Cerpen, Gerson Poyk, Kompas

Dalam Irama Walsa

Dalam Irama Walsa - Cerpen Gerson Poyk

Dalam lrama Walsa ilustrasi Kompas

4.3
(7)

Cerpen Gerson Poyk (Kompas, 19 Mei 1970)

KEDUA orang setengah baya itu bertemu dalam irama walsa. Sudahlah tentu partner yang satu seorang lelaki, dan yang lain seorang perempuan. Partner dansa lelaki adalah ia yang kakinya kikuk perkara dansa, barangkali gara-gara anggur, sehingga partner yang perempuan harus bersenanduung irama walsa: hm, hm, hm…, hm, hm…. Begitulah berulang kali.

Perempuan setengah baya itu tenggelam dalam variasi ribut sebuah band dan lelaki setengah baya itu, oleng dalam huru-hara anggur!

“Terimakasih,” kata partner lelaki ketika keduanya duduk.

“Saya tidak pintar berdansa dan tempat ini pun baru pernah saya kunjungi,” kata partner perempuan.

“Bukankah tempat ini, tempat hiburan elite?” tanya yang lelaki.

“Tapi, yang paling sering datang ke sini adalah pedagang dan penguasa. Dosen-dosen bergaji kecil, dosen-dosen terpencil dari tempat hiburan begini,” kata yang perempuan.

Yang perempuan, adalah soerang sarjana wanita yang menjadi dosen di universitas negeri di kota itu, dan yang laki-laki seorang terpelajar pengembara yang baru saja datang dari ibu kota—barangkali untuk menulis buku. Pertemuan di tempat dansa itu terjadi karena halaman tempat dansa itu dipinjam oleh mahasiswa dan para dosen untuk mementaskan sebuah sandiwara. Setelah selesai acara sandiwara, para mahasiswa pulang ke rumah, sementara para dosen—lelaki dan perempuan—iseng-iseng melunakkan otot kaki dan pinggul.

Dan, pada saat itu, lelaki terpelajar itu muncul.

“Bagaimana dengan sandiwara tadi?” tanya yang wanita.

“Perumpamaan yang kena dengan sandiwara dalam masyarakat,” kata yang lelaki. “Tokoh perempuan melambangkan peradaban dagang yang tanggung; licik, spekulatif—mulut manis, wajah yang genit yang menyerahkan diri untuk kemudian menggaet secara barbar isi kantung lelaki.”

Baca juga  Abang Yun

“Ah, masa! Begitulah saudara melihat tokoh perempuan?”

“Dan, tokoh laki-laki adalah perlambang daripada peradaban basa-basi, mulut manis, tetapi di dalam hati bukan main kasarnya,” kata yang lelaki.

“Yang lelaki adalah homo ceremonialis, yang….”

“Saudara sudah minum tadi, barangkali,” tanya dosen wanita.

“Ya, saya terapung-apung sedikit, tetapi apakah ngomong saya sudah keluar rel seperti halnya kaki saya yang tidak setia kepada irama walsa?”’ tanya laki-laki yang mulai dikocok anggur itu. “Tetapi, laki-laki adalah perlambang manusia istana, yang harus memakai bahasa-bahasa halus, kalau raja sedang makan makanan enak—yang dibeli dengan pajak rakyat—, maka bahasa Melayu halusnya: raja sedang bersantap. Bahasa Jawa halusnya: Raden Rora Kidul saweg dahar! Eh, apakah tidak salah?” tanya sang lelaki. “Kalau petani-petani, kuli-kuli, kerbau-kerbau, dan gelandangan sedang makan, bahasa halusnya: kunyuk-kunyuk sedang cekek!

***

DOSEN wanita itu menjadi gelisah karena partner dansanya ternyata telah oleng dilanda prahara anggur. Ia melihat jam di pergelangannya. Dengan tak ragu-ragu sang lelaki memegang partner-nya lalu meletakkan ke pangkuannya.

“Jangan terkecoh oleh waktu jam yang semu itu. Jangan. Kita seharusnya bisa menempatkan diri dalam waktu yang hilang, waktu yang terlepas dari gaya berat bumi.

Jika para astronot melepaskan diri dari gaya berat bumi dengan roket, maka aku dengan anggur. Aku terapung dalam anggur—seolah hilanglah gaya beratku. Seolah hilanglah hubunganku dengan Bumi dan Matahari yang menentukan waktu jam, waktu tahun, dan abad. Semoga awet muda,” kata sang lelaki dalam prahara anggur.

Tiba-tiba sang dosen wanita memanggil pelayan dan memesan anggur.

“Hai, bukan hanya aku yang suka melarikan diri ke dunia anggur. Ada juga seorang wanita.”

Baca juga  Pupu yang Sombong

“Aku hanya kepingin melepaskan diri dari dinginnya angin laut. Aku takut masuk angin,” kata dosen wanita itu.

“Sudah ke mana pembicaraan kita tadi?” tanya sang lelaki. “O, tentang sandiwara tadi,” lalu diteguknya anggur.

Sang wanita juga menegukkan anggurnya: “Hah, aku menjadi hangat. Aku… aku mempunyai tafsiran lain. Tokoh wanita telah tiga kali bertunangan dan selalu pacarnya yang lelaki tinggalkan dia untuk kawin dengan perempuan lain. Masuk diakal kalau terhadap laki-laki yang keempat ini ia membuat jerat yang licik seperti Cleopatra. Ini suatu kebenaran sebab-akibat!”

“Hubungan saling licik-melicik, membikin kehidupan berakhir dengan bunuh diri. Ini suatu kemungkinan saja dari begitu banyak kemungkinan,” kata sang lelaki yang telah melihat dunia makin hangat dan sayup-sayup dalam temperatur anggur.

“Tokoh lelaki itu adalah manusia yang cemas. Ya, mungkin karena diikat oleh tembok-tembok istana yang penuh dengan tradisi dan upacara, tetapi ia adalah orang yang mencari seorang wanita!” kata dosen wanita itu.

“Omongan Anda ngawur. Tidak logis. Ungkapan dari impian Anda sendiri!” jawab sang lelaki.

“Daripada bicara tidak menentu, sebaiknya kita berdansa,” ajak dosen wanita.

***

TEMPAT dansa itu terletak di pusat kota Hiroshima. Pesta dansa itu terjadi di tahun 1945. Ketika sedang enak-enak dansa, tiba-tiba bom atom meledak. Kedua laki-laki dan perempuan setengah baya itu menjadi debu, debu yang masih utuh berpelukan. Tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa dari langit: lucu, lucu, kedua orang yang sedang melakukan reproduksi keturunanan itu, tiba-tiba jadi debu….

Telepon berdering pada jam sembilan pagi, di hari Minggu: “Hallo! Aku sakit kepala. Tetapi, anachronisme tadi malam memang menggelikan aku.”

Yang mendengar suara itu mengerutkan dahi: “Anachronisme?”’

Baca juga  Mungkin Sebuah Alegori

Lalu yang berbicara itu menjelaskan: “Urutan-urutannya begini: sandiwara, dansa, bahasa raja, Cleopatra, astronot dan Hiroshima! Entah karena mabuk atau entah karena mimpi aku merasa kita berdansa di Hiroshima di tahun 1945 dan tiba-tiba bom atom meledak, dan mendadak kita berdua jadi debu-debu yang berpelukan mesra, debu yang membuat suara-suara dari langit tertawa-tawa!”

“Kita bukan debu, kita adalah makhluk setengah baya yang sangat kesepian dan ketakutan dikejar-kejar usia,” lalu telepon diletakkan kembali. ***

.

.

Gerson Poyk (1931), penulis produktif yang telah mendapat berbagai macam penghargaan. Buku-bukunya yang terkenal adalah Sang Guru dan Oleng Kemoleng. Pernah menjadi wartawan dan mendapat hadiah jurnalistik Adinegoro. Pada 1989 ia menerima South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand.

.
Dalam Irama Walsa. Dalam Irama Walsa.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!