Cerpen, Pikiran Rakyat, Rosi Ochiemuh

Agustus Syahdu

Agustus Syahdu - Cerpen Rosi Ochiemuh

Agustus Syahdu ilustrasi Opik Geulang/Pikiran Rakyat

4.5
(2)

Cerpen Rosi Ochiemuh (Pikiran Rakyat, 26 Agustus 2023)

RIE… akan ada pesta rakyat di kampung kita. Entahlah, apakah dana sumbangan yang didapat panitia lebih banyak dari tahun kemarin, atau dapat dana sponsor dari pabrik atas partisipasi pemiliknya karena gedung produksi mereka sudah berdiri lama di tanah kelahiran kita.

Pabrik minuman soda terkenal dari Negeri Paman Sam itu, sudah lama berdiri di tanah kelahiran kita. Tepatnya berdekatan beberapa kilometer dari pemukiman kita. Sayangnya, kita tidak diistimewakan bekerja di pabrik itu. Hanya sebagai operator buruh bulanan dan harian. Meski ijazah terakhir kita SMA.

“Aku suka minuman soda, Ray,” katamu suatu hari saat kuajak janjian. Kau tidak mau janjian di kafe romantis. Kau hanya mau janjian dalam mall Sentra Grosir Cikarang, di restoran cepat saji yang menyediakan menu ayam goreng tepung dan minuman soda. Di sana surganya minuman soda, katamu.

Aku terpaksa pesan Cappucino karena tidak ada kopi hitam Lampung Arabika ataupun Robusta. Setelah meminumnya dan makan sajian ayam goreng tepung krispi itu. Perut terasa kembung dan mulas. Oh Tuhan, aku tidak terbiasa minum kopi itu. Tubuhku berkeringat dingin, terlihat udik sekali. Kau bilang, nanti akan terbiasa. Aku meringis.

Setiap jelang hari kemerdekaan negara kita, dua minggu sebelumnya kau datang sebagai panitia. Kau semangat datang ke rumah, supaya meminta sumbangan lebih besar kepadaku. “Karyawan pabrik minuman soda pasti lebih banyak sumbangannya,” ujarmu. “Jangan pelit, ya, Ray. Aku panitianya. Anak-anak semangat kalau hadiahnya bagus-bagus,” celotehmu terus.

Aku gemas sama celotehanmu. Jadi, apa hubungannya kau panitia dan aku karyawan pabrik minuman soda? Aku meringis.

Sayangnya, aku tidak tega untuk bilang, “Maaf, Rie. Aku kasih uang segini.” Selembar uang kertas sepuluh ribu rupiah. Tentunya, kau akan mengejekku setiap saat. Jadi kuberi saja selembar uang kertas merah, seratus ribu rupiah. Kau tersenyum lebar.

Apa yang kurasakan saat ini mungkin tidak kau rasakan. Kau masuk ke dalam hatiku dan membutakan logika. Entah sudah berapa lama memendam semua itu. Kebersamaan itu kurasakan sejak lima tahun terakhir, tetapi kau masih menganggapku sebagai teman biasa, Rie. Sekadar tetangga dan tidak lebih dari itu.

Gadis manis bertahi lalat di pipi, rambut lurus sebahu dikuncir ke belakang, punya senyum khas, dan gigi gingsul yang terlihat menarik ketika tertawa. Rie, kau sudah jadi sosok perempuan berdaya tarik kuat. Bukan saja aku yang tertarik, tapi orang-orang perantauan di sekitar pun ikut terhipnotis pada sosokmu. Namun bagiku, Rie milik pribumi. Lahir dan dibesarkan di kota industri ini, bagai bunga penyejuk yang tumbuh di antara polusi.

Baca juga  Pulung Lurah

Kau seperti mengujiku dulu, entah apakah aku yang ge-er atau memang tidak paham. Teman lelaki—panitia tujuh belasan itu—selalu bersamamu. Dia bekerja di pabrik baja terbesar di Cibitung, agak jauh dari pemukiman kita. Pabrik itu termasuk pabrik yang menggaji karyawannya paling besar dari pabrik-pabrik ternama di Cibitung.

Aku dan kamu tinggal di permukiman yang dikepung pabrik industri. Polusi udara yang dikeluarkan pabrik minuman soda itu saja, sudah merusak aroma penciuman kita di malam hari, apalagi polusi pabrik baja. Saat sedang rileks minum kopi, tiduran di bale atau ngobrol apa saja. Walau bagaimanapun, pabrik minuman soda itu sudah memberi pekerjaan dan sumbangsih besar pada pribumi juga pendatang.

Lelaki yang dekat denganmu perantau, karyawan tetap rupanya, dan sebentar lagi dia akan mengambil rumah di perumahan Aster dengan cicilan per bulan tentunya. Orang tua gadis yang dilamarnya pasti bilang ‘ya’, tetapi kalau itu aku, semua orang tua berpikir ulang saat anak mereka kulamar. “Apa kamu punya motor, rumah, sertifikat tanah, dan sudah karyawan tetap?” pertanyaan yang sering kudengar pada orang tua gadis yang dilamar oleh teman-temanku. Rupanya lelaki itu ngekos di kos-kosan pamanku. Sialnya, kau makin sering bersamanya meski hanya diskusi rapat.

“Seandainya kau ikut jadi panitia, Ray,” ucapmu terputus. Dan aku menyesal menolak. Alasanku pabrik minuman soda itu sedang gencar produksi setiap bulan. Kau tahulah, lembur adalah harapan untuk mendapat gaji yang lebih demi menata masa depan lebih baik. Terkhusus untuk dirimu. Meski aku tidak yakin apakah kau mencintaiku, atau bapakmu yang materialistis itu pun menerimaku sebagai menantunya.

Setiap malam Minggu aku bertamu ke rumahmu. Sekedar menghilangkan rasa rindu meski masih teman biasa. Aku belikan martabak telur spesial, berbasa-basi. Bapakmu menyambut hangat dan menyilahkan masuk. Kemudian kau membuatkan dua cangkir kopi hitam untukku dan ternyata juga untuk bapak yang berkumis tebal itu. Bapakmu ikut serta pada malam Minggu kita. Sialan, kupikir hanya satu kali. Rupanya setiap ke rumahmu malam Minggu, dia jadi obat nyamuk kita. Sangat mengganggu. Buatku sekarat sebelum tanggal tua.

Sebagai sesama pecinta kopi hitam, bapakmu tidak pernah ramah padaku. Mungkin karena aku tetangganya. Dia tidak tertarik pada keluargaku yang tidak membanggakan. Hanya punya usaha warung kopi. Dan yang kudengar dari bapakku, bapakmu itu sering minum kopi hitam pukul sebelas malam di warung kami. Ngobrol ngalor-ngidul yang buat ibumu kesal padanya karena hal yang sia-sia.

Baca juga  Tukang Pijat Keliling

Kau anak satu-satunya mereka, Rie. Betapa bapakmu sangat sayang padamu, dan tidak menginginkan putrinya punya suami sembarangan. Atau mungkin dia tidak mau putrinya mendapatkan suami seperti dirinya. Tukang nongkrong di warung kopi saban tiap malam. Kerjanya serabutan. Mirip seperti aku ini. Tapi percayalah, Rie. Ketika kau tahu aku sangat mencintaimu lebih dari kopi hitam, play station, dan acara siaran langsung sepakbola dunia. Sungguh, aku akan selalu membahagiakanmu, Rie. Hanya saja, kau harus percaya.

Memasuki sehari lagi perayaan HUT RI ke-77 ini. Suasana membuat semua warga di sekitar rumah kita gembira. Umbul-umbul sudah terpasang dengan cantik, rapi dan ramai. Semua anak-anak kecil bersorak, dan ada yang memungut sisa-sisa kertas mengkilap bendera merah-putih yang berjatuhan. Mereka begitu senang, bahkan keceriaan mereka sejenak membuatku terlupa rasa itu.

Ibu-ibu dan bapak-bapak di tempat tinggal kita sudah mulai sibuk untuk membuat acara di hari itu supaya sempurna. Mereka berdoa agar tidak hujan. Lokasinya di lapangan belakang lahan pabrik minuman soda. Bukan saja untuk mengisi hari kemerdekaan, tapi juga membuka warung dadakan. Mulai dari jualan es, makanan dan minuman ringan, jajanan anak-anak, mi instan, gorengan, asinan, dan lainnya.

Malam selepas pulang kerja, aku menyempatkan diri ke rumahmu, Rie. Saat ini aku merindukanmu. Di mana 17 Agustus tahun-tahun dulu, kau selalu membawa keceriaan untukku, juga tempat  tinggal kita. Lima kali setiap tahunnya kau jadi panitia tujuh belasan.

Bapakmu menyambutku dari balik pintu. Ibumu masih sama sejak kemarin, menghabiskan waktunya di kamar, kata bapakmu. Kau tahu, Rie? Aku sekarang menjadi dekat dengan bapakmu. Waktu aku datang, dia menyilahkan masuk dan membuatkan dua cangkir kopi hitam Lampung yang kuberikan padanya setelah lebaran Idul Fitri kemarin—oleh-oleh—dari teman kerja. Dia meminum kopi itu dengan penghayatan, seperti sedang mengusir kesepian. Mengajakku berbincang tentang apa saja termasuk perasaanku padamu sejak dulu, Rie. Aku tidak percaya, bapakmu sudah menjadi pendengar baik saat ini.

“Anggap saja aku ini orang tuamu, Ray,” ucap bapakmu dalam obrolan malam kami bersama kopi hitam pekat, aura malam, aroma limbah minuman soda, dan siaran langsung sepakbola. Matanya selalu berkaca-kaca saat menyebut namamu, Rie. Dia sangat menyayangimu.

Yang tak bisa berubah hanyalah perasaanku padamu. Meski kau tak pernah tahu isi hatiku sebenarnya, tapi Tuhan pasti akan memberitahukan itu padamu. Dia Maha Tahu segalanya tentang kisah kita ini. Aku merasakan keresahan yang tidak bisa orang lain lihat, kecuali Tuhan, dan kau, Rie.

Baca juga  Perempuan Bermulut Api

Kau tahu, Rie? Lelaki yang bekerja di pabrik baja itu ternyata pulang kampung sejak lebaran dan sampai saat ini tidak kembali lagi ke kosannya. Pamanku akhirnya mencari penghuni lain untuk mengisi kamarnya. Mungkin lelaki itu sudah pindah ke perumahan atau menikahi gadis lain semenjak kau menolak dia. Bapakmu merasa lega, karena dia termasuk lelaki brengsek.

Hari yang dinantikan semua warga sudah tiba. Hari libur dan pesta rakyat. Semua begitu bersemangat, tapi tidak dengan orangtuamu. Namun, aku masih bisa merasakan keceriaan adikku yang bersemangat ikut lomba panjat pinang. Panitianya menyediakan 2 buah sepeda, tas ransel dan sandal merek Eiger, dan hadiah lainnya di atas pohon pinang.

Tahun ini perayaan hari kemerdekaan yang hampa dan sesak bagiku. Dimana harus kuterima kenyataan bahwa dirimu sudah tidur panjang di sana. Di pembaringan terakhir, Rie. Sebulan setelah perayaan Agustus tahun lalu, kau mengalami kecelakaan motor di perempatan lampu merah. Tubuhmu terpental jauh dari trotoar. Penuh luka dan sudah tak bernyawa lagi.

Aku ingin berteriak sekuat-kuatnya setelah mendengar berita itu dari orang lain. Saat kulihat sendiri kenyataan sebenarnya, tubuh ini bergetar hebat, terasa semua persendian rontok satu per satu. Ditambah jeritan pilu dari ibu dan bapakmu. Orangtuamu, temanmu masih kehilangan, begitu pula aku. Juga perasaanku yang tak tersampaikan.

Aku tidak sempat ungkap semua perasaanku padamu, tidak sempat untuk memberi kabar gembira bahwa selama aku bekerja di pabrik minuman soda itu untuk mengumpulkan keberanian melamarmu. Kau mengisi hati ini sekian lama. Tuhan lebih menyayangimu daripada aku.

Kurasakan hari kemerdekaan sepi tanpamu, Rie. Meski semua yang hadir di perayaan ini bergembira, ramai dan semangat. Dalam lamunanku, kau ada di antara mereka, tersenyum rekah sambil memanggilku. ***

.

.

Cikarang Barat, Agustus-2022.

Rosi Ochiemuh lahir di Palembang. Berdomisili di Cikarang Barat, Bekasi. Cerpennya dimuat di berbagai surat kabar. Ia telah menerbitkan beberapa buku, antara lain Sesuatu di Kota Kemustahilan (2018), Rumah Amora (2019), Bulan Madu Pengantin (2020), dan Dara, Kutukan atau Anugerah (2021).

.
Agustus Syahdu. Agustus Syahdu. Agustus Syahdu. Agustus Syahdu. Agustus Syahdu. Agustus Syahdu.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d