Ayu Febriana, Cerpen, Kompas

Istirahat

Istirahat - Cerpen Ayu Febriana

Istirahat ilustrasi Michael Binuko (Koko)/Kompas

4.2
(23)

Cerpen Ayu Febriana (Kompas, 24 September 2023)

ANGIN sore menyapu kulit wajahku yang lengket akibat rembesan air mata yang mengering. Pucuk batang ilalang bergoyang-goyang menikmati semilir embusan angin. Kebaya ungu yang melekat di tubuhku tampak mencolok di antara susunan batu nisan yang terhampar di atas tanah coklat seluas satu rantai. Topi wisuda masih setia bertengger di kepalaku, seolah hendak unjuk diri bahwa orang yang mengenakannya sudah resmi menyandang gelar di hadapan puluhan makam.

Seusai acara wisuda, aku mengajak ibu dan kakakku berziarah. Menyampaikan kabar anak bungsunya sudah lulus kuliah tepat di pusara sang bapak. Kembali kuusap tulisan yang terpahat di atas batu nisan hitam itu untuk yang kesekian kalinya. Perasaan menyesal terus-menerus menghantam nuraniku, berpikir andai saja aku lulus lebih cepat pasti bapak turut bersuka cita merayakannya seperti teman-temanku yang lain. Mengingat watak bapak yang bersikap seolah tak acuh, padahal ialah yang paling sering membanggakan anak-anaknya di hadapan para kerabat.

“Anak bontotku itu sudah jago jahit, ini dia sendiri yang bikin,” ujarnya kala itu, memamerkan tas serut kain yang kubuat untuk tempat bekal kerja di kebun sawit atas permintaannya di depan teman-temannya. Ia sangat senang mendapat pujian karena sudah berhasil mendidik anak-anaknya menjadi anak yang memiliki keahlian dan berbakti kepada orangtua. Suara tawanya yang cempreng bisa terdengar sampai keluar rumah.

Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirku saat terkenang akan kelakuan bapak yang tampak tak pernah dewasa, tetapi sangat bertanggung jawab akan kelangsungan hidup keluarga kecilnya. Sayang sekali, waktu kebersamaan kami berkurang saat aku berkukuh melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, Medan.

Waktu itu, aku berargumen bahwa kemampuan menjahitku harus ditempa di universitas negeri yang menyediakan program studi tata busana agar karierku tidak berhenti sebatas tukang jahit rumahan. Untungnya keluargaku menyetujui dengan senang hati, terutama bapak yang terus berjuang mendukungku sampai akhir hayatnya.

Aku kembali teringat kenangan waktu mendengar suara bapak lewat telepon, bertanya tentang hal-hal sepele seperti aku makan pakai lauk apa, sudah shalat atau belum, atau bahkan sekadar membangunkan di pagi hari, dan sialnya sampai saat ini tak pernah kuperoleh lagi. Hari itu sama dengan hari-hari sebelumnya, bapak menelepon di sore hari, melepas penat setelah pulang bekerja dari kebun sawit orang. Ya, bapakku hanya buruh petani, yang mencurahkan keringatnya untuk si juragan tanah pelit.

Baca juga  Pastor Ola

“Halo, Nak, lagi ngapain?” tanya bapak di seberang sana.

“Baru pulang dari kampus, Pak,” jawabku seraya meletakkan tas ransel dan konsep desain busanaku yang setebal kamus. Kemudian aku berbaring di atas tilam tipis yang letak biji kapuknya sudah tak rata lagi akibat dimakan usia.

“Desainnya sudah di-acc, Nak?” terasa ada pengharapan yang terselip di dalam pertanyaannya. Entah kenapa aku yakin sekali bapak juga turut resah dengan desain busanaku yang tak kunjung diterima oleh dosen. Belasan bahkan puluhan kali bapak menanyakan hal yang sama, tetapi sebanyak itu pula jawabanku mematahkan ekspektasinya.

“Alhamdulillah sudah, Pak, tapi masih satu, satu lagi belum.”

Sontak bapak girang bukan main ketika mendengarnya. Terdengar suara ibu yang ikut berbahagia seolah-olah kabar satu desain busanaku yang diterima dosen itu adalah harga buah sawit yang tiba-tiba melonjak tinggi. Tak henti-hentinya bapak memberi wejangan kepadaku agar senantiasa rajin beribadah dan meminta pertolongan pada Tuhan agar segala urusanku dipermudah. Lalu suara ramai yang bersahut-sahutan itu pun mendadak diam setelah sambungan telepon terputus. Meninggalkan perasaan puas dan hangat yang menjalar di setiap rongga dadaku.

Usai percakapan di telepon yang mengharukan itu, cukup lama ponselku tidak berdering lagi. Aku mencoba mengenyahkan segala macam pikiran buruk di dalam otakku, kemudian membuat skenario bapak dan ibu sedang ada kegiatan ngrewang yang berarti gotong royong menuju hajatan. Hingga akhirnya memasuki hari keempat, itu rekor waktu terlama bapak tidak menelepon, ponselku tiba-tiba berdering memecah keheningan malam, tulisan kata “Bapak” terpampang di layar.

“Nak, perut bapak sakit lagi,” suara sendu ibuku terasa bagai petir yang menyambar di tengah malam, kesadaranku spontan kembali memasuki ragaku yang lelah. Saat itu bapak memang didiagnosis oleh dokter mengidap asam lambung akut. Dinding lambungnya sempat terluka, tetapi beberapa waktu lalu berhasil disembuhkan. Namun, aku tak menyangka kalau asam lambung bapak kambuh lagi dalam kurun waktu yang relatif dekat, meskipun berbagai makanan yang tak boleh dikonsumsi selalu ditaati.

“Sudah dibawa ke rumah sakit kan, Buk?”

“Sudah, tapi bapak belum siuman,” jawaban ibuku membuatku semakin terenyuh, tak pernah aku mendengar suara ibu sememilukan itu. Kalimat penenang macam apa pun tidak akan mampu mengusir kegundahannya, janjiku untuk pulang kampung yang seharusnya dua minggu lagi terpaksa kupercepat menjadi tiga hari bertepatan dengan hari libur demi menemani dan membantu ibu mengurus bapak.

Baca juga  Ia Tahu Cara Memusnahkannya

Subuh sekali aku mulai tenggelam di antara tugas-tugas kuliah yang berserakan, berniat mencicil tugas supaya tak menumpuk terlalu banyak karena hendak pulang kampung lebih cepat. Aku nyaris tak berhenti bekerja bahkan untuk sekadar mengisi perut sekalipun. Suara ibu dan bayangan bapak yang sedang terbaring lemah terus berputar-putar di pikiranku. Kukerahkan semua tenaga agar bisa lekas bertemu mereka. Waktu itu aku memercayakan orangtuaku kepada kakak seorang, sebab jarak tempuh lokasi pekerjaannya lebih dekat dengan kampung halaman. Berharap kehadiran sosok kakakku dapat mengurangi kecemasan ibu.

Suara notifikasi pesan masuk yang beruntun berhasil mengalihkan perhatianku dari aktivitas menjahit. Kubaca nama si pengirim pesan tersebut, kakak. Tak ada tulisan yang berarti selain memanggil namaku secara berulang-ulang seolah ada sesuatu yang tak beres.

“Kenapa?” tanyaku setelah nada telepon tersambung terdengar.

“Bapak udah gak ada,” jawabnya sambil menangis tersedu-sedu, akal sehatku hampir tak terkendali mendengar ungkapan tak masuk akal itu.

“Serius?” aku mencoba memastikan kalimat yang baru saja mengetuk gendang telingaku.

“Iya.” Seketika duniaku mendadak runtuh seruntuh-runtuhnya. Jeritanku yang bercampur tangis pilu bak gemuruh di siang bolong, mengejutkan semua penghuni kos-kosan di sebelah kamarku. Tungkai kakiku lemas, mataku panas, dan hatiku serasa diremas-remas. Semua hal sontak berseliweran di dalam otakku. Mau dikemanakan kenangan, mimpi, uang, serta kondisi keluargaku nantinya? Apa gunanya semua itu dipupuk jika tak ada sosok bapak di antara kami? Kenapa cepat sekali perginya?

“Kamu cepat ke sini ya, temuin bapak,” itulah kalimat terakhir yang diucapkan kakakku sebelum memutus sambungan telepon. Aku langsung bergegas secepat mungkin, kakiku melangkah terburu-buru mengejar jam keberangkatan bus travel.

Perjalananku diisi dengan kekalutan dan kegelisahan yang mati-matian ditahan, supaya tak membuat penumpang lain merasa tidak nyaman. Jarak tempuh dari Kota Medan ke kampung halamanku kurang lebih lima jam. Selama itu jugalah aku menangis dalam diam, mencekik suaraku sendiri agar tak terdengar orang lain. Hatiku tak sabar ingin segera mencurahkan tangis di samping jenazah bapak, yang kuyakini sudah dingin dan kaku. Aku bolak-balik menelepon kakakku guna memastikan keadaan di sana dan kondisi ibu, sebab hanya dialah yang bisa kuhubungi.

Baca juga  Paman Bungsuku yang (Syahdan) Setengah Dewa

Sesampainya di kampung, tampak bendera hijau berkibar lembut serta warga dan kerabat berkumpul meramaikan rumahku. Seumur hidup baru pertama kali aku melihat pemandangan itu di rumahku sendiri. Aku berlari dengan sisa-sisa energi yang masih tersisa di tubuhku. Aku terduduk tepat di sebelah kanan jenazah bapak. Tangisku pecah tak terbendung. Tubuhnya ditutupi dengan kain putih panjang, kuulurkan tanganku untuk menyingkap penutup di wajah bapak. Terlihat raut wajahnya tenang, bibirnya tersenyum tipis, kumis yang selama ini lebat ternyata sudah bersih dicukur beberapa hari sebelum bapak meninggal seakan-akan ia tahu kapan waktunya bebersih. Bagaimana bisa bapak setenang ini? Seenaknya meninggalkan kami yang diselimuti kesedihan juga kekhawatiran yang mendalam.

Ibu dan kakakku menghambur ke pelukanku, seolah-olah meminta dikuatkan. Susah-payah aku merangkul mereka berdua, tenagaku sudah habis terkuras. Suara isakan ibu menyakiti hatiku, sementara kakakku sibuk menggenggam jemari ibuku sambil membenamkan wajahnya di pundakku. Pikiranku sejenak kosong, terlalu lelah menghadapi kenyataan yang sebenarnya sampai kapan pun aku takkan siap.

“Nak, pulang yuk,” ujar ibu, menyadarkanku dari lamunan panjang. Kulihat ibu dan kakakku sudah menenteng botol air mineral dan wadah kosong tempat bunga rampai. Wajah keduanya tak kalah sembab dariku, lagi-lagi kami tak kuasa menahan tangis setiap berkunjung ke rumah baru bapak.

Kami bertiga beranjak meninggalkan makam menuju rumah dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Perjuangan bapak telah selesai, sudah waktunya bapak beristirahat dengan tenang. Jangan khawatir pak, sepertinya kami sanggup melanjutkan mimpi-mimpimu yang belum terlaksana. Kami sudah ikhlas. Terima kasih. ***

.

.

Ayu Febriana, lahir di Tanjungbalai Asahan, Sumatera Utara. Mahasiswi prodi Pendidikan Tata Busana Universitas Negeri Medan.

Michael Binuko (Koko), lahir di Biak, Indonesia, 31 Agustus 1987. Ia menyelesaikan pendidikan di program Seni Rupa ITB dengan gelar Bachelor of Arts pada tahun 2010 dengan peminatan seni grafis, dan program Master of Arts pada tahun 2015 di kampus yang sama. Selain sebagai seniman dan terlibat dalam berbagai pameran baik nasional maupun internasional, saat ini ia juga bekerja sebagai dosen di almamaternya.

.
Istirahat. Istirahat. Istirahat. Istirahat. Istirahat. Istirahat. Istirahat.

Loading

Average rating 4.2 / 5. Vote count: 23

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!