Bre Redana, Cerpen

Blues untuk Runi

Blues untuk Runi - Cerpen Bre Redana

Blues untuk Runi ilustrasi Azzahra Dhiya/Penerbit Buku Kompas

4.3
(4)

Cerpen Bre Redana

AKU tidak mau lewat kuburan, kata wanita itu sembari membuka pintu dan masuk mobil. Tak jelas, nanti dia akan lewat kuburan terkenal di dekat situ ataukah berhasil mengikuti rute lain yang tidak melalui kuburan. Dia telah kehilangan orientasi karena kebanyakan minum.

Di sini kami harus berpisah. Aku harus menunggu taksi, di pinggir jalan kawasan kehidupan malam yang telah menjadi sepi karena sebagian kafe dan restoran telah mulai tutup. Kembali ke duniaku, pensiunan wartawan surat kabar, yang mencoba tetap bertahan sebagai penulis dengan mengais-ngais imajinasi dari mimpi malam hari, yang kemudian kujual ke mana saja, yang hasilnya kembali ke tempat-tempat minum seperti ini, membawaku pulang dalam keadaan setengah mabuk setiap malam.

Ini tadi, siapa nama dia? Runi? Oh ya, Runi, Seruni.

Namanya saja sudah merangsang untuk lahirnya suatu judul: Blues untuk Runi. Tinggal melanjutkan dan memberi kembang di sana-sini, lalu kukirim kepada Dik Tri, Dik Dwi, atau Edi teman lama itu dengan medianya masing-masing, atau entah ke mana saja. Entah karena tulisan ketengan semacam ini cukup baik, disukai orang, ataukah karena para editor itu merasa iba kepada orang tua ini berikut alasan pertemanan, pertukanganku dalam hal tulis-menulis jarang ditolak media massa.

Taksi berwarna biru meminggir. Anak muda tukang parkir yang semuanya di kawasan itu kenal diriku membukakan pintu. “Hati-hati, Bos …,” ucapnya sembari tertawa.

Kurogoh kantung celanaku. Masih ada beberapa lembar uang, honor yang dikirim oleh suatu majalah tadi siang. Kuangsurkan sebagian padanya.

Thank you, Bos,” katanya lagi.

***

INILAH Runi-ku malam ini. Beberapa waktu lalu dia meneleponku, menyatakan ingin wawancara. Suaranya enteng, renyah, dengan gaya bahasa remaja kota besar.

“Wawancara?” tanyaku ketika menerima teleponnya. Aku agak merasa aneh, kok ada orang hendak mewawancarai diriku? “Apa yang hendak diwawancara dari pensiunan ini, Dik?” tanyaku.

Baca juga  Makplaaas, Tiba-Tiba Lupa

“Justru itu, Om,” tukasnya. Dia memanggilku “om”, membuatku hendak tertawa. “Kami ingin menampilkan beberapa orang yang hidup dari semata-mata kegiatan menulis. Mau ya, Om,” ucapnya.

Aku tertawa mendengar gaya bicaranya. Tentu saja tak ada alasan untuk menolak. Sehari-hari waktuku sebanyak air laut. Tak ada kegiatan, kecuali menulis yang kulakukan dengan semangat main-main—bukan semangat sungguh-sungguh seperti samurai belajar pedang. Di luar menulis, aku cuma jalan-jalan, nongkrong di beberapa kelab sambil minum-minum—kebiasaanku sejak dulu.

Dia datang ke rumahku, melihat-lihat isi rumah yang dibilang rapi tentu tidak, tapi berantakan tentu juga tidak. Dia mengagumi meja kayuku dari kayu utuh dalam ukuran lebar di mana di situ kami duduk minum teh, lukisan-lukisan terutama dari teman-teman pelukis di Bali, serta tanaman kuping gajah—salah satu tanaman yang paling terawat di rumah.

“Siapa sih, Om, yang merawat tanaman ini? Daunnya sampai seperti beludru,” katanya sambil mengusap daun tanaman itu.

“Saya sendiri. Mungkin posisinya tepat. Dia cukup memperoleh udara, kalau pagi ada cahaya matahari masuk, dan mungkin dia senang karena berada di dekat ruang yang ada musiknya. Ia suka blues,” kataku asal-asalan.

“Hahaha…,” dia tertawa. “Semuanya funky dan cool di sini. Saya boleh panggil Mas saja, ya.”

“Dari tadi saya berpikir, kapan saya menikah sama tantemu?” aku bercanda.

Dia tertawa lagi.

“Mas, ada kelab blues baru punya temanku,” katanya sembari menerangkan satu tempat hiburan yang menampilkan musik live di suatu kawasan.

“Saya tahu tempat itu,” kataku seusai mendengar keterangannya.

“Hah? Pernah ke situ? Aku suka ke situ. Ke situ, yuk,” kata dara muda ini spontan.

Betapa berubahnya dunia jurnalistik sekarang dibanding zamanku dulu. Atau, karena dulu aku bekerja di surat kabar yang serius, sehingga pendekatan termasuk ke narasumber biasanya agak formal. Sementara sekarang zamannya media massa “gaya hidup” , dengan reporter-reporter manis dan penuh gaya seperti perempuan di hadapanku ini.

Baca juga  Tamu Tengah Malam

Saat wawancara, konsentrasi pertanyaannya cuma mengarah keluyuran ke mana saja biasanya aku, begitu enakkah hidup membujang, selain sempat dia singgung ide menulis biasanya aku dapat dari mana.

“Ide menulis dari kafe-kafe,” jawabku.

“Ah, masak?”

“Kamu jangan-jangan tidak pernah baca tulisanku,” sergahku.

“Ya ampun, ya bacalah ya,” tukasnya. “Saya masih ingat, ketika Mas menulis tentang perempuan yang mengaku tinggalnya di kapal bernama Bellosiani. Bellosiani itu apa sih, Mas?”

“Saya cuma main-main dengan diksi, dengan bunyi kata. Tadinya aku mau sebut Balenciaga.”

“Hihihi …,” dia tertawa. “Mas rupanya sangat memperhatikan barang-barang bermerek.”

Aku tertawa. “Bagaimana kalau kita ke kafe blues itu? Nanti saya akan tunjukkan padamu bagaimana lahir perempuan dari sebuah blues,” kataku.

“Haha … bener, ya,” sambutnya gembira.

Sampai kemudian jadilah, kami berada di situ, malam ini.

***

DI tengah alunan I love the nightlife yang dibawakan dalam gaya blues—kalau tadinya kukira dia akan bertanya-tanya lagi perihal diri dan dunia kepengaranganku yang tengah menjadi proyek majalahnya—nyatanya ia malah lebih banyak bicara tentang dirinya. Aku menjadi tahu, misalnya dia lulusan Sastra China—atau seperti diterangkan padaku, belajar Hanyu. Dia menerangkan kompleksitas bahasa Mandarin, seperti misalnya untuk satu kata, selalu terdapat empat intonasi yang dari perbedaan intonasinya akan membuat satu kata yang terucap berbeda-beda artinya. Dengan lucu dia menyuruh aku untuk memperhatikan bibirnya, ketika menerangkan kata xie, yang dari empat pengucapan berbeda artinya bisa “beberapa”, “sepatu”, “menulis”, dan “terima kasih”. Pengucapan itu katanya harus dihafalkan, begitu pula penulisannya, yang lebih rumit lagi karena sifatnya yang tidak alfabetis, tetapi logografik—berupa gambar-gambar.

“Seluruh sistem tubuh kita harus diaktivasi kalau belajar Mandarin, Mas,” kata gadis yang menarik ini. “Kepalaku menjadi pusing,” ujarnya memegang kepala dengan jari menyibak rambut.

“Kalau sekarang pusing, pasti bukan karena bahasa Mandarin, kan,” ucapku.

“Iya, karena ini,” katanya tertawa sambil mengangkat kembali botol Corona-nya.

Baca juga  Perempuan Itu Pernah Cantik

Lama-lama, kepala kami makin sering berdekatan ketika bicara. Lama-lama, bukan jarinya yang menyibak rambutnya, melainkan jariku yang dari tadi tergoda untuk menyibak rambutnya yang hitam tebal itu.

Dia tampaknya tak keberatan. “Dulu rambutku panjang, baru saja saya potong,” ia malah menerangkan.

Kuusap lagi rambutnya, juga pipinya. Kepalanya tampaknya makin berat karena kebanyakan minum Corona.

Lalu, kelompok blues itu menyelesaikan lagu terakhirnya. Pelayan mengantar bill. Kelab segera tutup.

“Apakah kamu yakin tidak perlu teman?” kataku ketika mengantarkannya ke pelataran parkir. Meski tidak bisa menyetir mobil, setidaknya aku bisa menemani, kalau sampai terjadi apa-apa kepadanya.

“Tidak, aku tidak apa-apa kok, Mas,” jawabnya. “Eh, aku lewat sana atau sana, ya,” ujarnya, menunjuk dua arah yang berbeda. “Kuburan di mana, ya? Aku tak mau lewat kuburan.”

Aku makin waswas.

“Yakin, tidak perlu ditemani?” tanyaku.

“Tidak, tidak …,” katanya sembari masuk mobil, dan menyalakan mesin.

Mobil bergerak, dan kemudian menghilang. Aku sendiri mulai menunggu taksi, sampai seorang tukang parkir menyapaku tadi.

***

BEGITULAH Runi, Seruni, sebagai penulis, sebagai pensiunan wartawan, aku memproduksi dan mereproduksi tulisan-tulisan yang aku kirim ke berbagai media massa. Aku hidup di wilayah yang tak jelas tapal batasnya: mana kenyataan mana rekayasa khayal.

Bahkan—nah, inilah juga contohnya, saudara-saudara—mengenai Runi, Seruni itu sendiri. Kayaknya memang ada gadis seperti itu, tetapi di mana aku bertemu? Apakah namanya benar Runi, Seruni? Apakah dia menyetir mobil sendirian, dan takut lewat kuburan? Ataukah jangan-jangan dia semacam kuntilanak, berumah di kuburan?

Terus terang, aku sering bingung sendiri: tokoh-tokoh seperti dia, benar-benar ada, ataukah cuma bayangan yang memanipulasi otakku? ***

.

.

Starbucks PS, April 2007

.
Blues untuk Runi. Blues untuk Runi. Blues untuk Runi.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!