PERTENGKARAN saya dengan David Copperfield mencapai puncaknya ketika ilusionis itu menawarkan duit untuk biaya saya bermalam atas hilangnya pacar saya yang ia lenyapkan dan belum berhasil ia kembalikan.
“Ini artinya kamu belum pasti bisa mengembalikan pacar saya,” sergah saya kepadanya.
“Maaf, maksud saya memang supaya kamu cukup sabar menunggu,” jawabnya sekenanya.
“Apa kamu bisa sabar menghadapi kegagalanmu ini.”
“Ini kejadian luar biasa. Kamu tahu, kan, saya belum pernah gagal?”
“Lalu kenapa bisa gagal?”
“Ini misteri. Seratus prosen kecelakaan. Sungguh mati saya sedih. Saya bayangkan seandainya pacar saya yang hilang, hancur hati saya.”
“Nah, kamu ngrasain, kan!”
“Tolong kasih nasihat, saya harus bagaimana.”
“David! Kamu itu guru. Tak pantas kamu minta nasihat.”
“Saya mati kutu.”
Ini cerita musim panas yang brengsek di Amerika ketika saya dan Cindy Kimberley piknik di Patung Liberty, New York (jauh sebelum peristiwa 11 September 2001). Gantian kami gendong-menggendong di pelataran patung itu sebelum kami masuk dan menaiki tangga ke atas menuju ke tangan patung yang mengacungkan api nan tak kunjung padam itu. Karena capek, kami tertidur dan bangun-bangun sudah malam. Dari dalam mahkota patung itu kami melongok, alangkah elok malam musim panas di New York dari ketinggian yang penuh. Bintang-bintang rasanya balerina yang berayun-ayun. Lalu kami menghitung jumlah bintang-bintang yang bertaburan itu, yang rasanya mudah kami gaet itu.
“Berapa jumlahnya?” tanya saya.
“Tiga miliar dua ratus lima puluh tujuh,” jawabnya.
“Salah.”
“Betul, salah.”
“Ada bintang yang baru muncul.”
“Benar,” katanya. “Yang baru muncul itu lima miliar,” lalu Cindy tersenyum sambil menggaet wajah saya dan menciumi mulut saya.
Pagi harinya saya turun sendirian mencari apa saja untuk sarapan karena Cindy masih mau santai di dalam patung itu. Ketika saya kembali dengan beberapa gelang kue donat dan dua gelas kertas cappuccino, alangkah setengah mati kaget saya waktu menyadari patung itu tidak ada. Entah lenyap ke mana Dewi Kemerdekaan itu. Saya mati suri. Mematung dengan dua gelas cappuccino dan beberapa gelang kue donat yang berantakan di kaki saya. Beberapa saat lengang. Ruang dan waktu beku. Dimensi alam tumpang tindih. Udara persis cermin bergelombang. Tak sesuatu pun bisa ditangkap. Warta berita jadi bohong semua. Air laut sekitar berganti-ganti warna. Dan cuaca tumpang tindih bagai Kamajaya-Kamaratih.
Lalu bergegas dua orang, lelaki dan perempuan, melintas di depan saya sambil ngedumel penuh penyesalan. Si lelaki lalu diam berdiri tegak sambil merentangkan tangannya menghadap fondasi patung itu. Agaknya ia sedang mengerahkan seluruh tenaganya, sementara si perempuan berlutut di dekatnya sambil menggenggamkan kedua telapak tangannya erat-erat di dadanya.
Kemudian setelah beberapa saat lamanya dengan berlelehan keringat di keningnya, si lelaki itu terkapar menatap angkasa, lalu si perempuan memeluknya dengan tangis sesenggukan. Dengan langkah kaki yang berat, saya menghampiri lelaki itu dan menatap wajahnya, sadarlah saya ketika mengenali wajah yang sangat termasyhur di dunia, David Copperfield, si ilusionis itu. Ada apa, kenapa ia terkapar, apa ia perlu pertolongan.
Apa saya bisa menolong?
Ia lalu bercerita kepada saya, untuk menyenang-nyenangkan pacarnya, Lilly “Jaguar” Carbonero, David melenyapkan Patung Liberty itu ketika sedang piknik mengitari patung itu. Ternyata ia tidak mampu memunculkan kembali patung itu meski sudah berusaha keras dalam waktu yang cukup lama.
“Kamu gila!” bentak saya kepadanya sambil mencekiknya.
David kaget setengah mati sambil berusaha melepaskan cekikan saya, sementara pacarnya mencekik saya dari belakang.
“Aduuh, Lilly! Kukumu menghunjam leher saya,” teriak saya.
“Lepaskan tanganmu dari leher David!” teriak Lilly si Jaguar.
Lalu saya melepaskan cekikan saya atas leher David yang terbatuk-batuk sambil menjauh. Lilly memeluknya sambil menciuminya. Sedang leher saya berdarah dibalut sumpah-serapah saya dalam bahasa Jawa supaya saya puas. Lilly Carbonero benar-benar jaguar yang garang.
Waktu saya kasih tahu bahwa Cindy, pacar saya, berada di dalam patung itu, David kaget setengah hidup, terloncat sambil merentangkan tangannya ke udara, lalu mengentak-entakkan kakinya ke tanah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
David lalu memejamkan matanya, tubuhnya terkapar, agaknya ia menyesali dirinya, sementara Lilly memeluknya. Saya menjauh. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Rasa marah, penyesalan, sedih dan bingung, berkecamuk jadi satu. Di mana gerangan Cindy saat ini? Apakah dia juga kebingungan mencari jalan untuk bisa kembali ke dunia nyata? Tiba-tiba di kawasan itu berkumpul seluruh staf pertunjukan David, sekitar lima puluh orang jumlahnya. Rupanya David memanggil mereka. Sejumlah kendaraan, mobil-mobil berat, juga ambulans, van, peralatan lengkap, termasuk korden yang sangat luas dan besar, dan sebuah helikopter. Malam yang panas itu mengucurkan keringat oleh gebrakan orang-orang yang lalu lalang bekerja keras. Tak dinyana, berduyun-duyunlah orang berdatangan menonton. Sekian regu polisi sibuk mengatur supaya para penonton tidak mendekat.
Kemudian David menutup udara di atas fondasi patung itu dengan korden yang sangat besar yang direntang oleh helikopter itu. Sesaat David merentangkan tangannya ke angkasa, lalu helikopter itu melepaskan korden yang dijinjingnya dan… alhamdulillah, Patung Liberty itu muncul kembali magrong-magrong di langit New York yang malam itu biru bersih dipenuhi bintang-gemintang yang kerlap-kerlip cemerlang ikut gembira. Serta-merta saya berlari ke arah patung itu, masuk ke dalamnya yang diikuti David dan Lilly.
“Cindy!” teriak saya sambil menoleh ke sana kemari.
“Cindy!” teriak David.
“Cindy!” teriak Lilly.
Saya terus berlari ke atas.
“Cindy! Cindy! Cindy!” teriak kami bertiga.
Sesampai di ruang mahkota patung itu, kami berkaparan ngos-ngosan seperti habis diburu macan. Tak juga ada Cindy.
Kami bertiga jatuh sedih. Tidak hanya hati saya yang berkeping-keping, juga David sangat terpukul karena nama besarnya tak juga mampu menolong. ***
*) Those Lazy-Hazy-Crazy Days of Summer, dari lagu Nat King Cole
Danarto, salah satu cerpenis terkemuka Indonesia. Ia melahirkan kumpulan Godlob, yang mengguncang jagat cerpen Indonesia pada era 1990-an. Tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan.
Leave a Reply