Cerpen Wina Bojonegoro (Jawa Pos, 24 Januari 2010)
KEPADA sahabatku: Jay
Seperti pernah kukatakan padamu, hari inilah aku mencatat sejarah dalam hidupku. Kan kulintasi beberapa benua, beberapa lautan, beberapa negara. Trip ini juga jauh lebih menegangkan dari Ekspedisi Kilimanjaro, karena dalam misi ini terdapat pertarungan hati dan masa depan, dengan memakan waktu 12 jam penerbangan, menyinggahi empat bandara.
Jay, temanku yang selalu kurindukan.
Masih sanggupkah seorang laki-laki menjeratku sedemikian rupa? Sering kukatakan padamu bahwa hidup kita ini misterius. Begitu banyak hal terjadi di luar rencana. Itulah keajaiban. Meskipun kau bilang tidak pernah ada kebetulan atau keajaiban di dunia ini. Semua hal terjadi karena ada perencanaan dan ada kemauan untuk mencapai atau melampauinya. Kau katakan pula bahwa hidup ini dipenuhi hal-hal rasional yang mendasari perilaku dan tata kehidupan sehari-hari. Hanya manusia primitif saja yang percaya pada keajaiban. Menurutmu, kebetulan adalah bertemunya dua faktor secara bersamaan, yaitu harapan dan kesempatan.
Jay, kau sama seperti dia.
Ketika kukatakan padanya bahwa nasib percintaan kami bukanlah sebuah kepastian, dia menolaknya. Hidup kita adalah milik kita. Kita sendirilah perencana dan sekaligus pembuat keputusan bagi seluruh hidup kita, begitu katanya. Dan kami pun bersitegang karena itu. Aku percaya pada kemustahilan-kemustahilan yang kemudian menjelma menjadi kenyataan. Tuhan menciptakan semuanya demikian detail dan sempurna. Dan bagi Tuhan, sungguh tak ada satu hal pun yang sulit. Hanya dengan bersabda kun fayakun, maka jadilah kehendak-Nya. Sedangkan dia menilai bahwa sebuah peristiwa adalah hasil perbuatan kita sendiri. Baik dan buruk itu adalah hasil yang kita petik dari keuletan dan usaha kita sebelumnya.
Tetapi, apa pun kesimpulan dari persitegangan itu toh akhirnya aku memutuskan pergi jauh menemuinya. Kesepakatan kami adalah: cinta mesti diperjuangkan, tidak sekadar ditunggu lalu terjadilah itu.
Januari masih terlalu dingin di kota Korsakov. Menurutku, dingin itu soal persepsi. Manusia dibekali banyak kemampuan untuk beradaptasi dengan segala cuaca. Bagiku tak masalah seberapa dingin cuaca di kotanya yang aneh itu, yang konon kehidupannya sungguh monoton, dengan makanan yang hanya keju dan susu, hiburan yang hanya penari telanjang di kelab-kelab malam. Maka, kehadiranku bakal menjadi semacam musim semi di tengah gerai salju.
Jay sahabatku yang tak pernah bosan pada cerita-ceritaku…
Ku mulai perjalanan mendebarkan ini. Hidupku, masa depanku, sisa usiaku, tergantung pada perjalanan ini. Dan aku tak mampu melukiskan seperti apa gegas dalam diriku ketika aku memandangnya dalam jarak tanpa batas. Keputusan ini berawal pada pengumuman yang mencantumkan namanya dalam sebuah program S3 di St. Petersburg, membuatnya tak mampu memenuhi janji datang padaku di bulan Januari.
“Maukah kamu datang dan menemaniku sampai saatnya aku masuk kelas di St. Petersburg?” Suaranya merdu dan seksi. Melambai-lambai.
Aku shock! Telepon yang kugenggam waktu itu hampir terpental.
“Setelah itu kita akan buat sebuah pembaruan hidup bagi kita.”
Kita? Pembaruan hidup? Kalimat itu, kalimat tantangan sekaligus hiburan bagi pengembara di padang tandus semacam diriku. Yap! Korsakov! Bayangkan Jay… Korsakov!
Pagi buta menyeretku tergopoh-gopoh menuju Bandara Internasional Changi yang sibuk luar biasa. Pernahkah ada ketenangan dalam hati yang tergesa-gesa ingin menemui kekasihnya? Tidak juga aku. Dan juga ketika aku harus tidur semalam di Bandara Narita, itulah penyiksaan paling buruk dalam sejarah penantianku. Namun aku menguatkan diriku bahwa semuanya segera berakhir. Dan begitu aku bertemu dengannya, maka lunaslah segala derita panjang ini.
Jay, kau tahu bagaimana rasanya bisa memandang sosoknya dalam bentuk nyata?
Dengan feri aku meninggalkan Wakkanai, Hokkaido, membelah teluk Aniva menuju dermaga Korsakov di mana dia berdiri. Dari kejauhan mataku segera dapat mengenalinya, wajah tampan perpaduan dari Dmitry Korsakov dan RA Rahajeng Kusumastuti. Dia melambai disertai senyum aristokrat yang diwariskan ibunya. Dadaku serasa hendak meledak oleh lesakan rasa gembira yang membusung secara tiba-tiba, membutuhkan aliran untuk meleleh dengan segera, sebelum aku meledak bersama rasa suka cita.
Jay, kau pasti tahu bagaimana rasanya.
Aku bahkan tak peduli pada dingin bibirnya yang mencium pipiku bertubi-tubi. Bukankah Januari seharusnya memang masih dingin? Dan ingatlah bahwa aku segera menghangatkannya.
Memandang kedua matanya yang berwarna hijau dan bibirnya yang merona kemerahan membuat luluh lantak seluruh format hatiku. Dia membuat hard disk-ku tak dapat dikenali lagi partisinya. Mana jantung, mana hati, mana lambung, tidak jelas lagi fungsinya.
Jay, inilah surga itu! Sekarang aku berdiri di halaman rumahnya yang menyerupai gedung Grahadi dalam skala kecil. Halaman rumput yang luas dan pohon-pohon maple di sekelilingnya, dan juga cemara-cemara. Rumah yang megah pada sebuah kota kecil yang hanya dihuni 35.000 jiwa dengan latar depan laut dan teluk dan latar belakang hutan-hutan cemara. Sungguh dia tak membual bahwa kota ini hampir seperti kota mati di musim dingin seperti ini. Hanya sesekali saja terdengar lalu lalang kendaraan, itu pun lebih sering mobil pencair salju. Dari dalam jendela istana yang besar dan bertirai warna putih tulang, butiran salju yang turun bagaikan buliran stereofome yang dihamburkan dari langit. Pohon-pohon di luar sana tak lagi terlihat hijaunya, seluruhnya putih. Tetapi aku tergulung bahagia. Tak ada penamaan untuk bahagia yang bertubi-tubi kecuali bahagia itu saja.
Jay, temanku yang tak pernah pudar oleh masa.
Siang hari terasa masih terlalu pagi ketika dia menawarkan menu makan siang untuk kami. Tetapi bagiku yang lebih menarik adalah sebuah grand piano di tengah ruang keluarga itu. Tiba-tiba dia duduk di depan piano dengan anggunnya.
“Sambil menanti daging kita siap disantap, mari kutunjukkan padamu bagaimana sebuah simponi dimainkan untuk sebuah cinta,” katanya seraya memintaku duduk di sampingnya.
Jemarinya yang halus menyentuh lembut tuts piano peninggalan buyutnya itu, lalu mengalunlah Nocturne yang menyayat bilik hatiku. Pantulan energi klasiknya menyusupi rongga-rongga dalam jiwaku yang terpanggang sepi di antara hiruk-pikuknya dunia. Begitu sempurnanya hingga aku tak dapat membedakan apakah itu Nickolay Erlangga Korsakov ataukah Frederick Chopin yang memainkannya. Aku berdiri dalam jarak beberapa depa untuk memastikan itu benar permainan dia, dan ketika permainan sampai di ujung penghabisan, aku merasa inilah sesungguhnya sosok laki-laki yang kurindukan untuk menggenapi dahagaku.
Tetapi mengapa Nocturne?
“Kau suka?” Dia menoleh dengan senyum teduh yang membuatku jatuh cinta dari menit ke menit. Kukatakan, ”Tidak, aku tidak menyukainya…tapi aku tergila-gila padamu.” Dia merengkuhku dengan hangat. Seperti selembar selimut menghangatkan seluruh tubuh di bulan yang dingin ini.
“Mengapa Nocturne?” tanyaku, ”Bukankah lagu ini dicipta oleh komposernya akibat rasa sedih dan sepi yang menyayat di malam hari?”
“Ya, tetapi sebuah komposisi tercipta tak akan mampu menghadirkan roh dari ciptaan itu jika tak disertai cinta yang dalam ketika proses penciptaannya.”
“Tetapi menurutku Nocturne itu lagu sedih,” sanggahku, “Tidak sesuai dengan suasana hati kita yang sedang bahagia.”
“Tetapi kau hanyut ketika aku memainkan?” Aku mengangguk.
“Karena di dalam permainan dan penikmatan ada cinta yang saling memberikan energi, dan energi positif dari dua orang yang saling mencintai bukan sekadar menyehatkan, melainkan juga menghidupkan. Ia seperti air yang disiramkan pada sebatang pohon setelah melewati musim kering yang panjang.”
Jay, apakah ada alasan bagiku untuk tak bahagia dalam suasana semacam itu?
Sekarang, tak ada bedanya siang dan sore di kota ini, tetapi malam dapat ditandai dengan gelap yang perlahan-lahan merengkuh bumi dengan warna putih salju tetap menghiasi seluruh permukaannya. Agenda besok pagi telah tersusun rapi: mengunjungi grocery store satu-satunya dengan dagangan yang didominasi blueberry, dan tentu saja menikmati restoran yang hanya dua buah, dengan makanan ala Rusia.
Surga itu telah kugenggam Jay, aku tak akan melepasnya lagi, untuk alasan apa pun. Dan benar belaka bahwa cinta harus diperjuangkan, lalu malam itu aku terlelap di atas kasur bulu angsa yang empuk dan selimut yang terlalu lembut hingga tak kusadari pagi menjelang dan suara gaduh mengetuk pintu kamarku.
Jay, episode yang berbeda mendadak harus dimulai dari sini.
Seorang pria Rusia mengenakan topi kerja dengan celemek di tubuhnya berdiri melotot di depan pintu ketika aku membukanya. Dia berusaha menyapa dengan bahasa yang tak kukenali. Aku celingukan mencari-cari di mana Nick, kekasihku. Pria itu terus berusaha berkata-kata, aku juga berkata-kata dalam bahasa Inggris. Tetapi kami tidak menemukan titik temu. Dengan baju tidur dan sleeper aku berusaha mencari dan berteriak memanggil Nick, ke ruang makan, ke perpustakaan, ke halaman belakang dan pria itu terus membuntutiku. Setengah menangis aku menjeritkan namanya secara lengkap: Nickolay Erlangga Korsakov….!!!!!!
Laki-laki itu memegangi pundakku dengan tekanan. Aku mulai ingin menangis….
“Speak in English please…,” pintaku. Lalu pria itu mendekati telepon, aku terduduk lesu di sofa yang semalam kunikmati berdua. Ke mana gerangan Nick?
Beberapa menit kemudian datanglah dua polisi berseragam. Oh Tuhan, mereka pikir aku penyusup?
Jay, wajahku pasti sudah pucat pasi karenanya. Seluruh tulangku rasanya melemah. Ada apa ini?
“Good morning, can I help you Miss…,” polisi yang masih muda menyapaku.
“Sri Sulastri,” jawabku bingung.
“Your passport, please…” Dengan wajah pilon aku berjalan ke kamar dan menarik day pack yang belum sempat kurapikan.
Setelah membaca pasporku berkali-kali, membolak-balik, akhirnya dua polisi itu memintaku duduk. Dengan lembut ia bertanya untuk apa aku di sini, dan dengan kejujuran dan keluguan aku katakan aku datang untuk menemui Nick, yang saat ini tiba-tiba raib entah di mana.
Jay, sekarang aku seperti seorang pesakitan yang menghadapi tiga penuntut umum, dua polisi dan seorang pekerja di rumah ini. Surga dan neraka tiba-tiba begitu dekat jaraknya. Aku tak tahu akan ke mana sebentar lagi. Seumur hidup aku tak pernah berurusan dengan polisi, tiba-tiba sekarang aku harus berhadapan polisi di negeri orang.
Jay, aku ingin menangis sejadi-jadinya.
Lalu polisi muda itu memandangku dengan iba.
“Are you sure you’ve been with him last night?”
Aku mengangguk, menahan air mata.
“It’s impossible…”
“No!!” sergahku. ”He played that piano, we got twice meal…talked in this sofa and we plan to get out to day…”
“Miss Sulastri… Mr Nickolay Korsakov is in hospital, since 5 days ago.”
“Noooooooooo!!!!” teriakku.
Selama lima hari itu dia selalu berkomunikasi denganku via messenger, e-mail dan SMS. Mengapa mereka mengatakan Nick koma di rumah sakit karena kecelakaan?
Jay, benarkah surga dan nereka itu berdekatan hingga kita tak dapat menerka di mana garis batasnya?
Pagi itu tentu saja masih dingin, tetapi aku ingin berlari menerjang butiran salju untuk mengejarnya di Korsakov Rayon Hospital yang berjarak sekitar satu kilometer. Masih dengan baju tidur dan sleeper aku berlari sekuat tenaga menapaki halaman luas itu. Tetapi mereka mengejarku, petugas house keeping itu memakaikan mantel bulu pada tubuhku dengan wajah dingin dan mata kebingungan. Pak polisi menunggu seperti hendak memasangkan borgol di kedua tanganku. Maka, begitu mantel itu terpasang, aku segera berlari sambil menahan derai tangis. Mereka ikut berlari di belakangku, sambil meneriakkan namaku dalam aksen yang aneh.
Di halaman rumah sakit yang lengang itu mereka berhasil mengejarku. Aku menggigil kedinginan. Air mataku tumpah tanpa mampu kukendalikan lagi. Dua polisi itu berbicara dengan petugas house keeping, lalu menggandeng tanganku. Tetapi petugas house keeping itu menyuruhku duduk dan menyerahkan sepasang sepatu. Ketika aku diam saja tak berbuat sesuatu, ia mengangkat kakiku dan memasukkan ke dalam sepatu longgar itu. Semuanya berjalan bergelombang dan seperti di atas kapal yang berayun-ayun, aku hanya mengikuti ke mana polisi itu membawaku.
Jay, aku benar-benar menangis dengan suara sekarang.
Di sebuah ruangan ICU dia tergolek di situ, memejamkan mata, dengan berbagai peralatan terpasang di tubuhnya. Benar Jay, dia Nick, kekasihku yang tampan itu, yang seharusnya bermata hijau dan berbibir merah. Tetapi dia pucat, dia tidur, bahkan ketika aku menyentuh tangannya dan menggenggamnya erat sekali, seraya menyebutkan namanya berkali-kali. Aku berharap keajaiban itu datang, malaikat yang baik hati membuka mata Nick lalu dia bangun dan memelukku, seperti tadi malam.
Tetapi polisi dan para medis itu bersikeras bahwa Nick sudah lima hari tergeletak di sini. Lalu siapa yang bersamaku kemarin dan semalam?
Jay, siapakah yang tidak waras di antara kami?
Aku yang sedang menumpahkan seluruh rasa cinta atau para dokter dan polisi yang dingin dan tak punya perasaan itu? ***
.
.
Surabaya, Desember 2009 : Untuk Firman Chaniago
.
.
Cerpen Korsakov! karya Wina Bojonegoro sebelumnya terbit di Jawa Pos edisi Minggu, 24 Januari 2010.
.korsakov
Leave a Reply