Cerpen, Ikrom Rifa’i, Suara Merdeka

Kredo Cinta Humaeera

Kredo Cinta Humaeera - Cerpen Ikrom Rifa’i

Kredo Cinta Humaeera ilustrasi Nugroho DS/Suara Merdeka

3.7
(3)

Cerpen Ikrom Rifa’i (Suara Merdeka, 27 Agustus 2023)

AKU pulang ke rumah saat keluargaku tengah mengadakan mendak [1] atas kematianku. Sesaat setelah doa penutup dipanjatkan oleh Kiai Lemang dan Rama Tua tampak tengah membagikan beberapa hidangan, sambil beruluk salam, aku melongok lewat pintu ruang tamu. Sontak, para jamaah yang hadir terkejut menatapku‚ bahkan tak sedikit yang ketakutan‚ seperti melihat arwah gentayangan yang baru dibangkitkan dari kuburan. Bagaimana mungkin seorang lelaki yang telah dinyatakan meninggal lebih dari setahun silam tiba-tiba kembali ke rumah, pikir mereka.

Tentu, semua orang mengira bahwa aku bukan lagi manusia seutuhnya. Namun, setelah mereka mendapati bahwa kakiku masih menampak di lantai dan tak mendapati satu luka pun dalam tubuhku, mereka akhirnya percaya juga. Bahwa inilah aku, Dul Bahri, seseorang yang baru saja didoakan agar amal dan ibadahnya diterima di sisi-Nya, ternyata belumlah mati. Masih hidup, sehat wal afiat.

Mestinya aku merasa bungah lantaran bisa kembali ke rumah. Namun nyatanya, sehari berselang, setelah kudengar kabar bahwa Humaeera‚ seseorang yang telah berikrar akan sehidup semati denganku telah mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis, aku benar-benar seperti manusia paling nestapa di muka bumi. Padahal, delapan tahun silam, sebelum aku memutuskan untuk pergi dan bergabung dengan pasukan Amir Fatah, aku sudah berjanji akan kembali ke kampung ini untuk melamarnya.

***

“Berjanjilah untuk tidak menggadaikan hatimu pada siapa pun, maka setelah tuntas urusanku di medan jihad, aku akan kembali untuk mempersuntingmu, Humaeera!” pinta Dul Bahri kepadaku, saat terakhir kali kami bertemu, di kaki bukit ini.

“Bahkan jika kau kembali sebagai arwah sekalipun, tak akan kubiarkan hati ini diakuisisi oleh siapa pun! Lebih baik hati ini jadi pisau tumpul yang payah, daripada harus berpagut dengan batu asah yang salah,” jawabku, seperti sebuah kredo. Kami lalu berpagutan, seperti selebrasi perpisahan.

***

Di kaki Bukit Gandarwana ini, di mana seluas mata memandang hanya terhampar hijau perdu dan ilalang, aku meninggalkan Humaeera. Atas nama agama yang mesti ditegakkan, aku mantap untuk bergabung dengan pasukan Mujahidin. Dengan menenteng senapan arisaka tipe 99, yang merupakan inventaris dari pimpinan kelompok, kami bertolak ke Tegal, lalu ke Brebes, sebelum akhirnya belok ke selatan, ke arah Tasik.

Meski sungguh berat, tapi janji yang telah diikrarkan itu nyatanya membuat hati kami jauh lebih teguh. Tak seperti punggawa Mujahidin lainnya, yang seakan-akan sudah siap jika harus mati di medan perang lantaran yakin akan mendapat gelar syuhada, aku justru sebaliknya. Sebisa mungkin, aku harus selamat dari setiap pertempuran agar bisa kembali ke kampung ini, untuk Humaeera.

Baca juga  Lelaki Tua di Kursi Roda

***

Kabar soal pasukan Amir Fatah yang telah ditundukkan oleh tentara nasional itu sampai juga ke telingaku. Hambali yang mewartakan. Saat itu, bersama Dul Bahri, dia ikut bergabung dengan pasukan Mujahidin yang tengah bersiap melakukan perlawanan di wilayah persengketaan Indonesia-Belanda. Katanya di daerah Tasik.

Dengan cara yang tidak pernah dijelaskan secara detail, Hambali berhasil lolos dari penyerbuan itu. Alih-alih ikut bergerilya ke barat bersama sisa pasukan yang tersisa untuk mencari suaka, dia malah pulang ke kampung dengan membawa sepucuk surat. Katanya, itu surat dari Dul Bahri, untukku.

Sambil menangis sesenggukan, Hambali mengabarkan bahwa Dul Bahri telah gugur dalam penyerbuan di pesisir selatan Jawa itu.

“Para pasukan yang selamat memilih hengkang ke barat, ke sekitaran kaki Gunung Geber. Gabung dengan pasukan Kartosoewirjo,” tandasnya kepadaku. “Sayangnya, Dul Bahri bukan termasuk yang selamat. Sebelum tarikan napasnya yang terakhir, dia sempatkan menulis surat ini untukmu, Humaeera.”

Mendengar kabar itu, aku sungguh histeris. Nyaris pingsan. Betapa yang selama ini aku takutkan akhirnya benar-benar kejadian.

***

Kami memang diserang oleh pasukan tentara nasional. Dan terus terang, kami kelimpungan. Beberapa peleton harus menjauh dari titik pertempuran lantaran bala bantuan tak kunjung datang. Memang, ada banyak pasukan yang gugur. Namun, perlu kutegaskan di sini bahwa aku bukan salah satu dari mereka yang gugur itu!

Aku dan Hambali berada pada peleton yang berbeda. Saat suasana makin chaos, kami terpisah. Beberapa saat sebelum Anshori, pimpinan peletonku, menginstruksikan kami untuk melarikan diri ke arah barat lantaran jumlah tentara yang semakin banyak, aku bahkan melihat Hambali dan peletonnya dikepung habis-habisan. Aku pikir Hambali telah mati.

Tentu saja kabar bahwa Hambali berhasil lolos dan memutuskan untuk kembali ke kampung sambil mengabarkan bahwa aku telah mati begitu mengagetkan. Aku tak habis pikir mengapa dia melakukan hal demikian. Itu adalah kebohongan terbesar yang dia lakukan dan aku jelas tak mungkin memaafkannya.

Namun sialnya, keluargaku, Humaeera, dan seluruh warga kampung mempercayai berita bohong itu.

***

“Aku tak bisa memenuhi janjiku, Humaeera. Kamu wanita cantik dan shalehah. Aku tak mau kamu menjadi perawan tua. Menikahlah dengan Hambali, sahabatku. Dia orang baik. Dia akan jadi imam yang tepat untukmu,” begitulah tulisan di dalam surat itu. Ada bekas darah di kertasnya. Kata Hambali, itu adalah darah Dul Bahri sesaat menjelang sekarat.

Aku hampir tak percaya bahwa itu adalah tulisan Dul Bahri. Kami pernah satu kelas bersama saat mengenyam bangku Sekolah Rakyat (SR). Tapi, Hambali punya alasan yang membuat aku‚ mau tak mau‚ harus mempercayainya.

Baca juga  Pertanyaan Sri

“Tulisan orang yang tengah sekarat karena tertembak pelor jelas berbeda dari tulisan anak SR yang sehat dan waras, Humaeera,” katanya, meyakinkanku.

***

Kami bergerilya dari hutan ke hutan. Sesekali menyamar sebagai warga lokal. Sebelum sampai di Majalaya untuk bergabung dengan pasukan Kartosoewirjo, yang kami nilai memiliki kesamaan ideologi, kami sempat kehabisan logistik di Garut. Beruntunglah, di kaki Gunung Cikuray, tepatnya di sebuah pesantren terpencil, seorang ulama memberi kami bekal yang melimpah. Sayangnya, kami tak bisa berlama-lama di tempat itu lantaran tentara nasional mulai mengendus keberadaan kami. Kita harus segera bertolak, begitu kata pimpinan peleton.

Sepanjang perjalanan, bukan hasrat menaklukkan tentara nasional lagi yang membuatku tetap hidup, melainkan janji di kaki Bukit Gandarwana itulah yang membuat semangatku seakan-akan berlipat ganda. Bukankah kemenangan terbesar seorang lelaki adalah ketika berhasil menunaikan janjinya?

***

Bapak dan Ibu tampak biasa saja saat mendengar kabar kematian Dul Bahri. Malahan terlihat senang. Sejak kami menjalin hubungan selepas lulus SR, sebelum akhirnya Dul Bahri melanjutkan pendidikan ke pesantren di Jawa Timur, orang tuaku memang tak merestui hubungan kami. Belakangan, aku mulai mengetahui penyebabnya; ternyata hanya karena Dul Bahri merupakan anak dari pimpinan ranting Masyumi, sementara bapakku adalah simpatisan Partai Komunis Indonesia‚ ya, walau lebih tepatnya hanya sekadar ikut-ikutan.

Sehari selepas dihelatnya acara mitung dina [2] di kediaman Dul Bahri, Bapak malah mendesakku untuk segera menikah dengan Katamso, anak pamong desa, yang tak lain adalah kawan karibnya. Sementara Hambali, meski tak secara terang-terangan, juga mulai menunjukkan siasatnya untuk menjalankan apa yang dimanatkan dalam surat itu: menikahiku.

***

Sekitar akhir Oktober 1955, saat kami terlibat baku-tembak dengan tentara nasional hingga membuat beberapa pasukan tewas, aku mulai sadar bahwa kekuatan kami terlalu kecil. Terlebih setelah kudengar kabar bahwa pemerintah telah membentuk operasi khusus untuk membekuk gerakan kami. Kalau tidak salah Operasi Pagar Betis namanya.

Penyerbuan itu memaksa kami lari tunggang-langgang ke dalam hutan. Sialnya, aku bersama tiga pasukan lainnya terpencar dari rombongan utama. Kami tersesat di hutan selama beberapa pekan. Dengan cara yang benar-benar getir bila diceritakan, kami berusaha bertahan hidup. Memakan apa saja yang bisa dimakan, meminum apa saja yang bisa diminum. Bahkan, ketika hampir selama tiga hari kami tak menemukan apa pun untuk dimakan, sempat terlintas di kepala kami untuk menyembelih salah satu di antara kami. Beruntunglah, tak sampai kejadi[1]an itu terjadi, kami menemukan seekor babi hutan.

Sampai suatu ketika.

***

Aku tidak mencintai Katamso, apalagi Hambali. Menikah dengan salah satu di antara keduanya tak ubahnya menyerahkan pisau yang sudah tumpul kepada batu asah yang salah. Alih-alih menjadikannya tambah tajam, malah bisa membuatnya rompal, atau bahkan menggerang.

Baca juga  Kesaksian Ganja Kering, Basah Air Mata

Namun di sisi lain, takdir juga seakan-akan telah menuliskan suratnya bahwa Dul Bahri telah pergi untuk selamanya. Ya, meski sampai saat ini, aku dan seluruh warga kampung tak mengetahui secara pasti di mana jasadnya.

Maka pada sore yang kelabu akhir Februari tahun lalu, dalam kondisi yang sudah teramat putus asa, aku membulatkan tekad untuk memasrahkan hidupku pada simpul gantung. Kuambil tali dadung yang masih melingkar di leher kambing peliharaan Bapak. Bergegaslah aku menuju kaki Bukit Gandarwana, tempat di mana Dul Bahri mengikrarkan janji itu. Lekas-lekas kuikatkan tali pada cabang pohon angsana. Dan keesokan harinya, warga gempar melihat tubuhku yang sudah tergantung kaku, tanpa nyawa.

***

“Kami bertemu dengan beberapa pembalak liar. Mereka berbaik hati pada kami. Mereka menuntun kami untuk keluar dari rimba belantara menuju pemukiman. Kami menyamar, seakan-akan kami adalah bagian dari mereka. Senapan dan segala atribut kami tanggalkan.

Selama beberapa bulan, kami tinggal di pemukiman mereka. Hari-hari kami habiskan untuk ikut membalak di hutan. Sedikit demi sedikit upah kami kumpulkan, sebagai ongkos pulang ke kampung halaman.

Aku selalu membayangkan bahwa ketika pulang nanti‚ sekalipun tanpa kabar kemenangan di medan perang‚ Humaeera akan menyambutku dengan sebuah pelukan. Namun apa daya, setelah aku benar-benar pulang, aku malah disambut dengan kabar kematian.

Kini, di Bukit Gandarwana ini, di mana seluas mata memandang masih tetap terhampar hijau perdu dan ilalang, kepada siapa aku mesti menyerukan segenap janji yang telah kutuntaskan ini?

“Sungguh, aku sudah menepati janjiku, Humaeera.”

***

Kini, di kaki Bukit Gandarwana ini, aku bisa melihat dengan jelas batu asahku yang telah kembali; menuntaskan segenap janji. “Maka, dari dimensi yang berbeda ini, bolehkah aku tetap mencintaimu, Dul Bahri?” ***

.

.

Purbalingga, 2023

.

.

Catatan:

[1] ritual atau tradisi memperingati satu tahun pascakematian dalam budaya Jawa.

[2] ritual atau tradisi memperingati tujuh hari pascakematian dalam budaya Jawa.

.

.

Ikrom Rifa’i, lahir di Purbalingga pada 2000. Mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang. Cerpennya tersiar di sejumlah media cetak dan daring. Bergiat di Komunitas Teater & Sastra Perwira (KATASAPA) Purbalingga.

.
Kredo Cinta Humaeera. Kredo Cinta Humaeera. Kredo Cinta Humaeera. Kredo Cinta Humaeera. Kredo Cinta Humaeera.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!