Cerpen Nyoman Rasta Sindhu (Kompas, 24 April 1970)
DI pintu masuk aku tertegun. Dengan tiba-tiba aku seperti dicekam oleh rasa sepi yang dalam. Bercampur dengan rasa sedih dan haru.
Pulanglah. Rumah itu sudah terlalu tua dan sepi. Tidak ada penghuninya lagi, kecuali aku seorang diri. Aku pun sudah tua pula, seperti juga rumah itu. Oleh karena itu, pulanglah kau. Aku sudah terlalu ingin rumah tua dan besar itu diramaikan oleh cucu-cucuku yang manis-manis itu. Ya, anak-anakmu yang selalu hidup dalam mimpi-mimpiku menjelang fajar.
Berilah aku seribu radio untuk meramaikan rumah tua itu, tidak akan ada gunanya bagiku. Kecuali cucu-cucuku itu. Cucu-cucuku itu! Tidak ada yang lain yang bisa mengobati kesepian kali ini. Kesepianku menjelang kematian, kesepian yang paling abadi. Tulisnya.
Dan, kini terbayang air mata tua ayahku yang meleleh di pipinya yang tua dan keriput. Sebuah muka yang lonjong dan tampan. Ya, aku bisa memastikan dari rautnya yang sudah keriput dan tua itu, dulu-dulunya muka itu adalah tampan dan menyenangkan. Kumis yang rapi dan ujung destar yang genyang dan lempang. Tapi, kini, kumis dan jenggot itu sudah memutih.
Apabila istrimu tidak bersedia mengikuti kepulanganmu, bujuklah ia berulang kali, tapi jangan engkau marahi apabila ia tidak mau. Engkau tidak boleh terlalu banyak memarahi istrimu. Kehendak seorang istri, harus diikuti dengan kebijaksanaan. Tapi, berusahalah anakku, agar ia bersedia kau ajak pulang. Aku sudah terlalu rindu pada cucu-cucuku, dan aku sudah terlalu rindu pada pelayanan menantuku. Aku sudah tua dan tidak berguna lagi anakku. Pulanglah.
– Pulang! Setiap kali kata itu menyentuh ujung hatiku, setiap kali itu pula bermacam-macam perasaan bercampur baur dalam hatiku. Aku jadi ingat pada istriku yang kutinggalkan di kota. Berapa kali persediaan beras yang ketika kutinggal pulang tinggal sedikit lagi, esok pagi sudah habis dan terbayang di mataku, istriku sedang mengumpulkan kertas-kertas bekas untuk dijual dijadikan satu keranjang dengan kaleng-kaleng bekas dan botol-botol kosong. Atau boleh jadi esok pagi, ia akan menyusuri jalan-j alan di kota yang berdebu, untuk sekadar memperoleh pinjaman barang seratus dua ratus perak.
Kemudian anak-anakku seperti bermunculan di mataku. Manis-manis. Akan tetapi, hampir keempatnya kurus-kurus. Kenapa anak-anak yang semanis itu mesti dilahirkan oleh rahim yang melarat? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering terbetik di ujung hulu hatiku, bila saja aku sedang memperhatikan atau sedang bermain-main dengan anak-anakku. Sungguh, aku tidak terlalu melebih-lebihkannya. Ke mana pun aku pergi, anak-anakku selalu mendapat pujian orang-orang.
– Aduuuh gantengnya. Aduuh manisnya.
Mereka memuji anak-anakku dan setiap kali aku mendengar pujian-pujian itu, setiap kali itu pula hatiku seperti dikupas oleh rasa sayang dan sayang sekali. Ia anak-anakku dilahirkan oleh rahim yang melarat. Akan tetapi, barangkali sudah takdirnya, walaupun mereka dilahirkan di rumah sakit yang paling kotor dan bau, dan sejak bayi belum pernah merasakan bagaimana rasanya susu SGM atau Camelpo atau Marrie Regal, toh mereka bisa tumbuh sebagai anak-anak yang manis-manis dan ganteng, walaupun tubulnya sedikit kurusan. Dan, apabila salah seorang dari mereka jatuh sakit, mereka bisa sembuh hanya dengan selembar selimut tebal, minyak kayu putih, dan bawang jahe. Hanya itu. Ongkos dokter terlalu mahal bagi seorang pegawai rendahan macam aku. Pegawai honorer yang tidak memperoleh jaminan apa pun.
Akan pulangkah aku berkumpul dengan ayahku? Dan, akankah kutinggalkan kota tempatku kerja? Aku jadi bimbang memilihnya. Bila saja aku pulang kampung dan hidup dari hasil tani, barangkali kalau hanya sekadar ubi jalar bisalah kusediakan anak-anakku. Akan tetapi, apabila aku pulang kampung, tidakkah aku sakit hati mendengar ocehan-ocehan orang sekampungku?
Tidak tahu malu. Sekolah jauh-jauh, lantas pulang kampung jadi wong tani kembali!
Tentu mereka akan membicarakan diriku, seperti juga biasanya mereka membicarakan diriku seperti ini: bikin malu saja, sudah kerja masih meminta beras sama orangtua di desa.
Tapi, selama ini aku berusaha menguatkan hatiku. Aku harus bisa memejamkan mataku, demi sesuatu yang kuidamkan, yaitu kedamaian dan kebahagiaan. Persetan dengan kata-kata tetangga.
***
KOPOR kutaruh di atas sebuah kursi. Kemudian aku seperti terhenyak di kursi sebelahnya. Kakiku terasa penat setelah naik turun jurang dari pemberhentian bus terakhir sebelum mencapai desaku yang jauh terpencil di pegunungan ini.
– Semuanya sepi. Bisikku dalam hati.
Kemudian sambungku dalam hati pula.
– Barangkali semuanya di tegalan. Juga tetangga itu.
Mataku melayang ke rumah-rumah penduduk di sebelah timur jalan, dan kemudian mataku yang kelihatan melayapi punggungan-punggungan jurang di sebelah selatan desa. Kabut-kabut tipis melayapi pucuk-pucuk pohon dadap yang banyak bertumbuhan di tegalan-tegalan yang meluas di punggungan-punggungan jurang. Batang-batang kopi yang bertumbukan di tepian desa tampak sedang mengembangkan bunganya yang memutih.
Kembali aku ingat pada ayahku. Barangkali senja ini ia sedang mencabuti rumput-rumput yang bertumbuhan di bawah batang-batang cengkeh yang dipeliharanya seperti memelihara anaknya sendiri
– Ya, beliau adalah seorang petani tulen. Bisikku dalam hati.
Kemudian mataku melayang ke arah potretnya yang tergantung di dinding berdampingan dengan potret ibuku almarhum. Dan, yang duduk di kursi di depannya adalah potretku sendiri waktu baru berumur lima tahun—hitam dan kurus. Memakai topi beludru. Aku ingat warnanya biru kehitaman.
Potret-potret lainnya bergantungan dikerubuti oleh sarang laba-laba jelaga yang hitam dan kotor. Potret Bung Karno dengan Ibu Fatmawati serta Guntur dan Sukma, kacanya sudah retak, akan tetapi digantung juga oleh ayahku, miring dan kotor. Kalender-kalender tua dan gambar Pancasila bergantungan tidak teratur.
– Inilah semuanya. Inilah. Bisikku berulang kali.
– Kaca-kaca yang kotor, berdebu, dan ada beberapa yang sudah retak. Cat-cat kusen yang sudah terkelupas. Lantai yang berlubang-lubang.
Angin pegunungan tertiup lembut, dan matahari senja menembus kaca-kaca jendela rumahku yang buram.
***
KEMBALI aku seperti terhenyak di kursi, dan kemudian, perlahan sekali kudengar langkah-langkah ayahku di halaman. Langkah-langkah yang lemah dan terseret-seret. Aku kenal betul langkah-langkah itu. Langkah-langkah yang berat dan pelan, akibat sebutir peluru di zaman revolusi fisik dulu.
Di pintu ia kutegur:
– Ayah.
Bibir ayahku bergetar, tapi tidak sesuatu yang sanggup diucapkannya. Ayahku mendekat dan kemudian memelukku.
– Kau pulang, Nak.
Hanya itu yang sanggup diucapkannya. Kemudian ia terhenyak di kursi. Wajahnya yang tua itu merah berkeringat.
– Sudah kau terima surat Ayah?
– Sudah.
– Sudah kaupertimbangkan isinya?
Aku mengangguk pelan, tapi tidak sesuatu pun yang sanggup kujawab. Sesaat hening dan kesepian seperti mencengkamku kembali. Bisu dan mati.
Aku menunduk dan ayahku menatap kaca jendela yang buram. Katanya pelan:
– Beginilah, semuanya terserah pada kau. Ayah sudah tua. Kebun itu tidak ada yang mengurusnya lagi. Ibumu sudah lama almarhum. Juga adikmu satu-satunya. Tidak ada orang lain lagi. Kecuali kau. Tidak ada yang lain.
Ayahku menunduk menahan air matanya. Dan, hatiku betul-betul teriris kini. Kerongkonganku dengan tiba-tiba terasa kering dan sakit. Semuanya seperti terbang memburuku ke sudut, rumah yang tua dan reyot, istriku yang hamil besar, anak-anakku yang tak terurus, ya semuanya, kehidupan yang melarat, hidup di kota yang selalu dipenuhi oleh pinjam sana pinjam sini. Sesekali kutoleh muka ayahku.
– Masih kupertimbangkan ayah. Kataku pelan dan serak. Dan, ayahku masih terdiam juga.
Di jalan kulihat beberapa orang sedesaku sudah pada pulang dari tegalannya. Aku melangkah ke halaman depan, dan pandang mataku melayang jauh ke atas selatan, ke arah kota, kelihatan jauh di bawah di batas langit yang kebiruan.
Rumah tua ini harus hidup kembali. Bisikku dalam hati.
Kemudian aku melangkah kembali ke dalam rumah, dan langsung kuutarakan di hadapan ayahku tentang rencanaku akan pulang kembali ke desa untuk mengurus kebun-kebun itu.
Bibir ayahku bergetar lagi. Matanya yang tua menatap mataku kemudian dari mata tua itu mengembang air yang keputihan menetes ke pipi. ***
.
.
Denpasar 1970
Nyoman Rasta Sindhu (1943-1972), pernah menjadi wartawan, dan tulisannya diterjemahkan ke berbagai bahasa. Pernah mendirikan Bali Courier (1971).
.
Sebuah Rumah Tua. Sebuah Rumah Tua. Sebuah Rumah Tua. Sebuah Rumah Tua.
Leave a Reply