Cerpen, Kaltim Post, Royyan Fadh

Pria dan Purnamanya

Pria dan Purnamanya - Cerpen Royyan Fadh

Pria dan Purnamanya ilustrasi Jumed/Kaltim Post

3.6
(5)

Cerpen Royyan Fadh (Kaltim Post, 27 Agustus 2023)

MALAM hari di mana bintang bertaburan dan bulan menyendiri dalam kelam, seorang pria berjalan menunduk. Ia menyeret langkahnya. Sepatu crocs-nya yang sedikit longgar sesekali meluncur di atas trotoar berlapis keramik.

Saat itu, langit sedang mendung dan daun-daun melompat-lompat berlarian diterpa angin. Kaus bergambar kartun Dragon Ball pria itu pun tampak berkibar tersapu udara dingin.

Kebanyakan orang akan mengurungkan niatnya untuk keluar rumah ketika mendung, terlebih saat hari gelap, sedangkan mereka yang masih berada di luar biasanya mempercepat lajunya. Klakson pun lebih sering terdengar untuk menyingkirkan segala sesuatu yang menghalangi laju sampai ke tujuan. Namun, pria itu melangkah dengan santai, keluar dari rumahnya.

Dengan tenang, ia menunggu jalan benar-benar terbuka lapang untuk diseberangi. Setelah empasan angin dari laju kendaraan menabrak wajahnya yang datar usai, ia lalu melintasi zebra cross yang sepi. Di seberang jalan itu, masih tampak keberadaan sebuah gerobak hijau yang ditujunya. Bibir pria itu sedikit melekuk.

Seorang bapak berperut buncit memasang terpal biru sebagai atap. Tak jauh darinya, istrinya sibuk menggoreng tahu serta menjaga nyala api kompor dari tiupan angin kencang. Sementara itu, anak perempuan mereka berdiri menonton secara langsung kedua orangtuanya bekerja.

“Halo, adik manis,” sapa pria itu dengan mata yang berbinar.

Si anak perempuan yang tingginya sudah sedikit melebihi ban gerobak hanya tertawa malu-malu, menampakkan giginya yang ompong di bagian tengah karena terlalu banyak mengonsumsi makanan manis.

“Pak, tidak pakai lontong, pedas, satu,” ucap pria itu sembari turut berdiri menonton di samping anak perempuan si penjual.

Tanpa dirapalkan, bapak itu sebenarnya sudah hafal pesanan pelanggan setianya. Si bapak pun hanya mengangguk. Setelah terpalnya yang diikatkan pada atap gerobak, tiang listrik, dan pagar besi gedung itu tampak siap menghadapi angin dan hujan, bapak itu pun menyiapkan pesanan si anak muda dibantu istrinya.

Baca juga  Senja di Atas Kolam

“Kamu beruntung, adik manis. Lihat itu, bapak dan ibumu rela bekerja keras untuk kamu,” pria itu berbisik pada si anak perempuan yang hanya dijawab senyum simpul.

Menggunakan cuo, bapak itu mengulek saus kacang. Ia ikut tersenyum tatkala melihat anak semata wayangnya tersenyum padanya.

Tak lama kemudian, sebungkus tahu tek itu lalu dimasukkannya ke dalam plastik bening yang sudah ditambahkan kerupuk kuning.

“Terima kasih,” ucap pria itu sembari menyerahkan uang bergambar wajah Frans Kaiseipo.

Pria muda itu selanjutnya balik melangkah menuju kediamannya. Saat titik-titik air hujan mulai berjatuhan, barulah ia mempercepat langkahnya. Bukannya karena ia mengira bahwa hujan itu dapat membuatnya sakit tetapi karena takut kalau makanannya bisa jadi ikut basah. Andai saja titik-titik air itu turun sebelum ia sampai di penjual tahu tek, tentu ia akan menikmati sesuatu yang dahulu ibunya persilakan di mana kebanyakan ibu lainnya melarang: bermain hujan.

Dengan tarikan napas yang cepat, ia kemudian memasuki rumah yang luas untuk ditempati satu orang. Isinya cukup berantakan. Namun, tidak seberantakan dulu.

Di atas kasur, ia menikmati makan malamnya. Tahu tek itu sengaja dipilihnya. Tanpa lontong, setidaknya ia bisa selamat dari asupan karbohidrat berlebih. Pria itu sudah merasakan sendiri bahwa memakan zat yang kemudian dipecah menjadi gula itu adalah bentuk pemborosan. Gula adalah semacam candu yang akan membuatnya mudah lapar sehingga semakin banyak pengeluaran untuk makan. Belum lagi risiko diabetesnya.

Dalam berhemat, hal utama yang perlu ia jaga adalah kesehatan. Menurut informasi yang sering kali beredar di algoritma media sosialnya, makan malam tidak baik untuk kesehatan. Namun, ia tidak akan bisa tidur dengan kondisi perut yang berisik. Kurang tidur rasanya akan lebih berbahaya bagi kesehatan daripada sekadar makan malam.

Baca juga  Sepotong Kaki untuk Ayah

Saat jarum pendek jam menunjuk ke angka sepuluh, perutnya sudah tenang. Ia bernapas lega sambil menyenderkan diri di dinding beralas bantal. Pria itu menghindari posisi tidur lantaran saat lambung sedang mengeluarkan asamnya yang teramat pekat untuk mencerna, katup lambung yang menjadi pembatas dari kerongkongan bisa rusak. Oleh karena itu, ia meninggikan kepalanya agar katup lambung terhindar dari asam. Ia jadi teringat sang ayah yang selalu mengingatkannya untuk tidak tidur setelah makan.

Dalam kesendirian itu, tibalah pikirannya yang berisik. Sudah dua tahun anak tunggal itu telah kehilangan kedua orangtuanya pasca Covid-19. Akibat duka itu, sempat dirasakannya hampir seluruh bagian dari dirinya ikut lenyap.

Satu tahun sebelumnya, tiada hari baginya tanpa menyaksikan kebahagiaannya bersama orangtuanya di suatu waktu yang terhenti: album foto. “Pak, Bu, Roni rindu,” bisiknya sambil mengelus-elus gambar kedua orangtuanya. Ia terus mengharap jawaban dari mereka, ingin terus berhenti di waktu itu tetapi waktu terus berjalan.

“Jadi pria tidak boleh cengeng!” Kalimat yang dahulu sempat diucapkan bapaknya menghentikan air matanya menetes. Roni selalu menekan emosinya sehingga hanya tampak wajahnya yang memerah.

Kemauan untuk bisa bertahan menghadapi kondisi sulitnya mengantarkan Roni untuk menjalani terapi psikologis.

“Bapakmu hanya ingin kamu menjadi seorang lelaki yang kuat, Ron. Namun, perlu kamu tahu, menangis sebenarnya bukanlah tanda kelemahan,” jelas seorang psikolog.

Saat itu, air mata yang lama ditekan Roni pun meledak luar biasa. Kehilangan itu sungguh terlalu tiba-tiba dan sungguh menyesakkannya. Padahal sebentar lagi ia akan menyelesaikan skripsinya; membanggakan keduanya.

Kemudian, setiap seminggu sekali ia rutin bertemu psikolog yang sama, yang selalu memberikannya pertanyaan seputar kabarnya dan kehidupannya.

Baca juga  Bara Buku

“Apa yang kamu suka?”

Sambil sedikit tersenyum Roni menjawab, “Saya suka nonton Dragon Ball, Mba.”

Psikolog itu hanya mengangguk-angguk tanpa mencemooh kesukaan konyol pria itu dan tanpa mempertanyakan mengapa ia menyukainya.

Namun, Roni menjelaskan alasannya dengan semangat bercampur suara lirih. “Aku suka cerita itu, terutama ketika Goku menjadi gorilla saat menatap purnama. Aku juga merasa seperti itu. Ada sebuah amarah besar, sebesar gorilla raksasa. Mengapa hidupku tidak sempurna selayaknya purnama yang utuh?”

Selapis cairan bening melapisi mata sang psikolog. “Lalu?”

“Tapi Goku selalu punya tujuan, punya teman-teman, selalu punya sesuatu yang membuatnya bisa semakin kuat.”

Psikolog itu mengangguk-angguk membenarkan. “Jadi, apa yang sebenarnya kamu ingin lakukan, Ron?”

“Aku ingin sehat, segera menyelesaikan skripsiku, menjadi seorang guru, menghibur anak-anak, dan menunjukkan bahwa sesungguhnya bulan itu selalu purnama, selalu bulat sempurna. Hanya saja, kegelapan seperti kebodohanlah yang menutupinya.”

Senyum lebar hadir di wajah sang psikolog. “Sepertinya hari ini bisa menjadi sesi terakhir kita.”

Saat itu, sesi terapi Roni benar-benar berakhir. Kini, sembari menunggu pencernaan lambungnya selesai, ia membuka kembali laptopnya untuk mempersiapkan ujian sarjananya yang telah dijadwalkan dalam beberapa hari lagi. ***

.
Pria dan Purnamanya. Pria dan Purnamanya. Pria dan Purnamanya.

Loading

Average rating 3.6 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!