Cerpen M Rosyid HW (Media Indonesia, 27 Agustus 2023)
“INNALILLAHI wa inna ilaihi rajiun. Telah meninggal dunia Bapak Khoiri, RT 12, RW 03.”
Warta duka dari speaker masjid bergema. Warga kasak-kusuk dan saling mengetuk pintu. Berkabar tentang kematian kepala dusun mereka.
“Pak Kamituwo meninggal! Pak Wo meninggal!”
Masyarakat Dusun Banjararum berduka. Warga membuka kembali catatan hidup pejabat desa mereka. Kamituwo Khoiri selalu terdepan dalam kerja bakti, paling sigap saat meronda malam, dan paling siaga saat warga terdampak musibah— sakit, covid, atau gagal panen.
“Kamituwo Khoiri ini orang baik, ya?” tanya Kiai Imam pada warga sebelum melepas jenazah ke kuburan. Penduduk serempak mengangguk dan menjawab “Ya” dengan gema yang menggaung seantero pelosok dusun.
“Kamituwo Khoiri: kamituwo terbaik sejak Banjararum berdiri!”
***
“Ibu senang jika kau jadi pamong, Nak. Menggantikan Kamituwo Khoiri,” kata Ibu Agus tiba-tiba. Bahkan, matahari belum sepenuhnya terbit dan pagi masih berupa remang-remang cahaya.
“Kerja kantoran. Di balai desa,” lanjutnya.
Agus masih suntuk mengaduk-aduk dedak dengan nasi sisa kemarin, kemudian melemparkannya sekepal-sekepal. Ayam-ayam berkerumun berdatangan, lalu mematuk-matuk. Jago-jago berkukuruyuk. Para betina menggiring anak-anak mereka. Demi sepatuk, dua patuk, atau berpatuk-patuk sarapan pagi.
Ibunya punya gelagat jika Agus akan pergi dari Banjararum. Hidup di dusun tak pernah mudah. Resmi setahun Agus lulus sarjana dan terus beternak. Ia sudah jadi guru honorer dengan gaji tak memadai. Entah sampai kapan, ia diangkat jadi PNS.
Ibunya berujar: hidup akan lebih mudah jika Agus jadi pamong. Gaji bulanan aman. Sawah ganjaran juga pasti di tangan. Agus hanya mengangguk sambil memandangi ayam-ayamnya. Pikirannya menerawang jauh: apakah ia pantas dan mampu jadi pamong? Seperti laku Kamituwo Khoiri, pamong berarti mewakafkan jiwa dan mengabdikan raga untuk warga. Sepenuhnya. Seutuhnya.
Agus sebenarnya cukup aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Ia wakil ketua Karang Taruna Desa. Bahkan, ia didukung teman-temannya untuk jadi ketua di periode berikutnya. Ia juga jadi bagian dari Remaja Masjid. Ia juga telah menyandang gelar sarjana pendidikan meski harus bersusah payah. Terlahir miskin dan yatim, ia harus banting tulang demi menempuh sekolah. Ayam-ayam dan kambing-kambing ia rawat. Pisang goreng, ote-ote, dan tahu isi, dijual ibunya. Dulu, demi modal kuliah ke kota-kabupaten, Agus menjual tiga ekor kambingnya. Meskipun jarang, Agus terkadang juga terbantu dari dana sosial anak yatim.
Pamong sarjana tentu akan lebih diutamakan, batin Agus. Di Banjararum, hanya ada tiga pemuda sarjana—dia, Bejo, dan Syamsul. Bejo akan jadi guru PNS seperti ayahnya. Syamsul lebih berminat pada bisnis. Meneruskan jejak ibunya, seorang pedagang pasar.
Agus pun bertekad jadi pamong. Demi senyum ibunya. “Martabat keluarga kita juga akan terangkat!” sabda ibunya.
***
Kematian Pak Khoiri meninggalkan posisi kamituwo yang kosong. Bu Syamsiyah senang bukan kepalang. Bu Syamsiyah sudah mengincar jabatan kamituwo sejak lama. Tidak untuk dirinya sendiri, tapi untuk anaknya.
Bu Syamsiyah cukup percaya diri mengajukan anaknya maju pamong.
Sebagai pegiat PKK, Bu Syamsiyah cukup dekat dengan Pak Lurah. Ia juga pengurus Yayasan Anak Yatim tingkat desa. Modal sosial sudah cukup. Masalahnya hanya anaknya terlampau pendiam seperti batu.
Bu Syamsiyah seorang pedagang kaya di Banjararum. Rumahnya besar dan bertingkat. Satu-satunya rumah bertingkat di Dusun Banjararum. Dapat dibilang, Bu Syamsiyah ialah tiang penyangga keluarganya karena kerja suaminya tak jelas. Hanya dua sapi menemani Pak Jayadi di kandang. Terkadang ia terlihat berangkat ke tegalan dan pulang dengan satu sak rerumputan.
“Tujuh ratus lima puluh juta cash sudah siap sedia, kalau Pak Lurah meminta!” kata Bu Syamsiyah. Seperti ular, ia mengucap cash dengan ‘S’ yang berdesis-desis mantap.
“Bukankah suap dilarang agama?” tanya suaminya dengan nada rendah.
“Kita sedang membeli masa depan anak, Pak!” jawab Bu Syamsiyah meninggi.
“Apa kau mau anakmu jadi peternak tak jelas sepertimu, ha!? Kau jangan sok beragama!”
“Hidup pamong itu enak. Terjamin seumur hidup!”
“Lagi pula, kau bisa menggarap tanah ganjaran. Agar tak hanya pelihara sapi!”
Bu Syamsiyah terus mencerocos bicara. Suaminya diam mematung tak berkata-kata.
“Lama-lama, Syamsul pasti akan terbiasa bermasyarakat,” Bu Syamsiyah menutup ceramahnya.
***
“Lebih baik kau datangi Pak Lurah. Dia punya calon pamong atau tidak,” jelas Kiai Imam.
Agus menatap map merah di meja. Berkas administrasinya telah lengkap. Kedatangannya kali ini demi meminta restu dan petuah tokoh masyarakat.
“Seandainya Pak Lurah tak punya calon, kau dapat mengajukan diri.”
Kiai Imam ingin melempar tanya apakah Agus punya duit atau tidak. Namun, ia mengurungkan niatnya. Ia terlampau tahu tentang Agus dan keluarganya. Ekonominya sulit. Duitnya sedikit.
Ia juga ingin menjelaskan kalau jadi pamong harus setor minimal Rp 500 juta. Itu angka terkecil. Jika jabatan pamong dilelang lurah di balik layar, harga bisa naik seperti sembako di musim paceklik. Tentu, lurah butuh amunisi dana untuk pemilihan kepala desa periode selanjutnya. Namun, Kiai Imam memendam niatnya. Ia tak hendak memenggal harapan pemuda di depannya.
Dalam palung hatinya, Kiai Imam merasa sebenarnya Agus akan jadi penerus terbaik kamituwo sebelumnya. Pengalaman hidup penuh api dan bara menempa Agus jadi pedang besi yang tangguh. Jiwa sosialnya tinggi. Hormat pada orang-orang tua. Dekat anak-anak muda. Namun, Kiai Imam berpikir ia tak cukup bertaji. Jika sudah berurusan dengan dana—apalagi dalam jumlah besar, doa dan nasihat tak akan cukup membantu. Kiai Imam melepas Agus malam itu sambil bergumam lirih: jabatan tak akan didapat tanpa uang muka.
Gosip-gosip siapa kamituwo selanjutnya terus menghangat. Di sawah-sawah, di warung-warung, di masjid, dan langgar; warga asyik bergunjing dan berdebat.
“Tak ada pamong tanpa restu lurah!”
“Nah, tak ada restu gratis! Kecuali kau saudara lurah!”
“Bagusnya! Tak ada saudara lurah di Banjararum!”
“Lurah tak mungkin mau pamong yang tak setor duit!”
“Jabatan pamong seumur hidup. Tak bisa ditebus murah!”
“Dengar-dengar, harganya setengah miliar!”
“Semoga pamongnya sebaik Kamituwo Khoiri!”
Agus bukannya menutup telinga tentang desas-desus uang sogok bagi siapa pun yang berniat jadi pamong. Namun, Agus ingin memastikan dengan telinganya sendiri. Dengan matanya sendiri. Ia mendatangi Mbak Mar—suami Kamituwo Khoiri.
“Mas Khoiri dulu jadi pamong karena cucu Mbah Hamid. Kau tahu sendiri kan? Kalau Mbah Hamid orang pertama yang buka dusun. Suamiku tak pernah menyogok. Entah dusun sebelah.”
Mbak Mar berkisah perihal saudaranya yang nyaris jadi kamituwo di dusun sebelah. Saat Orde Baru digdaya. Namun, akibat perbedaan politik dengan lurah dan camat, saudaranya tak pernah diangkat.
“Pak Muin pun jadi pamong. Lurah mengangkat saudara sendiri!” simpul Agus.
“Siapa pun bisa jadi pamong. Asal mendekat dan beramah-ramah dengan lurah.”
***
“Kalau Nak Agus jadi pamong. Pasti akan sangat membantu saya. Saya sudah tahu kerja keras Nak Agus. Apalagi Nak Agus sarjana,” Pak lurah terus menjilat. Agus mendatanginya saat bulan berbentuk bulat.
“Jika saya daftar pamong, apa saya harus bayar?” potong Agus.
Menancapkan pedang tanya pada jantung persoalan. Pak lurah tak menjawab. Ia hanya diam dan diam. Ia lalu mengambil napas dalam-dalam, membenarkan posisi duduk, dan menunjuk pojok ruang tamunya. Koper hitam dengan nama Syamsiyah tertulis di sana.
“Besok, saya akan bawa nama Syamsul ke kecamatan dan kabupaten!” pungkasnya.
Agus memperkirakan berapa lembar uang dalam koper seraya menaksir harga kambing-kambingnya. Tak akan cukup, tak mungkin cukup dan tak pernah cukup. Tubuh Agus melemas seketika. Ia teringat senyum ibunya dan senyum Bu Syamsiyah. Bertahun-tahun, Bu Syamsiyah menopang hidupnya sebagai anak yatim. ***
.
.
M Rosyid HW lahir dan tinggal di Sidoarjo. Esai dan cerita pendeknya pernah dimuat di berbagai media masa. Kumpulan cerpennya sudah menjadi buku berjudul Rembulan di Bibir Teluk dan Cerita Lainnya (Pelangi Sastra, 2021).
.
.
Leave a Reply