Cerpen A Warits Rovi (Media Indonesia, 10 September 2023)
MENGENAL Mira di Pasar Kona karena bahasanya yang unik dan suaranya yang indah. Kala itu, aku dengannya sama-sama duduk di sebuah teras toko bekas sambil menunggu orang-orang berhati dermawan lewat dan memasukkan sebagian uang mereka ke kaleng yang menganga di hadapan kami.
Kami biasa duduk hingga azan Zuhur terdengar atau ketika pasar mulai sepi. Di sela waktu yang senggang, kami sering terlibat cakap meski aku tak benar-benar pandai menerka bahasa yang ia ucapkan padaku.
“Nyamu ya’ lang i tipi,” begitu yang selalu ia katakan padaku. Aku tidak tahu apa arti ucapannya itu sehingga aku tidak mengangguk juga tidak menggeleng. Aku baru tahu maksudnya setelah Yuli, adiknya, ikut ke tempat itu lima hari setelahnya, maksud dari ucapan itu adalah kamu seperti orang di TV. Kata Yuli, kakaknya itu memujiku.
Aku bahagia mendengar ucapan itu meski aku belum tahu TV itu seperti apa dan orang di dalamnya seperti apa. Tapi—sebagaimana yang diceritakan teman-teman— setahuku orang yang ada di TV itu bukan sembarangan, biasanya artis. Kabarnya, artis itu cantik dan tampan. Berarti ia menyebutku tampan. Ah, berbunga-bungalah aku!
“Tapi masak aku tampan?”
Kadang aku heran dan bertanya pada diri sendiri seraya meraba-raba seluruh wajah. Aku tak tahu wajahku seperti apa sebab aku tidak pernah melihatnya dalam cermin.
Hari-hari berikutnya kami semakin karib atau tepatnya romantis. Aku pun mulai memuji suaranya. Ia tertawa seperti malu dan manja. Kami pun selalu bercanda, bahkan saling menelepon meski aku tetap sebatas menduga-duga pada apa yang ia katakan. Pada akhirnya, kami saling menyatakan cinta.
Aku yang buta tak bisa melihat wajah Mira. Tapi aku sangat mencintainya. Mira yang bisu tak bisa mengatakan cinta kepadaku. Tapi dia sangat mencintaiku.
Sejak saat itu, setiap minggu pagi, Mira selalu mengirimiku bunga anggrek ungu yang ia petik dari pekarangannya rumahnya sendiri. Fikar, si bocah kecil yang menyampaikan bunga itu ke rumah, memakai sepeda ontel dengan penanda bel tiruan yang bunyinya mirip anak menjerit. Mira mengupah Fikar Rp 20.000 setiap kali ia disuruh ke rumah; upah yang menurutku sangat mahal untuk ukuran jarak 1 kilometer dari rumah Mira ke rumahku.
“Tapi cinta membuat sesuatu yang mahal tampak biasa-biasa saja,” demikian pesan suara yang Mira kirimkan kepadaku pada suatu malam yang sunyi. Suara itu adalah suara Yuli, adik kandungnya yang biasa menerjemahkan bahasa isyarat dan bahasa absurd Mira setiap kali berkomunikasi dengan seseorang.
Suatu ketika, Mira pernah memintaku untuk berswafoto lalu ia minta dikirimi. Aku pun melakukan itu. Aku minta bantuan Qosim, adikku, untuk mengirimkan fotoku kepada Mira. Beberapa saat setelah foto itu terkirim, kemudian kembali ada pesan suara; aku hafal, itu suara Yuli yang menerjemahkan bahasa Mira. Ia menyatakan bahwa wajahku tampan. Mendengar pernyataan itu tentu saja ada beragam perasaan yang melebur masuk ke dadaku; lucu, tersinggung, dan bahagia. Tapi setelah beberapa saat berpikir, aku yakin Mira tidak bermaksud menyinggungku. Ia pasti menyebutku tampan memang karena dorongan suara hatinya. Aku langsung bersujud, betapa Tuhan Mahakuasa yang telah menciptakan kekuatan cinta melebihi akal sehat manusia.
Menjalin cinta dengan Mira membuat hari-hari kami seperti bebas dari kondisi disabilitas; mataku seperti seketika terbuka dan bisa melihat dunia dengan jelas, Mira pun mengaku seolah lidahnya fasih berbicara dan dunia memberi kehidupan baru yang jauh lebih indah.
***
Waktu tujuh bulan membuat aku, Mira, dan keluarga yakin hubungan kami sangat baik sehingga kami melanjutkannya pada jenjang pernikahan. Ibu memelukku haru saat hari pernikahan tiba, sementara aku juga tak bisa membendung tangis, air mataku menetes dingin mengaliri bagian tubuh yang lain. Beberapa kerabat dan tetangga turut menangis haru di dekatku. Suara tangis itu melebihi ucapan selamat.
Seusai akad, saat tamu-tamu berdatangan ke rumah Mira, kami berdua duduk di pelaminan layaknya orang normal; berpegang tangan, sesekali mengobrol atau berfoto mesra. Kala itu aku serasa bisa menaklukkan derita kebutaanku dan dunia seperti memberiku pemandangan yang tak ada duanya. Aku yakin, di antara undangan mungkin saja ada yang menertawakan kami, tapi aku tak peduli, demikian juga dengan Mira. Cinta sudah di atas segalanya, membuat kekurangan dalam diri serasa lenyap begitu saja.
Sehari setelah akad nikah, saat pagi diparam gerimis. Aku dan Mira duduk mesra di beranda pada sebuah kursi panjang. Tangan kami berpegangan. Ada cerita dan tawa yang tak kupahami dari mulut Mira, tapi aku juga turut tertawa sebab kebahagiaan kami jauh lebih besar daripada ketidakpahaman itu.
Tak lama kemudian, ibu Mira mengantar nasi, lengkap beserta lauknya dalam sebuah talam besar. Mira membantu meraih tanganku lalu diarahkan untuk meraba isi talam satu per satu. Memungut barang sepotong satai berbalur bumbu kacang pada sebatang tusuk bambu. Lalu kami makan dan saling suap. Tertawa sambil bercanda. Aku tak menyangka bakal mengalami romantisme hidup seperti itu layaknya orang-orang normal.
Kami terus bersenda gurau dan tertawa hingga nasi dan makanan lainnya habis menyisakan piring yang kosong melompong di atas talam. Hingga tiba pada detik ketika aku tidak paham pada sesuatu yang Mira katakan, membuat ia mengulangi perkataannya berkali-kali, tapi tetap membuatku tercengang berkali-kali. Akhirnya ia memanggil Yuli untuk menjelaskan apa yang ia katakan. Kemudian Yuli menjelaskannya padaku.
“Kak Mira bilang begini, ‘Izinkan aku jadi tongkat abadimu yang akan menuntun langkahmu pada jalan keindahan’,” suara Yuli tenang dan jelas, membuat dadaku berdebar kencang, dan tubuhku sedikit gemetar.
“Perkenankan aku jadi lidah abadimu yang akan berbicara kepada dunia tentang kekuatan cinta,” tiba-tiba saja bibirku membalasnya dengan kalimat itu, seolah memantul dari suara hati terdalam.
Ia dan Yuli tertawa agak lama, entah lucu atau bagaimana, yang pasti kalimat yang kuucapkan dan kalimat yang ia ucapkan benar-benar berasal dari hati tulus yang dipenuhi bunga-bunga cinta.
Hari-hari berikutnya, dengan bermodal cinta yang kuat, aku dan Mira mengubah sumber pendapatan dari mengemis pada kegiatan yang lebih bermartabat; menjajakan aneka jajanan tradisional yang kami buat sendiri. Biasanya sehabis subuh kami sudah di dapur. Aku mengaduk tepung dan bahan yang sudah dipersiapkan oleh Mira, sedang Mira mencampur takaran bahan ke dalam wadah. Ia juga memasak dan mengatur nyala api pada kompor dan aku mengemasnya pada plastik.
Ketika menjajakan dagangan, Mira yang ada di depan, sembari menuntunku dengan berpegang tangan melintasi beragam medan, kadang terjal, menurun, datar, berliku, licin, berumput, atau berkerikil. Aku di belakang Mira; menawarkan dagangan sepanjang jalan sekaligus berkomunikasi dengan para pembeli.
Begitulah aku dan Mira menjalani hidup dengan jalinan cinta yang saling dijaga: kami saling mengisi kekurangan masing-masing hingga menjadi kekuatan yang membuat kami lebih mudah menaklukkan dunia dan mewujudkan keinginan dalam keterbatasan.
Di sepanjang jalan menjajakan dagangan, selain ada yang memuji dan bersikap biasa saja, ada juga yang bisik-bisik dan terang-terangan menyindir kami dengan sebutan yang menyakitkan, tapi semua itu kami tanggapi dengan hati yang tenang seolah duri cobaan bagi perjalanan kami yang mesti dibuang.
Begitulah kami bertahan atas segala cobaan, hingga usaha kami terus berkembang, hingga aku paham bahasa unik Mira yang keluar dari mulut bisunya, hingga kami punya anak. Anak kami laki-laki. Ia tidak buta dan tidak bisu sebagaimana ayah dan ibunya, bahkan kata orang-orang ia sangat tampan rupawan.
Pada suatu pagi sehabis subuh, ketika kicau burung trucuk merempahi udara dingin di luar jendela, aku dan Mira duduk di bangku kayu panjang yang ada di beranda. Bayiku menggeliat tenang dalam gendonganku. Beberapa saat kemudian diganti oleh Mira saat merengek hendak menyusu.
“Yi ni mama uki casu,” bisik Mira mengusulkan sebuah nama di telinga.
Aku tertawa kecil dengan pernyataan Mira itu. Untuk paham ucapan Mira, kini aku tak perlu lagi bantuan Yuli karena aku sudah banyak baur dengan Mira.
“Yi ni mama uki casu,” sekali lagi Mira berbisik dan aku mengangguk.
Aku setuju pada nama usul Mira itu. Ia akan memberi nama Rizqi Tasu, yang berarti rezeki bagi yang buta dan yang bisu. ***
.
.
Rumah FilzaIbel 2023
Warits Rovi lahir di Sumenep, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel dimuat di berbagai media, antara lain Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, Majas, Sindo, hingga majalah Femina. Ia pun memenangi beberapa lomba karya tulis sastra. Buku cerpennya yang telah terbit berjudul Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Buku puisinya yang berjudul Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela memenangi lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020.
.
Romantisme Cinta si Buta dan si Bisu. Romantisme Cinta si Buta dan si Bisu. Romantisme Cinta si Buta dan si Bisu.
Leave a Reply