Cerpen Prima Yuanita (Solopos, 09 September 2023)
DUA tahun berlalu dan baru sekarang kusaksikan mereka bertemu. Di satu atap yang sama. Di satu ruang yang sama. Namun, tidak dengan status sama.
Aku sengaja menyendiri di bibir pintu supaya mereka bisa saling berbincang. Setidaknya ada sapaan yang terdengar. Entah itu dari bapak ke ibu atau pun sebaliknya.
Kulihat padasan di ujung halaman masih berwajah sama: bertopi tutup panci, berkulit keriput tebal, dan mulutnya disumpal potongan sandal. Sekelebat bayangan masa lalu terngiang ketika aku menggosok-gosok kaki yang berlumur tanah ke pancuran. Lalu di belakang tempat wudu itu aku kerap bersembunyi jika bapak atau ibu mengajak pulang.
Kenangan itu melekat di memoriku seperti lumut di sepanjang padasan. Hanya saja kini warnanya telah memudar.
“Sudah lama, Mas?” tanya ibu pada bapak. Sebuah kalimat yang kutunggu dari tadi akhirnya meluncur juga.
Ibu berdiri di dekat bapak. Namun, wajahnya tak selalu mengarah pada bapak. Sesekali ibu melayangkan pandang padaku atau ke jendela di samping pintu, atau lantai rumah yang kelabu.
Bapak terlihat amat kurus. Lipatan lemak yang pernah tersebar di tubuh seolah terbakar bersama kulitnya yang legam. Rambut yang semula hitam pekat kini memutih—gigi yang dulu putih kini menguning.
Bapak tak lagi bisa berdiri setegak tiang rumah. Langkahnya terseok-seok di dalam limasan yang lebih renta dari usianya. Sedangkan ibu, dia tetap kuat berpijak. Namun, bisa jadi dinding hatinya lebih keropos ketimbang tulang yang mulai menyembul di tubuh.
Bapak pun lekas menjawab, “Tadi malam datang.”
“Gimana kiosnya? Laris?”
“Lumayan. Setidaknya tak seburuk yang orang-orang katakan. Hahaha!” Suara bapak terdengar sedikit kikuk di hadapan ibu. Tak seperti dulu, tapi wajahnya mengandung tawa.
Barangkali bapak adalah pendosa yang beruntung. Dia pandai menyimpan kesalahan dan seakan-akan tak pernah melakukan kesalahan. Seolah dia ingin mengabarkan jika keputusannya saat itu benar: pergi meninggalkan kami demi perempuan yang sepuluh tahun lebih muda. Sebenarnya aku tak suka kepercayaan diri bapak. Dan sepertinya dia belum berubah.
Padahal ibu sudah mulai berubah. Dia menjalani liku kehidupannya kini dengan pikiran dan hati lebih tenang. Seperti ketenangan dahan-dahan selepas diguncang angin kencang. Dan setelah sekian lama tak pernah menyambangi rumah ini, pagi tadi tiba-tiba ibu mengajakku menjenguk nenek—mantan mertua yang dipanggilnya Simbok. Katanya nenek sakit tua.
“Jangan pergi jauh-jauh dari Simbok! Dia masih membutuhkanmu!” ucap ibu lirih seraya melirik nenek yang mendengkur di amben kayu tanpa pelitur dan tampak rapuh.
Ibu lantas melangkah ke arahku. Kedua mata bapak berangsur redup. Dia yang duduk di lincak itu turut mengamati nenek. Sementara dari arah samping, bulik mondar-mandir. Kedua tangannya mengusung mangkuk dan beberapa piring di baki. Ditaruhnya barang pecah belah itu di meja makan.
Sebuah ruangan terbuka di depan kamar nenek dijadikan ruang keluarga sekaligus tempat makan. Tak ada hiasan di sekeliling. Hanya beberapa foto saudara sepupuku yang usang, tetapi tetap terpasang.
Sejak dulu bulik sangat telaten menjaga nenek. Dia satu-satunya saudara kandung bapak. Hingga Tiya, saudara sepupu yang seumuran denganku merantau ke Ibu Kota, perempuan empat puluhan tahun itu masih setia merawat nenek.
Sewaktu aku kecil, bapak dan ibu sering menitipkanku ke rumah nenek jika hendak bepergian. Lalu bersama Tiya, aku akan menghabiskan waktu dengan bermain petak umpet atau bongkar-pasang kertas di bawah pohon kelapa. Ah, sungguh menyenangkan mengingat masa-masa itu.
“Ayo makan dulu!” bujuk bulik sambil menarik tangan kami. Kedua mata sayu itu melihatku sebentar. Aku mengikuti ibu lalu duduk di kursi kayu yang membunyikan derit.
Di hadapan kami terhidang sebaskom sayur santan, lima ikan goreng, stoples rempeyek kacang, juga sebakul nasi putih. Tak lama kemudian bulik datang lagi dengan membawa tiwul.
“Kau ndak ikut makan, Mas?”
Setengah tergeragap Bapak menjawab, “Kau makan saja. Aku masih kenyang.”
Bapak lantas pergi ke belakang. Kulihat dia menuju dapur dengan langkah seseorang menyunggi segelondong kayu. Ibu langsung sigap menyiduk tiwul dan mengguyurnya dengan kuah sayur. Dia makan dengan tangan telanjang.
“Kebetulan ada tiwul. Kau mau?” tanya ibu padaku yang kubalas dengan gelengan.
“Ambil nasinya, Nduk!” kata bulik yang kutanggapi dengan senyum kecanggungan. Dia menyodorkan centong dan menyorongkan bakul. Masih ada kepul-kepul uap. Nasi putih itu tampak pulen dan wangi. Masakan bulik memang tak pernah mengecewakan.
Bulik kemudian menaruh seekor ikan kembung berwarna hitam kecokelatan di atas nasiku lalu duduk di sisi kanan Ibu. “Apa wanita itu tak pernah bertemu Simbok?” tanya ibu setengah berbisik pada bulik.
“Mana berani Mas Darma bawa si sundal itu kemari!” Ibu masih terlihat lahap menjilati ujung telunjuk demi mengecap tiwul dan kuah sayur.
“Kabarnya wanita itu tergoda lagi sama duda konglomerat.”
“Secepat itu?” Ibu terhenyak dan berusaha merendahkan suara. Aku pun terkejut tak percaya. Bulik mengedikkan bahu.
“Biarkan Mas Darma menelan sendiri kepahitannya.” Bibir bulik yang tebal mencibir. Dia memang orang pertama yang menentang bapak menceraikan ibu. Semenjak saat itu hubungan bapak dan bulik sedikit merenggang.
“Sekarang Mas Darma rajin ke tempat Kiai Qomar, Mbak. Tobat kayaknya!”
Mendengar perkataan bulik, wajah ibu memucat seperti tiwul. Lalu sebentar kemudian wajahnya berangsur merah seperti daun sirih yang dikunyah-kunyah. Dia melambatkan suapan.
“Dia sedang puasa ngrowot.”
“Ngrowot?”
“Iya, makanya aku masak tiwul.”
Kali ini ibu benar-benar berhenti mengunyah. Seolah ada pecahan beling yang menyangkut tenggorokan. Mendadak dia menyeruput air di gelas hingga tandas. Lantaran penasaran dengan yang bulik katakan, aku yang semula diam akhirnya membuka suara.
“Tadi Bulik bilang kalau bapak sedang ngrowot. Apa itu, Bulik? Sepertinya aku baru dengar.”
“Iya, Nduk. Puasa ngrowot!” jawab bulik, “Bapakmu sekarang ndak makan nasi. Nasi dari beras maksudnya. Atau makanan yang terbuat dari beras. Katanya lagi prihatin!” tegas bulik.
Aku dan Ibu seketika berpandangan.
***
Denting jarum jam serasa bergerak lebih lamban. Aroma minyak tawon menguar dari sisi tubuh wanita tua yang terbaring di depan kami. Desau angin sesekali menerobos lubang jendela yang sedikit peyot dan lapuk.
Ibu menyeka kedua mata yang basah. Setelah mencium nenek yang terbata-bata memanggil nama kami tadi, kami beranjak ke luar.
Selama di kamar nenek air mataku turut berjatuhan. Nenek selalu berhasil menjebol pertahanan kami dengan air matanya. Tentu saja. Tak ada seorang ibu yang bahagia melihat anaknya gagal mempertahankan rumah tangga.
Nenek merintih dengan suara sengau. Pandangannya lamur. Dia meraba-raba wajah kami dan menepuk-nepuk bahu kami. Aku dan ibu harus mendekatkan mulut ke telinga nenek setiap ingin berbicara.
“Padahal Darma itu tinggal ongkang-ongkang di rumah. Menikmati masa tua. Anak juga udah lulus kuliah. Malah bikin ulah bikin kepradah orang tua,” kata nenek pada kami. Dia mengeluh dan terus mengeluh seolah hidupnya sekarang hanya untuk mengeluh.
Selepas mendengar kabar keretakan hubungan bapak dan ibu, nenek jadi mudah menangis dan sakit-sakitan. Dia tak bisa berbuat banyak karena fisiknya yang mulai lemah.
Waktu itu, bapak memilih menutup kuping, tak mau mendengar nasihat dari orang-orang. Bahkan dia mengabaikan peringatan Kiai Qomar yang sebelumnya begitu disegani.
Kiai Qomar adalah sosok yang dihormati banyak orang. Beliau punya pondok pesantren yang cukup tersohor di kota kami. Santri-santri yang datang tak hanya dari dalam kota, namun ada juga yang dari luar kabupaten. Konon, jika diusut dari silsilah keluarga, Kiai Qomar masih ada hubungan darah dengan ibu. Meski begitu, bapak dan ibu tak pernah sekali pun mengajakku ke sana.
“Aku tahu mereka hanya berusaha menghentikanku,” cetus bapak di suatu waktu. Di tangannya sudah melekat sebuah koper besar. Ibu hanya termangu di sudut pintu kamar. Kedua matanya hampa.
“Lalu ke mana bapak akan pergi? Ke tempat wanita itu?”
“Kau tahu sendiri bagaimana ibumu. Apakah selama ini kau merasa nyaman? Bahkan sepulang kuliah kau memilih menghabiskan waktu di tempat kawanmu ketimbang di rumah.”
“Tapi apa itu berarti bapak harus pergi?”
“Biarkan bapakmu pergi!” sahut ibu. Suaranya yang berat seketika membuatku tercekat.
“Kenapa, Bu?”
“Biarkan! Aku sudah tak peduli!”
Aku terdiam. Bapak menatap ibu dengan tajam. Tanpa sepatah kata, dia langsung berlalu begitu saja dari kami. Itulah kali terakhir kami berbicara. Setelahnya, bapak tak pernah kembali ke rumah.
Di mata ibu, kulihat mendung selalu bergelayut setiap hari. Dia memeluk hari-harinya dengan kebisuan. Setiap kutanya apakah ibu sudah makan, dia selalu menjawab sedang puasa. Lebih dari setahun ibu berpuasa. Ibu hanya memakan ubi rebus atau kentang kukus atau sesekali tiwul. Tapi, aku tak tahu jika saat itu puasa yang dilakukan ibu disebut ngrowot—sebagaimana yang bulik katakan.
Sejak kecil, hubunganku dengan ibu memang tak bisa serekat roti dan cokelat. Tak seperti Tiya yang bisa tertawa lepas ketika di dekat bulik. Hal itulah yang membuatku betah setiap berada di rumah nenek.
Tapi itu dulu. Ketika aku belum melihat ibu hanya makan ubi rebus atau kentang kukus atau tiwul. Ketika aku masih bebas menyebut-nyebut kata bapak di depan ibu; menonton sinetron di ruang tamu; juga berlama-lama menelepon teman di akhir pekan.
Sekarang aku sadar, rupanya ada yang berubah. Ibarat kain katun yang semakin digerus waktu, kain itu akan menyusut dan berkerut. Rumah nenek memang masih terasa hangat bagiku. Tidak berubah. Hanya saja, hati kami masing-masing yang telah berubah. ***
.
.
Prima Yuanita, penyuka makanan tradisional dan lagu-lagu bertangga nada mayor. Saat ini tinggal di Sragen, Jawa Tengah, dan pernah meraih Juara I Lomba Karya Jurnalistik PKK tahun 2020 tingkat Provinsi Jawa Tengah.
.
Ngrowot. Ngrowot. Ngrowot.
Leave a Reply