Cerpen Agus Dermawan T (Koran Tempo, 17 September 2023)
UNTUK kelima kalinya Ajun Komisaris Beno mengingsutkan langkahnya menuju jendela kantornya di lantai empat. Pandangannya lalu menelusuri halaman parkir yang menghampar di bawah sana.
“Belum datang juga, dia….” gumam Polisi Penyidik itu, pelan.
Rekannya yang mendengar gumaman itu segera merespons.
“Siapa gerangan yang Bung Beno tunggu? Bung kelihatan semangat sekali menyambutnya! Sampai menyediakan tempat parkir khusus kepadanya.”
“Dutasena Legenda berjanji datang pukul sembilan. Tapi belum muncul juga! Padahal sebentar lagi adalah jam penyidikan yang harus ia jalani,” sahut Beno.
“Apa yang akan Bung sidik dari dia?” tanya si rekan.
“Dutasena dicurigai menjadi dalang pemalsuan ratusan lukisan. Ia juga ditengarai menjadi juragan pemalsuan tanda tangan para pemain bola dunia. Kau ingat peristiwa pameran dan lelang Bola-bola Grafologi yang melibatkan Baldasar, pelukis yang sekarang sudah masuk penjara? Memang Baldasar yang memalsukan tanda tangan Lionel Messi, Kylian Mbappe, dan konco-konconya di butiran puluhan bola-bola itu. Tapi Dutasena yang mengatur penjualannya! Dia yang melelangnya. Dan uangnya sebagian besar masuk kantungnya. Aku akan membawanya ke meja pengadilan.”
“Bung yakin bisa menyeretnya? Dia orang berpengaruh, dia jago melobi, dia sangat kaya!” Si rekan bertanya lagi.
“Kaya? Buset. Apa urusan kaya dengan hukum? Dalam penyidikan, aku akan bikin dia tak bisa berkutik dan tidak mampu berargumentasi. Dan dia akan kujerat. Dia akan kutangkap!”
Beno kembali berjalan pelan menuju jendela. Mobil Dutasena belum juga kelihatan.
“Kau tahu. Kenapa aku dan banyak orang menambahi nama Dutasena dengan Legenda? Karena dia telah berkali-kali lepas dari hukum berat yang jelas-jelas menjeratnya. Ia tak hanya menipu orang yang tidak dikenalnya, namun juga berkali-kali mengkhianati para sahabatnya, teman seiringnya.”
“Mengkhianati?” tukas si rekan.
“Ya. Mengkhianati. Dalam hitunganku, dia sudah tiga kali melakukan itu! Tiga kali mengingkari perjanjian dan sumpah yang ia bikin sendiri. Perilaku Dutasena mengingatkanku kepada tabiat suram seorang politikus kita beberapa tahun silam. Sumpah, kali ini aku akan menangkapnya.”
Beno kembali duduk. Namun belum pula semenit ia kembali menuju jendela, melongok lapangan parkir. Sambil menatap ke bawah, ia bercerita.
“Khianat yang paling kuingat adalah yang berkait dengan kakakku. Dutasena semula adalah guru miskin di desa Gelagahrejo. Ia selalu mengeluh, gajinya sebulan sebagai guru hanya cukup untuk seminggu. Kasihan! Karena kasihan, kakakku yang sudah bekerja di kantor botani di kota nun jauh mengundangnya untuk gabung bekerja. Pertama, ia diposisikan sebagai juru ketik yang tugasnya meng-copy buku-buku lama, untuk diaplikasi dalam bentuk digital. Kariernya meningkat, sehingga ia diposisikan sebagai kepala bagian arsip. Nah, di sinilah Duta mulai bermain-main….”
“Mulai seru tampaknya!” seru si rekan.
“Betul. Dengan mencuri-curi, ia meng-copy buku-buku langka dalam banyak jilid dan dijualnya sebagai buku bajakan ke berbagai kampus. Setelah berhasil menjual sangat banyak copy, eh, ketahuan! Maka ia pun diadili di kantor. Ia mengatakan bahwa perbuatan itu atas saran kakak aku. Tentu kakakku marah tak kepalang. Mereka lalu bertengkar dalam sidang. Akhirnya, kakakku dan Dutasena dikeluarkan dari kantor botani itu. Kakakku menyebut Dutasena sebagai pengkhianat. Sudah diberi pekerjaan, bikin perkara, dan memfitnah pula.”
Beno melangkah pelan ke meja kerjanya dan kembali duduk. Ia merapikan lembar-lembar dokumen perkara.
“Itu kan baru yang pertama. Pengkhianatan kedua?” Si rekan mengompori cerita.
“Itu tak kurang-kurang celakanya…! Syahdan Dutasena yang sudah berkecukupan ekonomi bermukim di kompleks hunian lumayan mewah. Pada suatu hari, rumahnya digeruduk sejumlah orang karena ia dituduh menjadi pengendors sekaligus pengolah publikasi sejumlah sindikat pinjol, pinjaman online. Ia memang pandai berkata-kata. Aku sebagai petugas polisi ikut menerima pengaduan sekelompok orang itu.”
“Pasti Bung ringkus itu barang!”
“Pastilah begitu. Kalau saja dalam keributan itu tidak muncul Bu Ketua RT. Begini ceritanya: setelah perdebatan terjadi dan maki-maki kelompok penggeruduk berhamburan, masalah heboh itu diredakan oleh Bu Ketua RT. Si ibu berjanji akan membawa persoalan itu ke polisi. Semua diyakinkan bahwa polisi akan mengurus perkara dengan cermat, untuk kemudian membawa kasus ke tingkat pemeriksaan. Namun eehhh… pihak polisi kalah, lho, karena mendadak Dutasena dibela oleh seorang pengacara. Kasus perpinjolan pun ditutup dan Dutasena bebas merdeka.”
“Wah, kalah?” Si rekan terkesima.
“Ya, kalah! Lantaran si pengacara itu ternyata adalah kakak dari Bu Ketua RT. Dan ia bekerja sekuat tenaga atas permintaan Bu Ketua RT. Dari pembelaan itu, Dutasena tahu benar apa yang dikehendaki oleh Bu RT. Maka pada suatu kali di sebuah kafe yang temaram, Dutasena berkata lugas: – Bu Ketua RT, saya tidak akan melupakan jasa Ibu. Saya tahu Ibu akan mencalonkan diri menjadi Ketua RW pada tahun depan. Saya akan mendukung Ibu sepenuhnya. Saya akan membuat kampanye untuk Ibu sebisanya. Ibu harus jadi pemimpin di RW terbesar di kota ini, yang memiliki 30 RT, dan membawahkan 800 kepala keluarga, yang berarti mengayomi 4.000 warga. Saya bersumpah, Bu! Uang Dutasena memang masih sangat banyak, hasil dari usaha pinjol.
“Hihihi. Mulai mbanyol dia!” Si rekan tertawa.
“Mbanyol bagi kamu, tapi konyol bagi Bu Ketua RT. Karena ketika pemilihan Ketua RW mulai digaungkan, dan tiga nama cawe atau calon RW diumumkan, ternyata ada nama Dutasena di situ. Tentu saja Bu Ketua RT gusar bukan main. Tapi pemilihan Ketua RW tetap dilangsungkan. Di mimbar, para cawe menawarkan aneka program. Dutasena yang pandai bicara mengemukakan berbagai gagasannya, yang kadang fatamorgana.
Selain itu, ia tegas mengatakan: – Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan Saudara-saudara sekalian, apabila berkali-kali lingkungan RT saya mempeloleh penghargaan untuk penghijauan, kebersihan dan keindahan lingkungan, izinkan saya mengaku bahwa itu adalah karena peranan saya. Silakan cek. Saya selama ini memang selalu mengucurkan bantuan uang yang tak terbilang dan mendatangkan Ahli Hunian sebagai konsultan. Sebagai penutup, saya juga harus mengaku bahwa pencalonan saya ini sudah mendapat restu dari Pak Lurah! Mendengar pidato itu, warga bertepuk riuh. Dutasena terpilih sebagai Ketua RW!
Dalam forum itu, Bu Ketua RT segera menyalami Dutasena sambil mengucapkan: “Kamu memang pengkhianat jempolan.”
Beno lagi-lagi melangkah pelan ke jendela.
“Belum juga datang itu orang. Tapi, sungguh, kali ini ia akan kusidik cermat, sampai tuntas ke akar-akarnya, dan ia akan kutangkap. Kalau mau tahu pengkhiatannya yang ketiga, baca kliping koran yang ada di mejaku. Atau cari jejak digitalnya di gawaimu. Tentang pemilihan Bupati Kota Langkapura!”
Berita yang dimuat di Langkapura Post edisi 29 April 2028 itu berbunyi begini:
Menurut sejumlah sumber, dalam pilbut (pemilihan bupati) tersebut, Dutasena menjadi konsultan politik dua kaki. Ia mengonsep isu sensitif untuk kampanye calbut Indradjit. Lalu konsep kampanye itu sengaja dibocorkan kepada calbut Khing Ke. Dan Dutasena lantas membuatkan konsep kampanye untuk melawan isu sensitif itu. Di balik semuanya, secara rahasia perusahaan Dutasena menggarap proyek pengadaan logistik untuk dua calbut. Maka, siapa pun yang menang dan siapa pun yang kalah, Dutasena pula yang untung. Menurut pakar hukum, perbuatan ini sangat tidak etis.
Sumber itu mengatakan bahwa Dutasena pernah ditolong dibebaskan dari kasus penyelundupan benur oleh Indradjit sehingga tidak jadi dipenjarakan. Di sisi lain, Dutasena juga pernah ditolong ekonominya oleh Khing Ke ketika ia terimpit krisis keuangan berkelanjutan. Itu sebabnya Khing Ke menyebut Dutasena sebagai “pengkhianat durjana”. Sedangkan Indradjit mempredikatinya dengan “pengkhianat yang berjasa”.
***
Pintu ruang kantor Ajun Komisaris Beno tiba-tiba ada yang mengetuk.
“Benoooo. Aaaaccch. Long time no see! Sehatkah kau, kawan?” seru Dutasena sambil memeluk erat Beno.
“Saya selalu sehat kuat, Pak Dutasena. Bapak tahu ya, mohon izin, hari ini saya akan menyidik Bapak. Esok teman saya akan menyelidiki Bapak. Esoknya lagi, teman saya yang lain akan menersangkakan Bapak, lalu mendakwa Bapak. Saya khawatir, Bapak akan dihukum,” ujar Beno.
“Sejak dulu kau selalu bicara begitu, kawan…!”
Dutasena dan Beno berjalan menuju ruang tertutup, ruang penyidikan.
Di situ Dutasena dicecar 44 pertanyaan, selama 4 jam, dalam suasana formal.
“Saudara bernama Bhuta Seina alias Dutasena?”
“Benar adanya.”
“Apakah Saudara mengenal pelukis Baldasar?”
“Hanya kenal-kenal ayam.”
“Kenal-kenal ayam…. Tapi pihak penyidik punya foto-foto Saudara sedang berakrab-akrab bersama Baldasar di beberapa kota di dunia.”
“Apakah ayam tidak boleh berfoto dan jalan bersama?”
“Ada banyak alat bukti yang menguatkan bahwa Saudara mempromotori dan menjual 210 lukisan palsu bikinan Baldasar. Terakhir, menjual puluhan bola Piala Dunia palsu yang menerakan tanda tangan palsu para pesohor bola. Bagaimana Saudara memahami itu?”
“Alat bukti itu sungguh keliru.”
“Apakah Saudara tahu bahwa kasus Saudara sudah berjalan mendekati tahap tersangka dan hukum akan segera menahan Saudara?”
Dutasena menatap mata Beno. Kemudian keduanya kompak terbahak.
***
Tiga hari setelah penyidikan, Dutasena sudah ada di Bandara Gardermoen, Oslo, Norwegia. Salju lembut yang menandai awal musim dingin pelan-pelan menghiasi lapangan terbang. Pada momentum di pagi mempesona itu, gawai Dutasena Legenda bergetar. Ia pun membaca WhatsApp di layar: Hai hai Bro Dutasena. Apa kabarmu hari ini?
Dutasena segera menulis sahutan: Kabar baik sekali. Bagaimana Bapak? Dan bagaimana pula itu Si Beno?
Sahutan itu segera pula berjawab: Kalau Si Beno, penyidik yang buta tanda zaman itu, kemarin sudah aku mutasi, sebelum nanti kucopot. Beno memang anak buah yang kurang belajar sehingga kurang ajar. Masak, berani-beraninya dia mau main cokok? Petugas macam apa itu!
Dutasena cepat menyahut: Wah, terima kasih, Pak. (Dengan stiker orang menunduk dalam-dalam).
Sahutan itu kembali berjawab: No Problemo…. Oya, kudoakan juga perjuangan Bro Dutasena sebagai calon legislator tidak banyak rintangan, ya. Sepenuhnya akan kubantu. Selamat tamasya, dan jangan lupa ole-olenya. Cukup patung monyet kristal Swarovski, sepasang saja.
Dutasena tersenyum lebar. “Tak terduga, Pak Inspektur Jenderal Agoes Dharma akhirnya senang karya seni juga…,” katanya dalam hati.
Salju makin banyak turun. Suara panggilan untuk penumpang di ruang tunggu terdengar sangat melodius, seperti lantunan orkestra lagu Morning komposisi Edvard Grieg. ***
.
.
Agus Dermawan T adalah pengamat seni dan penulis buku-buku budaya. Buku kumpulan cerpennya, Odong-odong Negeri Sulap, diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, 2022.
.
Antologi Pengkhianatan Dutasena. Antologi Pengkhianatan Dutasena. Antologi Pengkhianatan Dutasena. Antologi Pengkhianatan Dutasena. Antologi Pengkhianatan Dutasena.
Leave a Reply