat, penampakan itu sudah tersiar ke seluruh kota kecamatan Belinyu.

Baca juga  Aroma Kopi

“Kwan Jim Nyong hian sin!” orang-orang berdengung seperti lebah. Namun Li Ngian Fuk, yang selalu mengeja Robert nama baptisnya jadi Lophet (artinya lobak), mengayuh sepeda ontel seperti pembalap ke gereja. Di pintu pastoran, nyaris ia bertabrakan dengan Pastor Willem van Haring. Dengan bahasa Indonesia terbata-bata, yang sama lucu nada dan artikulasinya dengan gaya bicara sang pastor, ia pun menyampaikan apa yang ia lihat itu dengan keringat bercucuran. Tak lama kemudian beredarlah kabar bahwa Li Ngian Fuk telah menerima pesan dari Bunda Maria yang menampakkan diri itu agar umat Paroki Belinyu berdoa Novena Tiga Kali Salam Maria selama sembilan malam berturut-turut untuk pemulihan dosa.

“Beliau bukan Ma-li-a! Jelas-jelas itu Dewi Guan Yin. Pakaian yang dikenakannya itu busana Hanfu. Dan di tengah keningnya ada bindi merah,” bantah Lim Bun Cai yang pada saat penampakan sedang menyadap karet.

“Tak benar omongan A Cai. Matanya sudah rabun. Pakaian perempuan itu persis seperti pakaian patung Bunda Maria di gereja,” tukas Lim Nyuk Cin, yang sebetulnya dibaptis di Gereja Protestan, tak mau kalah.

“Ada mahkota di atas kepala perempuan itu,” ujar penyaksi lain, sambil membuat tanda salib.

“Dewi Guan Yin juga memakai hiasan mahkota berornamen Jiloi Fut.”

Tetapi nenekku, yang belum lama dipermandikan dengan nama Elizabeth dan tak pernah lalai membakar dupa di sudut toko setiap subuh, langsung berlutut di kaki ranjangnya, memohon keselamatan kepada Bunda Maria dan Dewi Guan Yin sekaligus.

Tentu tak semua orang yang mengaku sebagai saksi itu dipercayai oleh orang-orang. Bong Fat yang suka merancap sambil memelototi model bikini kalender saat mandi di kolong, contohnya, langsung disisihkan. Begitu pula Liu Sui On, penjaja ikan keliling yang kerap ketahuan mengurangi timbangan.

***

Toh, cerita tetaplah berkembang dengan liar tanpa dapat dicegah. Ketika aku pulang sekolah keesokan siangnya, lokasi penampakan di atas bukit sudah hiruk-pikuk oleh orang-orang. Sebagian adalah wajah-wajah yang tak kukenal yang entah datang dari mana saja. Semakin sore semakin ramai, membuat Mo Thian Liang yang senyap menjadi tak ubahnya suasana pasar. Lalu sebagian dari mereka mulai menyalakan lilin putih di tangan dan berdoa Ban Fuk Ma-li-a.

Kelompok lain tak mau kalah, segera menancapkan dupa-dupa merah di sekeliling area penampakan. Separuh dari mereka meratap-ratap pilu memanggil nama sang dewi welas asih. Membuatku nyaris ikut menangis.

“Gereja tak bisa mengakui itu sebagai penampakan Bunda Maria tanpa melewati penyelidikan mendalam. Jadi, saya ingatkan kepada umat, jangan memercayai atau menyebarkan kabar itu lagi,” tukas Pastor van Haring dalam khotbahnya pada misa Minggu pagi dengan ekspresi cemas bercampur gusar. Tetapi kata-katanya itu nyaris tak berefek ketika umatnya—terutama mereka yang belum lama dibaptis—melihat betapa ramainya orang-orang pergi bersembahyang ke kelenteng. Pada hari ketiga, sejumlah umat, termasuk bibiku yang memaksaku ikut serta, mulai berhimpun dari rumah ke rumah untuk berdoa Novena bersama.

Baca juga  Wayang Potehi: Cinta yang Pupus

Sampai dua minggu selepas penampakan, kerumunan tak juga surut. Bahkan orang-orang Melayu—yang Muslim—mulai ikut menyambangi bukit kecil itu untuk menyaksikan keramaian. Tak seorang pun tampaknya sanggup melarang mereka berhimpun saban sore di Mo Thian Liang. Tidak juga Pak Camat, orang Palembang bertubuh tambun itu, yang akhirnya turun ke lokasi pada hari kesembilan dengan kawalan polisi dan tentara. Dalam bahasa Melayu lokal namun berlogat seberang, ia mengimbau agar masyarakat segera pulang ke rumah masing-masing dan tidak lagi berkumpul.

“Demi menyukseskan pemilu yang diamanatkan oleh UUD ’45 dan demokrasi Pancasila, kita semua harus menjaga stabilitas agar situasi tetap kondusif,” demikian katanya mengakhiri imbauan lalu bersama stafnya membagi-bagikan kaus kuning bergambar pohon beringin kepada semua orang.

“Nurut kau, yang nampakkan diri itu Dewi Guan Yin atau Bunda Maria? Kata kau dulu, kau saksikan sendiri penampakan itu kan?” suara A Fat di telepon. Aku tergelagap, tak siap menerima pertanyaan seperti itu. Mendadak aku jadi teringat pada sesuatu. Yang aku temukan di atas bukit bersama anjingku Bong Keu Lin beberapa hari sebelum peristiwa penampakan. Yakni bangkai puluhan ekor ular berbagai jenis di antara serakan daun karet. Anehnya lagi, sore harinya ketika aku kembali ke Mo Thian Liang, bangkai-bangkai itu sudah lenyap tanpa jejak.

Ah, Dewi Guan Yin konon pernah mengutuk seekor ular yang ia tolong tetapi malah mematuknya dan Bunda Maria sering dilukiskan menginjak kepala ular. Aku tercenung.

“A Loi? Loi?” A Fat memanggil-manggilku di ujung telepon. ***

.

.

Sunlie Thomas Alexander, lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Sudah menerbitkan lima buku kumpulan cerpen. Bukunya Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu memperoleh Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kemendikbud 2020 untuk kategori Kritik Sastra/Esai. Cerpennya “Keluarga Kudus” meraih penghargaan Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2021.

Uuk Paramahita, lahir di Denpasar, Bali, pada April 1978. Lulusan Seni Rupa Lukis ISI Denpasar dan sekarang tinggal di Denpasar. Aktif berpameran sejak 20 tahun lalu, di antaranya Magic of Bali; Ira Kizky Gallery, Frankfurt, Jerman, tahun 2014; dan Awakening Teh Villa Gallery, Surabaya, tahun 2023.

.

.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!