Andria Septy, Cerpen, Kaltim Post

Bukit Terang Bulan Itu

Bukit Terang Bulan Itu - Cerpen Andria Septy

Bukit Terangbulan Itu ilustrasi Jumed/Kaltim Post

3.7
(3)

Cerpen Andria Septy (Kaltim Post, 13 Agustus 2023)

PERPUSTAKAAN pribadi di lereng Bukit Terangbulan adalah milik seorang pengusaha termasyhur. Masyarakat umum diperbolehkan berkunjung, tanpa memandang status sosial. Bagi Sander—pemilik perpustakaan itu, semua manusia sama di mata Tuhan. Koleksi literaturnya lebih banyak berbahasa Portugis, Jerman, dan Belanda.

Seorang gadis Jawa rajin menekuni buku demi buku tersebut hingga Magrib tiba. Tebersit di pikiran penjaga perpustakaan Meneer Sander, dari mana gadis berusia sembilan belas tahun belajar bahasa asing?

Singkat kata, benih-benih cinta pun tumbuh di antara penjaga perpustakaan itu, Godam dan Anggarini. Mereka menikah secara sederhana dan tinggal di pinggiran kota. Seratus dua puluh lima kilometer dari Bukit Terangbulan. Rumah mereka terdiri dari ruang tamu, satu kamar tidur, satu kamar mandi, dan ruang makan sekaligus dapur.

Mereka hanya memiliki meja makan kecil dan dua kursi usang. Satu-satunya barang mewah hanyalah pemutar piringan hitam. Hadiah pernikahan dari pengusaha perkebunan itu. Anggarini senang tinggal di rumah sederhananya. Pekarangan rumah begitu teduh dengan tiga pohon sukun tumbuh lebat dan subur. Bilamana berbuah, pasangan pengantin baru itu kerap membagi-bagikannya kepada tetangga. Mereka dikenal sebagai tetangga yang ramah ke orang-orang sekitar.

Usia pernikahan kini memasuki delapan bulan ketika Godam harus mengemban tugas ke luar negeri.

“Saya harus berangkat ke Jepang besok, Dik. Ada hal penting yang mau saya urus,” ucap Godam sembari menyesap kopi hitamnya yang mengepul samar di meja makan. “Ini tugas mendesak, Dik. Sesampainya di sana, saya akan mengirimimu surat.”

***

“Turuti saja permintaan terakhir saya. Saya ingin kita berpisah,” pinta Anggarini menegaskan dan menolak untuk dipeluk. Godam menanggapi pernyataan sang istri dengan pertanyaan klise sembari mempelajari ekspresi wajah tenangnya.

Baca juga  Semua Orang Pandai Mencuri

“Apa ini sungguh-sungguh jalan terbaik?”

“Iya, ini yang terbaik dan saya baik-baik saja. Tidak perlu mengkhawatirkan hal lain,” jawab perempuan kalem itu terkendali. Semakin menambah kekaguman Godam pada Anggarini. Godam cukup risau kala melanjutkan obrolan dan memulai pembicaraan lagi di sebuah hotel.

“Saya begitu merindu camilan buatanmu, terutama sukun goreng.”

“Tidak masalah. Saya akan kirim sukun dan pisang goreng besok. Saya pulang dulu, tidak perlu diantar,” ucapnya yang entah mengapa serasa hangat sekaligus dingin.

Anggarini mengirimi serantang pisang dan sukun goreng pukul sembilan pagi. Ia telah membuatnya sedari pukul lima subuh. Sesuai permintaan terakhir Godam sebagai pasangan, lalu menitipkannya kepada tukang kebun di rumah gedongan Godam. Anggarini menolak bertemu karena istri Jepangnya menggendong bayi berusia tiga bulan duduk di beranda. Padahal, Godam rindu setengah mati kepada perempuan Jawa itu. Setidaknya, ia ingin memberi baju kimono berbahan kain sutra kepada Anggarini.

Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, perempuan Jepang itu meremehkan. “Perempuan Jawa itu tentu belum siap berbesar hati bertemu kamu.”

“Cemburukah?”

“Aku tidaklah kekanak-kanakan. Malahan mendukungmu, semisal dia mau kembali padamu,” seloroh sang istri Jepang semringah seraya mengeloni putri mungil mereka.

***

Kenanglah, kenangan manis di rumah kita dulu. Saya selalu merindukan memori kita di bawah pohon sukun. Diskusi demi diskusi tentang buku serta mendirikan perpustakaan juga rencana lainnya yang pernah kita perbincangkan. Semoga berkenan mendengar kabar terbaru dari Kangmas.

Godam mengirimi surat teruntuk cinta pertamanya yang telah pindah ke sebuah rumah kecil tak jauh dari Sekolah Rakyat dan taman kota. Ia pun mengambil dua anak angkat.

Di rumah sederhana itu ia menerima kursus menjahit di akhir pekan. Mengajar bahasa asing untuk anak-anak, pelajar, dan mahasiswa sekitar lingkungan rumah. Hal ini tentu membuat Anggarini sangat sibuk. Berpuluh purnama Anggarini membalas surat Godam yang kertasnya telah menguning. Ketika itu, Godam telah memiliki pangkat dan jabatan tinggi.

Baca juga  Bingkisan Bunga

Hanyalah kata-kata berikut yang bisa kukatakan, berjanjilah untuk tidak pernah surut semangatmu. Saya hanya meminta itu saja darimu, Kangmas. Kendati, hati kecil masih belum seutuhnya menerima, saya tetap akan berupaya ikhlas. Tentu saja, dua puluh satu tahun kurang dua bulan, sebagai kenang-kenangan terukir abadi.

***

Buah cinta Godam dengan si perempuan Jepang beranjak dewasa. Bertahun-tahun Godam memimpikan untuk bertemu Anggarini. Ia meminta sang ajudan untuk membantunya mengirimkan surat dan berpesan jangan sampai ketahuan.

“Walaupun nyonya berkata tak mengapa, dia seorang wanita pencemburu,” tukas Godam di dalam mobil pribadinya.

“Akan saya sampaikan tanpa sepengetahuan Nyonya Kito Tekari.”

Sesampainya sang ajudan di depan rumah Anggarini, perasaan perempuan Jawa itu dihinggapi melankolia ketika membuka kertas surat yang dilipat berbentuk bangau.

Saya teramat menyesal telah menyakitimu di masa lalu, Anggarini. Sudikah sekiranya dirimu memaafkan Kakanda dari lubuk hati? Terimalah sedikit uang yang tidak seberapa untuk pesta pernikahan anak angkat kita. Senantiasa sehat agar dapat dikau lihat cucu dan cicit angkat lahir dan besar. Inilah surat terakhir dari cintamu, Godam.

***

Kesedihan Godam berkali-kali lipat karena tak dapat lagi melihat paras wajah Anggarini, Kito Tekari, dan putri kandung semata wayangnya. Lidah lelaki ringkih itu kelu dan tiada mampu berkata apapun. Tubuhnya sama sekali tak berdaya, bahkan hanya untuk sekadar duduk di atas kasur.

“Aku juga mencintaimu setulus hati dahulu kala, Kangmas,” bisik Anggarini di telinga Godam sewaktu membesuk. Tak lama setelah itu ia beristirahat tenang di antara tumpah ruah linangan air mata Kito Tekari juga putri semata wayangnya. Wangi cempaka teramat menyejukkan hati, selayaknya aroma rambut dan tubuh Anggarini sendiri.

Baca juga  Di Atas Tanah Retak

Sander yang baru menjadi duda karena ditinggal mati istrinya mendekap Anggarini, kekasih tak sampainya di bawah pohon cempaka kuning tak jauh dari persemayaman terakhir Godam. Arwah Godam menyimpan tanya, mengapa si pria Belanda tidak lebih dahulu mempersunting Anggarini. Kenapa mengalah dan akhirnya yang tersayang, Anggarini menjadi nelangsa di hari-hari tua oleh karena menduakan cinta membara? ***

.

.

Andria Septy. Alumnus Program Studi Ilmu Pemerintahan di Fisipol, Unmul. Pada 2020 terpilih sebagai salah satu Emerging Writers MIWF (Makassar International Writers Festival) 2020-2021.

.
Bukit Terang Bulan Itu. Bukit Terang Bulan Itu. Bukit Terang Bulan Itu.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!