Cerpen Dody Widianto (Singgalang, 10 September 2023)
TAK ada yang lebih menyebalkan bagi Seno ketika pelajaran mengarang dimulai. Kali ini ibu guru tiba-tiba menyuruh para siswa menuliskan tentang pekerjaan ayah mereka.
Ia bersungut. Kenapa juga hal seperti itu harus dimasukkan dalam kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia bagian kelas dua. Padahal cerita tentang kelinci dan kura-kura sudah pasti lebih membuatnya senang.
“Kenapa kau diam saja? Dari tadi ibu lihat pulpenmu masih utuh di atas meja tanpa kaupegang. Lihat, teman-temanmu telah menyelesaikan paragraf pertamanya. Waktunya tinggal setengah jam lagi.” pekik Bu Guru sambil berjalan pelan melewati para siswa di antara bangku dan meja dari depan ke belakang.
“Baik Bu.”
Sial!
Tak juga Seno menginginkannya. Menuliskan tentang itu. Sejujurnya ia sedikit malu. Jika teman-temannya banyak yang menceritakan kehebatan ayahnya yang jadi polisi, guru, dokter, atau tentara, apa yang harus ia tulis di paragraf awal? Apa kehebatan ayahnya yang saban hari berkutat dengan ban-ban kendaraan? Mencongkel pinggiran velg itu dengan besi sepanjang telapak tangan lalu menambal bannya. Menerima uang lima hingga sepuluh ribu lalu peluh menetes ke mana-mana.
Ini memang pelajaran mengarang, tetapi tak sepatutnya ia mengaku-ngaku anak guru atau anak pemilik toko mebel di pusat kota yang konon paling kaya di kota ini. Iya kalau pemilik mebel itu mengakuinya, kalau tidak? Waktunya malah akan habis jika terus membual dan mengkhayal. Jam pulang sebentar lagi berdentang. Ibu guru akan kecewa jika tugasnya tidak diselesaikan padahal dua jam pelajaran cukup panjang.
***
“Seno, ambilkan pelumas dekat kursi plastik sebelah galon.”
“Baik, Yah.”
Suara ayahnya terdengar lantang di sela-sela gemerincing suara kunci yang beradu. Kenapa juga ayah dengan suka rela memberi pelumas rantai-rantai para pengendara itu. Mereka hanya ingin menambal ban, bukan servis. Dan jawaban ayahnya kadang membuat Seno tak begitu mengerti tentang rumus-rumus kehidupan yang sulit dipahami.
“Ayah lupa padamu untuk cerita tentang uniknya bilangan-bilangan Tuhan. Bilangan apa pun jika dibagi nol akan menghasilkan nilai tak tedefinisi, tak tehingga, tak terlogika. Itu berarti jika kamu mau berbagi sesuatu tanpa mengharap apa pun serta ikhlas, maka kamu akan mendapatkan hasil yang tak terdefinisi pula suatu hari nanti.”
Kini kata-kata ayahnya terbukti. Saat ini, dalam diam, ia elus tepian kursi merah yang sekarang telah diduduki. Di luar sana banyak yang mengincar kursi itu. Membelinya kalau perlu dengan jalan menjual tanah pekarangan, menjual rumah, menjual sawah, karena mereka tahu harga kursi itu sebanding dengan hasil yang didapat. Entah itu dengan jalan yang benar atau tidak yang penting modal awal bisa kembali.
“Ayah, aku besok boleh kuliah kalau sudah besar.”
“Oh, tentu. Ayah tak menginginkanmu jadi tukang pompa ban. Ada pekerjaan lain yang lebih mulia. Ayah akan bangga.”
“Seno janji akan buat Ayah bangga.”
Hanya soal waktu. Kedewasaan membuatnya berubah. Tak ada rengekan minta uang untuk membeli es krim cokelat durian di depan bengkel. Tidak ada lagi pulang dengan badan lusuh karena keletihan mengejar layangan putus. Dan tak ada memar di mata setelah ia bertengkar karena tak mau kalah dalam permainan adu patok lele bersama teman-temannya. Waktu berjalan begitu cepat dan ia telah paham apa itu kedewasaan.
Ia mengelus kursi itu. Jika bukan sebuah janji, ia tak akan pernah sudi duduk di kursi itu. Merelakan kesenangan bersama keluarga hilang begitu saja. Dengan ayahnya, ia seakan jauh. Padahal, ia selalu ingat kata-kata itu.
“Seno akan buat Ayah bangga.”
Entah kenapa telinga bisa menyampaikan pesan itu ke dalam hatinya. Di depan para hadirin, sebelum ketok palu, Ketua Dewan membacakan peraturan terbaru tentang larangan-larangan membuka usaha di sepanjang trotoar. Ia tahu, ada yang terselip dalam sanubari. Entah itu hanya ego atau kata lain dari naluri. Ada yang membayang di sana. Wajah ayahnya yang saban hari mengelus rambutnya, mendoakannya menjadi orang besar suatu hari nanti.
“Ayah, apa buka bengkel di sini tak dilarang? Ini trotoar bukan?”
“Maksudmu, ayah tak bayar sewa tempat ini?”
Kini ia tahu. Kedewasaan telah membuatnya paham segalanya.
***
RAPAT ditunda dua jam. Belum ditemukan kesepakatan untuk peraturan itu. Namun, yang lebih menyedihkan adalah jika ada saatnya nanti, bengkel ayahnya di pinggir jalan hanya tinggal kenangan digilas peraturan. Padahal, ayahnya seharusnya tinggal santai-santai saja di rumah, mengurus keperluannya, atau jika perlu mencarikannya istri agar tak kesepian. Namun, ayah memang tetap ingin dalam dunianya. Membenahi kerusakan kendaraan dan menambal ban. Ingin selalu membantu sesama. Perasaan bahagia itu tak tergambar dengan kata-kata.
Baginya, menjual angin adalah bagian dari ibadah. Bagaimana ia terus bertemu orang-orang yang berbeda dalam berbagai strata sosial. Banyak hal yang ayah pelajari dari mereka semua. Tentang kehidupannya, tentang pendidikan dan pekerjaannya, dan bahkan kadang dengan sukarela pembeli angin itu menceritakan tentang keluarganya saat ayahnya dengan tiba-tiba menawarkan dua gelas kopi. Pergaulan itu membuat nasihat-nasihat ayah begitu berarti. Bahkan seharusnya, ia memberikan sertifikat padanya untuk kategori ayah paling bijaksana.
Dulu, uang dua ribu itu rajin ia kumpulkan demi bisa membeli kursi di gedung dewan di depan alun-alun kota, tetapi apa yang ia lakukan sekarang benar-benar telah melukai perasaan ayahnya.
***
“Seno, belum ditulis juga?” Bu Guru tiba-tiba menundukkan kepala di depan wajahnya. Bagaimanapun, ia tak bisa menutupi kegamangan perasaan itu.
“Harus berapa paragraph, Bu?”
“Asal itu bisa dibaca dalam sekali duduk. Lima sampai sepuluh paragraf. Kalau terlalu panjang nanti malah kaujual di pasaran. Ibu tak sedang menyuruhmu membuat novel.”
“Baik Bu.” Lega rasanya ketika jawaban itu membuat Bu Guru berlalu sambil sedikit tertawa.
***
IA mengelus lagi tepian kursi itu. Kini, bersama teman-temannya yang lain, mereka seperti sebuah domba-domba yang sedang digembalakan di padang rumput. Ikuti perintah pimpinan. Tinggal menunggu waktu kenyang lalu pulang ke kandang. Pekerjaan itu acapkali hanya sebuah formalitas. Di gedung yang digadang-gadang mewakili perasaan rakyat, ia tinggal duduk manis dan kadang-kadang diselingi interupsi agar terlihat lebih nyeni. Jujur saja, andai waktu bisa kembali, ia ingin jadi penjual angin saja. Meneruskan pekerjaan ayahnya tanpa beban.
Sebuah keputusan peraturan baru itu ada di tangannya. Ini tentang aturan yang harus ditegakkan. Lupakan tentang nurani atau apa saja yang membuat lemah. Sesuatu yang harus dipikirkan untuk kemaslahatan umat adakalanya memang membuat dilema.
Sekarang, tepian trotoar kota itu telah bersih. Semua pedagang atau pemilik usaha yang katanya tak berizin telah digusur. Itu yang diinginkan pemerintah. Walau di salah satu sudut kota, di tepian trotoar yang sama, enam belas tahun lalu, kenangan itu tampak di pelupuk mata.
Ia menangkupkan tangan ke dada. Tangan mungil itu dulu sering dicuci ayahnya karena belepotan oli. Dari tangan itu pula, ia membuat sebuah peraturan yang sebenarnya melukai dan membunuh ayahnya perlahan-lahan.
Senja hari, saat warga beramai-ramai menggotong sebuah keranda ke pemakaman yang berisi jenazah ayahnya, di titik itu, di tepi batas antara rasa sayang dan kewajiban pekerjaan demi mengemban tugas, ia seolah tahu jalan yang akan dipilih.
“Ayah, menjadi penjual angin dengan menebar senyum ke semua pembeli bagiku lebih mulia daripada duduk di sebuah kursi yang hanya untuk ikut mengangguk dalam memutuskan aturan tanpa mau mengkaji lebih dalam tentang hati dan nurani. Dulu kami gemar menjual janji yang kadang belum terpikirkan apakah hal itu bisa kami realisasikan. Ayah, aku akan kembali menggantikanmu sekarang. Lalu kembali menderetkan bilangan-bilangan Tuhan yang pernah kau ajarkan.” ***
.
Penjual Angin. Penjual Angin. Penjual Angin.
Leave a Reply