Cerpen Jakob Sumardjo (Kompas, 15 April 1970)
DENGAN mudah jendela itu dapat kucungkil. Penghuni rumah ini terlalu sembrono atau orang yang tak pernah curiga pada orang-orang semacam aku ini? Basran yang bersembunyi di bawah rindang pohon bunga di halaman rumah untuk mengawasi jalan, kuberi tanda agar lebih waspada. Dan, aku naik jendela itu dan melangkah masuk rumah. Kamar itu gelap. Aku merasa terlindung. Dengan berjingkat aku menuju pintu yang menghubungkan kamar lain. Rumah ini terlalu jelek rencana bangunannya. Jendela itu hanya satu-satunya. Mungkin perencananya juga seorang maling. Terkutuklah dia.
Dan, ketika kuputar handel pintu, hai, sungguh keterlaluan sembrononya pemilik rumah ini. Pintu itu tak dikunci sama sekali. Menurut penyelidikan Basran tiga hari sebelumnya rumah ini hanya dihuni oleh dua orang suami istri yang belum punya anak. Syukur juga mereka belum punya orok. Bayi adalah musuh golonganku.
Perlahan pintu kubuka. Sejumlah cahaya menimpaku tiba-tiba. Dan, dua suami istri itu sedang tidur pulas di bawah selimut yang tebal dan mahal rupanya. Barang yang sebenarnya cukup membuatku ngiler. Lelakinya mendengkur keras sekali. Dan, di meja berserakan barang-barang kecil yang cukup berharga. Dengan cepat barang-barang itu kusikat dan pindah ke saku celana; jam tangan, pulpen-pulpen, weker, cincin akik, dan akik-akik yang belum dipasang.
Jorok sekali suami istri itu. Kamar tidur berantakan bukan main. Baju, celana panjang, jaket, kaus sport yang bau sekali dan kain bersampiran di pagar ranjang. Dengan segera barang-barang itu kugulung. Dan, bukan main: di pojok kamar tergeletak dua kopor. Dan, ketika kubuka (persetan lagi tak dikunci) ternyata penuh berisi pakaian wanita. Tetapi, kopor yang satunya terkunci, mungkin berisi pakaian suaminya.
Setelah pakaian yang lain kumasukkan kopor yang terbuka itu, segera aku jinjing keduanya. Kulihat suami istri itu masih tak bergerak dari pose semula dan dengkur lelaki itu persis suara gergaji kayu. Aku ingin ketawa pada pasangan yang kurang hati-hati ini, tetapi aku bisa menahan diri.
Ketika aku sampai di pintu kamar, suara dengkur itu mendadak berhenti. Kurang ajar bikin kaget saja. Aku berhenti sebentar, dan ini suatu kebodohan. Lelaki itu ternyata bergerak-gerak. Aku tiba-tiba bingung dan kehilangan akal. Langkah kupercepat. Tetapi, kopor terkutuk sebelah kiri membentur daun pintu lebar-lebar. Suara benturan itu begitu keras seperti ledakan bom tarik saja. Dan, ketika aku berada di kamar yang gelap itu kudengar mereka bangun. Sekuat tenaga kuangkat diriku dengan kopor-kopor itu melewati jendela. Baru saja pantatku menggeser pigura jendela, tiba-tiba kamar yang gelap itu menjadi terang benderang.
***
SESAAT kemudian terdengar teriakan gencar yang sudah dua kali ini kualami. Teriakan yang membuatku nekat atau pengecut.
“Maling. Maling. Maling.”
Kopor-kopor yang terkutuk itu aku lepaskan dan sepenuh tenaga aku meloncat lari. Di depan kulihat Basran telah mendahului jadi pengecut melarikan diri meloncat pagar yang setengah meter. Basran lari ke kiri, ke jurusan sungai. Terkutuk dia. Untungnya sendiri saja. Maka, aku harus lari ke kanan. Teriakan suami yang terkutuk itu menghancurkan kesunyian. Malam yang tadinya seperti dibius mendadak bangkit mengandung ancaman.
Untung sekali lorong kampung itu gelap sehingga sungguh merupakan dewa penolong bagiku. Kegelapan adalah penyelamatku. Dewa gelap adalah dewa para maling. Sayang juga bahwa lorong kampung itu lurus sampai di ujung. Segala yang lurus dan segala yang terbuka adalah musuh tujuh turunan para maling. Teriakan-teriakan dan kegaduhan ada di belakangku. Dalam hati kusumpah si Basran yang pasti saja tenang-tenang sembunyi di tebing sungai yang angker itu.
Aku lari terus menuruti lorong lurus yang celaka itu. Tetapi, ketika aku tiba di muka sebuah rumah, mendadak pintunya membuka dan sesaat kemudian meledak teriakan: “Ini, di sini. Maling. Keparat, keparat.” Lalu di sekitarku ramai luar biasa. Dentuman langkah yang kacau terdengar masih di belakangku. Ketika kutoleh, kulihat bayangan hitam orang-orang yang memburuku kira-kira lebih dari lima belas bayangan. Udara penuh teriakan-teriakan yang bernafsu: “Keparat, keparat. Cegat, cegat.”
Kalau aku terus lari di lorong terkutuk itu, hanya namaku saja yang akan pulang ke anak istriku.
Maka, ketika kulihat ada kelokan, segera aku menikung. Lorong itu ternyata lebih menguntungkan, gelap bukan main, namun terlihat juga benda-benda yang tak terlalu jauh. Kanan-kirinya kebun-kebun melulu dengan pohon-pohon yang rimbun dan tinggi.
Wah, daerah ini betul-betul surga para maling. Dewa gelap telah berkenan menolongku, menolong putranya lepas dari buruan maut. Terpujilah Dia selama-lamanya. Aku betul-betul selamat. Orang-orang itu tak melihat aku membelok. Mereka terus lari menyusuri lorong yang kosong itu. Teriakan-teriakan masih terdengar ganas. Aku memperlambat lariku dan mengumpulkan napas kembali. Mendadak kulihat bayangan orang yang samar-samar di depanku.
Darahku tersirap ke kepala. Naluri mendesakku masuk ke kebun yang seperti hutan itu. Bersamaan dengan itu terdengar lagi teriakan-teriakan masuk lorongku. Aku terperangkap. Dan, di luar mauku kakiku berkeringat, dan celanaku basah terkencing. Namun, segera kukuasai diriku. Kejaran maut membuatku tiba-tiba seperti kera dan seperti terlatih aku memanjat sebatang pohon di sampingku. Aku naik, naik dan terus naik, rasanya mau aku lari bersembunyi di langit yang hitam itu. Teriakan bergebalau di bawahku, jauh di bawah. Kilatan-kilatan lampu senter bersilangan tak henti-hentinya.
***
TAPI aneh, gerombolan orang-orang itu berhenti di bawah. Gaduh bukan main.
Dan, aku jadi amat heran ketika terdengar orang-orang itu berteriak-teriak.
“Pukul saja.”
“Pukul.”
“Mana ada maling mau ngaku.”
“Pukul dulu saja, Bung.”
Dan, di tengah-tengah suara yang setengah putus asa: “Saya bukan maling.”
Lalu kacau balau suara dendam lagi: “Hantam saja, Pak Amat.”
“Pukul. Pukul.”
Dan, terdengar orang itu dipukuli. Ia mengaduh. Lalu kacau balau pukulan-pukulan.
“Kita bawa ke gardu hansip.”
“Nanti dulu. Ini yang telah menyikat habis pakaianku seminggu yang lalu.” Dan, berakhir dengan gebukan yang mantap.
Terdengar lolong mengaduh orang itu.
“Ya, inilah bangsat yang membobol rumah-rumah kita.”
“Harus kita beri ganjaran agar yang lain tahu.”
“Pukul lagi. Nih. Nih.”
“Ke gardu dulu. Ke gardu.”
“Orang ini sudah tidak bisa jalan.”
Seseorang menyoroti wajah orang itu dengan senter. Kepala orang itu penuh darah. Ia terkulai seperti onggokan ban karet.
Lalu bisu sebentar. Terdengar hanya erangan.
“Seret saja ke sana. Maling keparat.”
“Maling-maling yang lain mesti diberi ganjaran.”
Lalu kerumunan itu bergerak pelan meninggalkan daerah bawah pohon. Ketika sampai di lorong yang lurus itu jumlah orang makin banyak, laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Suara yang terdengar masih ganas dan menakutkan. Orang-orang itu berhenti di sana. Ada yang memukul lagi. Tetapi, sudah tak terdengar lagi suara yang pilu itu.
Seluruh tubuhku berkeringat.
Dan, dahan yang kupegang terasa basah. Kakiku gemetaran.
Kegaduhan kerumunan masih bergebalau di lorong itu, ketika tiba-tiba saja terdengar percakapan di bawah pohonku.
“Bagaimana, kita habisi saja?”
“Soalnya saya tak sampai hati dia disiksa begitu. Ia sudah terlalu payah. Paling-paling pagi nanti dia sudah mati.”
“Sulit menghindari penghakiman semacam ini. Sebulan ini saja sudah ada lima rumah kemasukan maling. Kita bisa mengerti kemarahan kampung ini.”
“Siapa yang kemasukan malam ini?”
“Rumah Saelan.”
“Apa saja yang terbawa katanya?”
“Kata Saelan dua kopornya, tapi kopor-kopor itu ditinggalkan di bawah jendela.”
“Ha? Lha, kopor yang dibawa maling ini bagaimana?”
“Dia membawa kopor?”
“Ya. Tadi di sini.”
Salah seorang mencari-cari dengan senter.
“Itu.”
“Hus, mungkin ini kekeliruan lagi seperti terjadi di kampung Meniran dua bulan yang lalu. Seorang gelandangan dihantam sampai mati dituduh maling juga.”
“Coba, coba, kita bongkar dulu kopor itu.”
“Memang, kopor-kopor itu dijumpai baru saja. Habis pada panik.”
Salah seorang membuka kopor sedang yang satu lagi menyenter.
“Ada surat-suratnya di sini. Kita betul-betul keliru.”
Dua orang itu bisu sejenak.
“Dia orang dari Banyuwangi. Namanya Kemin.”
Tiba-tiba datang lagi tiga orang di lorong sana. Senter-senter dinyalakan bersilangan.
“Mas kopral itu?”
“He, Dik.”
“Maling itu mati, Mas.”
“Ya? Kita mungkin keliru ini, Dik.”
“Keliru bagaimana?”
Mereka berkerumun.
“Orang itu bernama Kemin dari Banyuwangi, ini ada surat keterangannya yang kami bongkar dari kopornya tadi.”
“Kemin? Betul dari Banyuwangi, Mas? Itu saudara Pak Modin yang kemarin dikatakan pada saya akan mengunjunginya. Ia belum pernah ke kota ini.”
Aku makin gemetaran. Badanku lemas. Kalau aku terjatuh mungkin aku akan dicacah-cacah oleh penduduk kampung yang tentu saja dua kali lipat ganasnya setelah mengetahui kekeliruan mereka.
Kira-kira jam lima pagi aku turun, setelah semua orang pergi ke rumah Pak Modin, yang rumahnya jauh di ujung kampung, dan melupakan aku. Aku bisa melihat semua ini dengan jelas dari pohon penyelamat tadi.
Semua jin kegelapan dan dewa maling telah berkenan menyelamatkan salah seorang putranya dari maut.
Pujiku selalu bagi para jin. ***
.
.
Jakob Sumardjo (1939), pengamat sastra dan pengamat sosial yang sangat produktif. Lulus sebagai sarjana Institut Kejuruan Ilmu Pendidikan, ia mengajar di SMA St. Angela maupun Akademi Seni Tari Indonesia, keduanya di Bandung. Buku-bukunya terus mengalir.
.
Malam Seorang Maling. Malam Seorang Maling. Malam Seorang Maling. Malam Seorang Maling. Malam Seorang Maling.
Leave a Reply