Cerpen Junus Mukri Adi (Kompas, 27 Agustus 1970)
TEMBAKAN itu hanya menggema. Dipantulkan pokok-pokok jati yang tegak lurus ke langit. Dipantulkan kesepian yang membesar di hutan itu. Gemanya menjauh hingga ke mana-mana.
Rodiyah pun mendengar juga gema dari tembakan itu, jelas menelusur lewat membran telinganya. Dan, ia mengenal suara senapan yang dilepaskan sore itu. Suara tembakan yang tidak asing lagi buat telinganya. Dan, ia tahu pasti apa yang jadi sasaran peluru itu.
Ia sedang menyalakan kompor di beranda samping rumah papan itu.
Sore itu udara tenang, angin lembut meniup dari lembah sana dan menghimpun jadi satu menyegarkan daunan jati, jengkol, dan pohon-pohon liar lainnya. Kendati cahaya matahari terhalang oleh rimbunnya pepohonan itu, akan tetapi goresan-goresan warna pedut yang kemerahan itu, mengembus juga ke pedalaman, menembus atap rumah, dinding dan di dalam hutan itu.
Rumah yang terbuat dari papan jati semuanya itu, dengan atap genting soka adalah rumah satu-satunya di dalam hutan itu.
– Ro! Lihat nih.
Panggilan itu datang dari luar. Rodiyah meninggalkan kompor mengikuti arah suara suaminya, di bawah.
Seketika ia tercengang.
– Mengapa tidak rusa jantan? Potongnya.
Urat-urat keningnya masih menoreh perasaan tercengang, malahan berubah dengan warna ketidaksenangan.
– Apakah aku harus memilih? Bodoh. Ini sudah untung. Menjelang gelap baru berhasil mengejar buruan ini.
Suaminya menukas dengan nada tegang, sambil turun dari kudanya dan menjinjing rusa yang sudah mati tertembak. Kuda itu berjalan ke arah belakang, ke arah kandangnya sendiri sebagaimana biasanya. Tanpa dituntun atau dicambuk, kuda itu sudah terlatih bertahun-tahun sejak Ikrom dan istrinya, Rodiyah menempati rumah itu sebagai petugas kehutanan.
– Tapi, aku tidak mau makan daging hewan itu, kata Rodiyah, dan ia masuk kembali ke dapur, menurunkan cerek dan menuang kopi susu untuk Ikrom.
– Aku makan sendirilah. Kebetulan tuan Hajerdahl berkunjung nanti malam, sahut suaminya dan menyeret hewan buruan itu langsung ke belakang. Hewan itu digantungkan ke sebuah bambu dan diikat dengan ijuk kuat-kuat. Ia mengulitinya segera dengan bersiul-siul kecil. Siul lagu-lagu barat yang dimengerti selama itu.
Rodiyah keluar dengan menenteng termos dan sebuah gelas. Ia menghampiri Ikrom yang bekerja memotong-motong daging rusa itu. Punggungnya mengkilap oleh keringat. Dan, tubuh yang kekar itu diimbau angin sore menyusup ke pori-porinya. Ia jadi semakin bersemangat, tidak merasa kecapekan.
Waktu Rodiyah menyodorkan gelas dan menuangkan kopi susu yang panas itu. Ikrom tersenyum-senyum kecil mencium kening istrinya itu.
– Tidak doyan sungguhan kamu?
Rodiyah menggeleng. Kepalanya dibuang ke atas. Tampak dilihatnya lewat sela-sela daunan itu, awan mulai bergerak dari beberapa arah, bercampur warna sore yang beraneka itu.
– Kamu sungguh keji, Ik.
– Keji?
– Hewan itu kan tengah mengandung. Caba kaitkan dengan diriku. Bagaimana aku yang hamil itu dibunuh seperti rusa itu? Coba?
Hampir-hampir mata Rodiyah merebak, tapi segera ia meninggalkan tempat itu.
Ikrom agak keheranan melihat kelakuan istrinya yang berubah itu. Perempuan itu hampir lima tahun tinggal bersamanya, tidak pernah menolak daging rusa yang kebetulan ditembaknya. Bahkan apabila ia lama tidak berburu, diam di rumah menyelesaikan buku-buku cerita, Rodiyah selalu menyuruhkan untuk mencarikan daging rusa.
Sekarang perangainya berbalik. Gara-gara ia hamil muda. Dan, Ikrom tahu benar alasan itu. Ia sangat berbahagia waktu istrinya mulai mengandung, dan mengatakan di suatu malam waktu berangkat tidur. Dan, Ikrom teringat, kelakuan yang berbalik menimpa istrinya adalah hanya perasaan-perasaan dari sugesti-sugesti orang-orang tua dulu. Ia sendiri menganggap, tak ada hubungannya apa pun antara perempuan hamil dengan rusa yang lagi hamil. Malahan, sehabis ia membuat tusukan-tusukan daging sebanyak lima puluh, daging sisanya itu langsung ia buang ke sebuah parit agak berdekatan dengan rumahnya, sebuah parit batu-batuan yang berair deras.
***
MALAM datang mencuci rimba jati itu ketika ia habis mandi dan berkemas-kemas ganti pakaian.
Dan, geluduk musim hujan mengimbau lagi dari langit yang pekat, menggetarkan jajaran pohon-pohon, daun-daun dan tumbuhan yang sudah dibalut malam.
Ikrom memutar telepon.
– Tuan Hajerdahl?
– Ya. Ini Ikrom, bukan?
– Malam ini jadi datang?
– Maaf. Aku ada tugas. Repot. Lain kali, deh.
– Aku sudah buat sate rusa.
Terdengar ketawa kecewa dari sana
– Sayang, tuan Hajerdahl.
– Tuan Ikrom, sekali-sekali aku mesti ke rumahmu. Aku sudah kangen main catur.
Dan dengan nada sedikit sumbang, Ikrom meletakkan gagang telepon dan mencari Rodiyah.
– Hajerdahl tak jadi datang, katanya.
Dipasangnya rokok kretek dan ia menarik sebuah kursi, setelah membetulkan letak lampu dinding.
– Pesta sendirilah, jawab Rodiyah.
Sementara itu, di luar hujan tak tertahan lagi. Seperti sebuah artesis, mencurah begitu saja. Dengan disertai angin, geluduk yang menyambar-nyambar mulailah kedua suami-istri itu hidup dalam dunia yang terasing kembali. Di hutan yang ditanami pohon-pohon jati itu, hanya kedua mereka itulah yang menghuni belantara.
– Aku mulai cemas kalau begini, ujar Rodiyah.
Kedua matanya menentang kaktus yang dimain-mainkan angin yang merembes lewat lubang dinding.
– Itu tekanan saraf. Tidak ada alasan untuk cemas. Potong Ikrom sambil tersenyum lirih, memungut sebuah buku dan mulailah ia membaca.
– Kamu pernah baca Robinson Croesu, bukan?
– Itu fantasi saja. Tapi, sekarang kenyataan.
– Kamu menyesal?
– Tidak, tukasnya, seperti perkataan yang paling berat dikeluarkan.
– Kita sudah mengenal hutan ini. Tidak berbahaya, bukan? Kaki Ikrom digeserkan dan seperti menopang paha istrinya.
– Tapi, sebaiknya kalau saya sudah melahirkan, kita minta pindah.
– Ah, tidak perlu.
– Tidak perlu? Anak kita jadinya apa di hutan terpencil begini? Ia akan seperti tarzan? Tidak bisa.
Suara istrinya agak meregang.
Ikrom tertawa kecil, melemparkan bukunya dan memandang wajah istrinya dengan mesra. Ia meraih kopi susu dalam termos, menuangkan ke sebuah tembikar menyerupai guci, meneguknya berkali-kali.
– Khayalmu besar sekarang. Kita ambil nanti pengasuh.
– Tidak ada yang mau. Kan kamu pernah usaha. Orangtuamu sendiri tidak bersedia, apalagi orang lain.
– Setelah lembah sana, mau cara berapa ratus. Jangan terlalu kecil hati.
Tangan kanan Ikrom menunjuk ke arah tenggara.
– Apa kamu kira kita ini sebatang kara?
Tertawa lagi, menyambung rokoknya dengan pipa.
Di luar hujan melanjutkan desaunya. Menggeracak, terdengar lewat genting-genting dan menebarkan bau daunan jati, menusuk hidung. Halilintar lebih sering menjepit telinga kedua orang itu.
– Penduduk dukun itu yang kamu maksudkan? Tidakkah dukun itu telah cedera terhadapmu sejak kamu tembak harimau piaraannya? Jangan main gampang. Aku merasakan bagaimana kebencian kepala dukun itu mencurahkan dendam kepada dirimu.
Menyambung Rodiyah. Ia tegak, memeriksa pintu-pintu dan jendela yang sudah terkunci rapat-rapat.
– Yang kutakutkan, dukun itu memusuhi diriku, kepada anak yang masih kukandung ini.
Ikrom menghabiskan rokoknya, melanjutnya tegukan minumannya dan tegak pula membetulkan letak deretan buku-buku yang terpasang di atas bufet.
– Sudahlah. Dongeng itu tidak akan pernah terjadi. Seribu kali dendam dukun tua itu, nonsen. Kalau masih uring-uringan, kutembak dia.
Ucapan Ikrom melintas ke telinga Rodiyah, ia terkejut memandang suaminya dengan kerut kening yang pudar.
– Kamu jadi pembunuh kalau begitu? Aku tidak setuju.
– Habis, aku kan tidak menyalahi diri sendiri yang mencoba mengaku punya piaraan harimau di hutan ini. Harimau dan segala tetek bengek di hutan ini adalah milik negara. Malah milik Hajerdahl, orang Eropa itu. Karena dia mendapat kepercayaan pemerintah untuk mengusahakan perdagangan kayu ekspor ke luar negeri. Dan, aku anak buah Hajerdahl, karenanya aku memiliki wewenang tentang hutan ini. Jelas toh?
– Jangan takabur, bentak Rodiyah, ia meludah ke lantai dengan muka cemberut.
Sebuah ledakan guruh mengais ke dalam ruangan itu. Rodiyah mendekap suaminya, kaget. Ketika ledakan itu lenyap ia melepaskannya perlahan-lahan.
– Hatimu diancam kegelisahan sekarang. Padahal, selama ini kamu tenteram. Dan, memang, bukankah kamu mencari ketenteraman di tempat-tempat sepi ini?
Berkata Ikrom, dengan suara lunak. Rodiyah menunduk, agak gemetar mencari kursi.
– Tapi, tempat yang sepi ini justru tidak membuat ketenangan bagiku.
– Sebab kamu banyak berfantasi. Yang bukan-bukan.
– Tidak begitu. Aku sekarang punya tanggungan. Dulu tidak. Kukira aku mandul, tapi ternyata aku punya keturunan. Dan, aku menginginkan anakku tidak seperti tarzan. Ia harus bergaul dengan masyarakat manusia yang normal.
– Itu bagus, dan apabila umur lima tahun, kita segera pindah. Jarak itu masih lama bukan? Dan, kamu masih mengandung.
Ikrom meninggalkan istrinya, mulai menghidupkan anglo berisi batu arang. Sebentar kemudian, suara hujan dibarengi bau daging yang dibakar. Sebuah suara, bukan geledek, mengusir kembali ketenangan Rodiyah. Suara itu datangnya dari arah selatan rumahnya. Berkerot-kerot seperti orang mengusik-usik papan. Dengan langkah yang cemas, ia menghampiri Ikrom. Di dekat pendiangan bara, suaminya tengah menikmati daging bakaran itu dengan mulut yang sebentar kepanasan. Tumpukan sate rusa dengan sambal kecap. Hujan tidak dihiraukan lagi oleh Ikrom.
– Ada suara aneh dekat dinding sana.
Suara istrinya terbata-bata. Tapi, lelaki itu tak sempat memperhatikan. Ia terbenam dalam keluhan pesta sendiri.
– Kamu sudah agak tuli? Rodiyah mengulangi.
– Apa? Kamu kepingin sate, Manis.
– Bah.
Rodiyah meludah.
– Lantas? Jangan ganggu. Katanya, berdiri dan mendekati istrinya yang berada di ambang pintu.
– Suara itu mencemaskan, kata Rodiyah.
– Suara? Sebentar.
Ia sudah siap membawa senter. Beberapa tusuk sate ditinggalkan begitu saja. Ikrom pergi ke belakang. Di luar derai hujan masih berlangsung guruh yang sendat. Sementara itu, dingin mulai menggerayangi seantero wilayah itu.
Tiba-tiba di sebuah sudut dekat kudanya, mata Ikrom seperti terkejut. Kuda itu juga terkejut. Segera ia balik, mengambil senapannya.
Melihat Ikrom menyandang bedil, secepat itu pula Rodiyah mencegahnya.
– Ke mana kamu? Jangan gila.
– Sebentar saja.
– Tidak. Aku jangan dibiarkan sendiri di rumah ini.
– Sebentar.
Ikrom mengelak. Seketika itu terdengar ringkikan kudanya makin keras.
– Sebentar. Tidak lama. Kamu butuh ketenteraman?
Dan, tanpa mendengar jawaban istrinya ia sudah melompat keluar. Ia merindik-rindik dalam kegelapan dan desau hujan. Ringkikan kuda sudah berhenti. Akan tetapi, sebuah langkah yang cepat seperti kilat membuat Ikrom melepaskan tembakannya sekali. Segera ia berlari menjumpai benda putih yang ditembak itu. Tapi, belum lagi ia sampai ke tempat itu, pekikan suara istrinya membuat ia dengan langkah tangkas masuk kembali ke rumah.
– Kamu bunuh istriku?
Suara Ikrom gemetar menahan luapan amarah.
– Tidak. Ia jatuh pingsan ketika aku masuk.
Lelaki tua dengan pakaian hitam-hitam bertolak pinggang dengan mata berbinar tajam. Ikrom memapah istrinya dan membaringkan ke sebuah dipan, di dalam kamar. Ternyata perempuan itu hanya takut dan pucat pasi. Dengan isyarat ia melarang Ikrom keluar. Tapi, Ikrom sudah hilang dan mencai-icari orang yang asing tadi. Seluruh ruangan itu digeledah, hasilnya kosong. Ia mengkal, dan segera ia keluar kembali menerobos hujan dan kelam malam. Dengan sikap seorang bekas pemburu yang lihai, ia sudah menemukan langkah orang tua itu.
– Berhenti, pengecut.
– Buang senjata itu.
Terdengar tantangan, di dekat beberapa langkah.
– Baik, sambut Ikrom. Senapan itu dilemparkan ke depannya.
Lihat, aku juga tidak bersenjata.
Tiba-tiba pergumulan secepat itu dimulai. Ikrom terbanting. Namun, segera ia koprol, menghajar punggung lelaki itu.
– Mampus kamu, tua bangsat.
– Kamu yang mampus.
Lelaki tua itu mengelak. Tapi, sebuah tamparan dahsyat mengenai kepala lelaki tua itu. Ia menggelepar jatuh. Ikrom tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan dibantu cahaya kilat, ia menyambar tengkuk lelaki itu kuat-kuat.
– Maaf, jangan bunuh aku.
Suaranya terbata-bata ketakutan.
Lelaki itu diseretnya dan dibawa oleh Ikrom masuk rumah. Di bawah cahaya lampu yang terang, tampak kedua orang itu sudah basah kuyup dan penuh lumpur.
– Apa yang kamu maksud semuanya itu?
Berkata Ikrom dengan suara keras dan melemparkan lelaki itu ke lantai tanah di ruangan itu.
Orang tua itu terlempar tak berdaya.
– Sejak Tuan menembaki harimau dan rusa di hutan ini, kekeramatanku menurun. Orang-orang kampung sana menipis kepercayaannya kepada saya. Pada mulanya mereka menganggap saya ini orang tua yang sakti, dan itulah pekerjaan satu-satunya, ngger.
Suara lelaki tua itu hampir lenyap didera geratap hujan, angin dan sesekali guruh yang menggelegar.
– Karena itu, tuan adalah penghalang utama, sesudah nama saya berpuluh-puluh tahun kondang di daerah ini. Ampuni saya, ngger, jangan dibunuh diri saya.
Suaranya menelusup masuk telinga Ikrom. Ia jadi iba hati, dan menyuruh lelaki tua itu untuk pulang.
Sejenak ia tegak di ruang itu. Sebuah geluduk menggelegar. Dahsyat menampar telinga.
Dengan langkah berat Ikrom masuk ke kamar istrinya. Ia pegang lengan perempuan itu.
– Ro. Sudah tidur.
Hanya kesenyapan menguntai kamar itu. Suara hujan di luar, suara angin dan desau napas Ikrom yang makin gemetar memegang wajah Rodiyah.
Perempuan itu kedapatan tidak bernyawa lagi. Barangkali ia mati ketakutan, atau menahan cemas yang luar biasa.
Dengan sempoyongan Ikrom mendekap istrinya itu kuat-kuat.
Sebuah guruh menggelegar, kemudian angin bersiut dan hujan terus menuangkan malam di belantara itu.
Bukit-bukit Rogodjombangan. ***
.
.
Awal Mei 1970
Junus Mukri Adi, penulis produktif dari Pekalongan, yang karyanya mendapat banyak penghargaan. Cerpen dan puisinya sering dimuat di majalah Horison.
.
Belantara di Musim Hujan. Belantara di Musim Hujan. Belantara di Musim Hujan. Belantara di Musim Hujan. Belantara di Musim Hujan.
Anonymous
Cerpen lawas yang keren. Deskripsinya mantap!
Don
Kata ‘itu’ dipakai berlebihan.
Penyepi
Arti belantara, KBBI: sangat luas (tentang hutan, padang dan sebagainya)