Cerpen Eka Kurniawan (Media Indonesia, 01 Oktober 2000)
BEBERAPA tahun sebelum aksi-aksi paling subversif, Tuan Puteri masih mengingat pertemuan dirinya dengan si orang menyebalkan itu; orang yang dengan kurang ajar membuatnya menunggu dan bersiap menjadi perawan tua. Ia sedang duduk di sana, di samping tangga dengan wajah cemberut, ketika Tuan Puteri menghampirinya dan mencoba menghibur hanya karena Tuan Puteri benci melihat wajah kusut seperti itu. Si laki-laki menoleh, laki-laki yang telah memutuskan tanggal 10 April sebagai hari perkawinan mereka dan berkata bahwa kau cantik, ia memang kurang ajar, sebelum keluhan yang sesungguhnya keluar: ia seperti kesakitan bicara tentang buku Immanuel Kant yang dimakan kutu buku atau tikus, dengan halaman yang lepas-lepas dan sebagian bab bahkan hilang, serta kertas yang patah-patah di perpustakaan kami. Ia bilang buku seperti itu tak layak dicuri dan itu yang membuatnya tampak tak berbahagia.
Saat itu mereka sama-sama mahasiswa baru. Dan tak lama setelah itu Tuan Puteri segera mengenalnya dengan lebih baik: ia memang tak begitu bahagia karena kehidupan ini menurutnya menyebalkan dan ia memang pencuri buku. Dalam pengakuannya, ia mencuri buku dari perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di seluruh pelosok kota, dari toko-toko buku maupun dari toko loakan. Ia berkata bahwa mencuri buku merupakan tindakan terkutuk, dan ia melakukannya dengan harapan bisa ditangkap sehingga ia akan tahu bahwa pemerintah memang mencintai buku dan benci para pencuri buku. Tapi dasar ia memang malang, ia tak juga ditangkap meskipun sudah ribuan buku ia curi.
“Terhadap pemerintah busuk macam begitu,” katanya suatu waktu di hari yang tak terlupakan oleh Tuan Puteri karena kalimat tersebut menjadi kalimat pembuka yang aneh sebelum laki-laki itu mengatakan bahwa ia jatuh cinta kepadanya dan ingin menjadi kekasihnya, melanjutkan, “Kita harus mengumumkan perang gerilya.” Itu bukan kata-kata omongan kosong, tapi nyaris ia lakukan benar seandainya tindakan-tindakan paling subversif di tahun yang paling panas itu tak pernah terjadi. Ia belum sempat mengumumkan perang gerilyanya ketika segala sesuatu seolah berakhir.
Dengan caranya sendiri ia mulai mencoba merealisasikan gagasannya tentang perang gerilya. Ia menempel poster Che Guevara di kamar pondokannya dan terobsesi untuk melakukan kontak dengan para gerilyawan yang ada di muka bumi. Ia juga membaca ribuan buku curian yang menumpuk di kamarnya, sekadar mencari alasan yang tepat untuk mengumumkan perang. Tuan Puteri berkata kepadanya, di mana-mana rakyat begitu miskin sementara para pejabat hidup mewah. Negara sudah di ambang bangkrut karena utang luar negeri dan sang diktator sudah terlalu lama berkuasa, menutup kesempatan kerja bagi orang yang memiliki bakat menjadi presiden. Menurut Tuan Puteri, itu semua alasan yang cukup untuk mengumumkan perang gerilya, tetapi laki-laki itu keberatan. Katanya, alasan seperti itu sudah terlalu banyak diketahui orang, tapi nyatanya tak seorang pun menyatakan perang karena itu.
“Lebih baik kita perang karena alasan yang lebih logis,” katanya. “Yakni karena pemerintah tak menangkapku, si pencuri buku perpustakaan.”
Itulah yang terjadi. Bersama sepuluh orang temannya, ia memulai aksi politik pertamanya dengan demonstrasi di depan gedung perpustakaan. Menurutnya, mereka adalah cikal-bakal pasukan pemberontaknya. Dan gerombolan anak-anak itu, yang lebih mirip sebuah tim sepak bola daripada calon gerilyawan, mulai meneriakkan yel-yel pada pukul sembilan ketika perpustakaan penuh pengunjung. Mereka juga bernyanyi-nyanyi dan diakhiri dengan pembacaan tuntutan yang revolusioner: berikan perlakuan yang lebih manusiawi terhadap buku-buku tersebut. Demonstrasi berakhir tak populer, tanpa liputan surat kabar dan hanya mendapat cibiran mahasiswa lain. Laki-laki penuh obsesi ini tak mendapatkan kader tambahan: ia bahkan kehilangan sepuluh dari sepuluh calon pasukan gerilyanya. Itu kenangan yang lumayan pahit untuk dikenang.
Tapi dari pandangan matanya yang tajam, orang segera akan tahu bahwa ia bukan pemuda yang mudah patah semangat. Lebih dari itu, ia punya bakat luar biasa mengumpulkan orang, mengorganisasikannya, yang pada akhirnya ia persiapkan menjadi individu-individu yang militan. Terutama melalui puisi-puisinya, bocah yang sesungguhnya tak berminat menjadi penyair itu telah mendapatkan banyak pengikut setia yang pada awalnya datang untuk mendengarkan puisi-puisi tersebut. Karya-karyanya, yang sedikit berbau romantik telah menghipnotis banyak orang yang membaca maupun mendengar. Bahkan Tuan Puteri sendiri masih ingat, tak lama sebelum hari subversif itu, dalam sebuah kunjungan mendadak dan hanya diiringi satu pengawal, Presiden menyempatkan diri datang ke kota ini dan menemui laki-laki itu di pondokannya. Tuan Puteri sendiri ada di sana ketika itu, tak lama setelah mereka menikmati sedikit ciuman dan Presiden berkata:
“Tuan Penyair, aku membenci puisi-puisimu. Ia begitu menusuk dan melukai hatiku. Hentikanlah membacanya dan terutama menulisnya.”
Setelah itu Presiden menghilang. Entah bagaimana ia menghilang: setengah jam kemudian ia sudah muncul di televisi dalam acara siaran langsung rapat koordinasi kabinet yang penuh lelucon tak lucu. Sementara itu, kekasih Si Tuan Puteri hanya tertawa sambal menghabiskan tiga bungkus rokok untuk menghilangkan ketegangan sesaat dan berkata bahwa kata-kata Presiden kepadanya sama artinya dengan pengumuman perang. Ia akan meladeninya, begitu ia berkata kepada Tuan Puteri.
Pada waktu itu ia sudah dipanggil dengan nama Peter Pan, si tokoh dongeng yang konon tak pernah mau dewasa. Dilihat dari satu sisi, ia memang mengingatkan orang kepada Peter Pan. Bertahun-tahun ia tak juga lulus kuliah, bahkan ketika Tuan Puteri menyelesaikan tingkat doktoral, ia belum juga mendapatkan gelar sarjana. Orang kemudian menuduhnya tak mau menjadi tua, ingin tetap menjadi mahasiswa, tetap merasa berumur belasan tahun dan karenanya ia mulai dipanggil Peter Pan. Peter Pan sendiri tak begitu keberatan, hanya karena ia memang menyukai nama-nama tokoh fiksi dan bukan berarti alasan-alasan orang yang kemudian memberinya nama Peter Pan benar. Bagaimanapun semua itu terjadi karena aktivitas revolusionernya yang semakin menyita waktu sehingga ia tak sempat masuk lagi ke ruang kuliah.
Suatu hari, tak lama setelah demonstrasi pertama yang gagal itu, ia berkenalan dengan seorang penjual buku impor bekas yang membuka toko kecil di perkampungan turis. Sebagian besar pengunjungnya turis-turis bule yang datang untuk membeli novel atau buku panduan, atau bahkan menjual dan kadangkala menukarnya. Sekali-dua kali datang mahasiswa, tak pernah menjual tapi hanya menonton dan kalau ada uang sekali-kali membeli. Peter Pan datang ke tempat itu bersama Tuan Puteri atas rekomendasi seorang kawan yang sedikit dendam kepada si pemilik toko buku dengan harapan Peter Pan akan mencuri banyak buku dari sana dan membuatnya bangkrut. Di luar harapannya, Peter Pan menjadi begitu akrab dengan si pemilik toko mengingat latar belakang mereka yang begitu doyan membaca.
Ia bilang kepada si penjual buku bahwa ia punya banyak buku. Ya betul, banyak sekali. Tiga ribu. Aku ingin menjual itu semua. Setitik rencana meletup di otaknya yang brilian dan itu ia katakan kepada si pemilik toko. “Untuk modal perang gerilya,” katanya.
Dan akhirnya buku-buku itu jadi modal pertamanya melakukan serangkaian tindakan subversif. Ia mulai mencetak selebaran-selebaran gelap, berisi hasutan-hasutan dan referensi-referensi politik, dan dengan itu ia mulai mengumpulkan orang.
Bertahun-tahun kemudian orang lupa kepada jasa buku-buku itu sebagaimana banyak orang kini lupa kepada Peter Pan sendiri. Hanya Tuan Puteri yang ingat, termasuk bagaimana Peter Pan membiayai kehidupan gerakannya setelah uang hasil penjualan buku hanya tinggal dongengnya saja. Peter Pan, sebagaimana dikenal kawan-kawannya ketika itu, memang penyair betul: hanya seorang penyair yang mencintai bunga sedemikian rupa. Ia menanami halaman rumah kontrakan tempat gerakan mereka berawal dengan bunga-bunga. Disiramnya setiap pagi dan sore hari dengan kasih sayang seorang dewa, membuat mereka mekar sepanjang waktu. Dan ketika ia petik, ia kelompokkan dalam tiga atau empat tangkai serta ia jual di bulevar kampus, dan orang-orang membelinya dengan rasa haru. Dari sanalah ia masih mampu mencetak selebaran-selebaran politiknya. Namun ketika kawan-kawannya mulai jatuh miskin yang diakibatkan tak datangnya lagi kiriman uang dari orang tua mereka karena pilihan mereka untuk ikut bersama dengannya menyusun kekuatan perang gerilya, ia terpaksa merelakan tanaman bunganya diganti menjadi kebun singkong, ubi, jagung dan segala macam tanaman yang bisa mereka makan bersama. Tapi sungguh, ia bukan orang yang mudah kehabisan akal. Peter Pan diingat Tuan Puteri sebagai orang yang juga mampu mengumpulkan sosok-sosok ajaib dalam mengumpulkan uang. Tuan Puteri masih ingat kepada seorang atlet bilyar yang memilih bergabung dengan gerakan yang dibangun Peter Pan, meninggalkan karir olahraganya yang nyaris gemilang dan memutuskan bertaruh dari rumah bilyar satu ke rumah bilyar yang lain. Sembilan berbanding satu, ia selalu menang. Ia memasok banyak uang untuk kembali mencetak selebaran dan poster-poster perjuangan.
Begitulah Peter Pan berjuang, hingga suatu waktu sebagian besar mahasiswa, buruh, para pedagang, pegawai kantoran, dan bahkan para pegawai negeri mulai turun ke jalan secara serempak. Mereka berkumpul bersama dalam satu kesepakatan bahwa sang diktator memang tak layak lagi dipertahankan. Senyumnya yang sering muncul di televisi dan tercetak di uang kertas sudah mulai terasa menyebalkan. Hari-hari dilewati hanya dengan turun dan turun ke jalan dalam satu hiruk-pikuk yang sama: Turunlah, Tuan Presiden, sebelum kami membakarmu hidup-hidup dalam api revolusi. Itulah hari yang paling subversif selama kekuasaan sang diktator yang sudah mulai berkarat.
Tapi di saat yang hampir bersamaan, Peter Pan menerima nasibnya yang paling tragis. Setelah ia mengetahui dirinya sebagai salah satu orang yang paling dicari oleh tangan-tangan berdarah sang diktator, ia mulai bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain. Hingga suatu ketika, tiga orang yang penuh horor menangkapnya di rumah Tuan Puteri, tepat di depan sang kekasih. Meskipun tampak tak berdaya, ia masih sosok yang mengagumkan: matanya masih menyala dan ia masih menyanyikan himne perjuangannya ketika mereka meringkus dirinya. Mulutnya dibungkam, kepalanya ditutup dengan kain hitam, dan ia diseret ke hadapan Tuan Puteri yang hanya mampu melolong tanpa suara. Itulah saat terakhir ia melihat kekasihnya.
Bagaimana nasibnya setelah itu, tak banyak yang tahu. Mungkin hanya sang diktator sendiri yang tahu. Bahkan ketika sang diktator akhirnya tumbang oleh aksi-aksi jalanan, oleh kerusuhan yang melanda kota-kota karena ribuan buruh dipecat dari pabrik-pabrik, dan oleh perang antara tentara dan mahasiswa yang membanjirkan darah di layar televisi dan surat kabar, kami tak juga menemukan Peter Pan. Bahkan bau mayatnya pun tak tercium oleh hidung kami. Peter Pan lenyap, hanya menjadi legenda dan mitos di antara kami yang menjadi tak berdaya.
Dan demikianlah, pada tanggal 10 April yang dijanjikan itu, hampir dua tahun setelah tumbangnya sang diktator yang menyedihkan, Tuan Puteri melangsungkan pernikahan yang mereka rencanakan. Peter Pan diwakili oleh sekumpulan puisi, karena hanya itulah yang tertinggal dari dirinya. Aku sendiri menghadiri pernikahan itu, menyaksikan Tuan Puteri menangis sebagaimana kami yang hadir juga menangis.
Sementara itu, meskipun telah dua tahun ditumbangkan, sang diktator masih memelihara senyumnya. Ia masih sehat, masih menjijikkan, masih kaya, dan yang paling menyebalkan ia masih berkuasa tanpa harus duduk di kursi kepresidenan. Peter Pan si kekasih Tuan Puteri telah berjuang terlalu banyak untuk kehancurannya, tapi itu terasa sia-sia. Terlalu mahal untuk hasil yang tak ada artinya. Itulah yang membuat Tuan Puteri dan kami memang layak menangis. Kami mengangkat penguasa yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan sang diktator, dan lebih menyedihkan, juga tak mampu mengembalikan Peter Pan kepada kami. Senyum yang terkutuk itu bahkan masih tercetak di uang kertas.
Atas fakta-fakta seperti itu, tak lama setelah resepsi pernikahannya yang ganjil, Tuan Puteri berkata kepada kami mencoba menghibur diri sendiri: “Sebagaimana sering kita baca di novel dan komik,” katanya, “Penjahat besar yang keji, bengis, kotor dan bau neraka memang susah dikalahkan dan susah mati.”
Siapa penjahat besar yang dimaksud Tuan Puteri, kupikir aku tak perlu menuliskannya. ***
.
.
2000
.
.
Leave a Reply