Cerpen Syafiq Addarisiy (Koran Tempo, 24 September 2023)
SAYA tidak memaksa kalian untuk percaya bahwa sekitar satu setengah jam lalu, sebelum akhirnya dibawa ke rumah sakit, mata Musapang semembara biji besi panas yang hendak meleleh sedang mulutnya membentuk huruf O kapital dan mengeluarkan busa yang saya rasa cukup untuk mencuci piring di acara makan malam keluarga. Saya tahu betul bahwa Musapang tak punya penyakit ayan. Itu sungguh kali pertama saya melihatnya begitu. Itu kenapa, saya memaksa ikut naik ke ambulans yang mengangkut tubuhnya ke UGD dan karena sangat mencemaskan keadaannya.
Di rumah sakit, para perawat langsung mengambil alih kendali dan meminta saya menunggu di luar dan saya menurut. Sebab, secemas-cemasnya saya, saya tetap bisa menggunakan akal sehat untuk tahu bahwa gerak tergesa para perawat itu menandakan betapa gawatnya kondisi Musapang. Lagi pula, jika ngotot masuk, saya bisa apa?
Duduk di luar, sembari menunggu saya bertanya-tanya: Apa yang bisa membuat saya yakin bahwa Musapang akan baik-baik saja? Saya sungguh ingin menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Tapi saya menyerah dan akhirnya memilih memikirkan sesuatu yang lebih konkret: Apa yang sesungguhnya menimpanya?
Layar ponsel saya menunjukkan angka 22.54. Saya menghela napas, mengingat-ingat kembali hal-hal yang Musapang lakukan sekitar dua jam lalu.
***
Azan isya sudah berlalu dan saya sampai di kontrakan Musapang untuk mau menagih buku yang enam bulanan lalu ia pinjam. Saya tak ingin kejadian yang sudah-sudah kembali terulang: Ia meminjam buku, sampai satu setengah tahun kemudian tidak kunjung dikembalikan, dan ketika saya tagih ia hanya cengengesan, menganggap bahwa itu akan menyelesaikan perkara. Kali ini lain. Saya tak ingin Gadis Pantai cetakan pertama saya lenyap.
Ketika saya mengetuk pintu kamarnya—sekadar basa-basi demi sopan-santun karena seumpama langsung masuk pun tak masalah—saya mendapati kamar Musapang seacak-acakan gudang pabrik bangkrut. Kasurnya ditindih enam kardus berisi buku-buku yang—entah meminjam atau mencuri dari siapa saja—ditata secara serampangan. Tiga rak bukunya didempetkan dan berserakan di kiri-kanan ruangan. Baju-bajunya yang jelas kotor semua tergolek tak berdaya di seantero kamar. Sementara itu, Musapang sendiri berdiri di tengah-tengahnya, sibuk mengamati langit-langit dengan tatapan yang tak ingin melewatkan apa pun.
Tak mengerti apa yang Musapang cari, saya memilih mengitarkan pandang, mencemaskan nasib Gadis Pantai bersampul biru yang dengan bodohnya saya pinjamkan padanya, kecerobohan yang sangat saya sesali.
“Bukumu aman, tenang aja,” kata Musapang tanpa melihat saya. “Perhatiin aja langkahmu. Keinjek satu, kulempar keluar jendela kau!”
Saya tak mengerti apa maksudnya sampai akhirnya melihat isi ember yang tergeletak di dekat rak bukunya.
“Mau ternak cicak, Pang?”
“Diem aja. Cepet bantuin cari. Tadi ada tiga yang jatuh nggak tahu ke mana. Awas kalau keinjek!”
Seperti kerbau dicocok hidungnya, dengan tolol saya turuti perintah Musapang untuk mencari tiga butir telur cicaknya yang hilang. Saya betul-betul mencarinya—dengan posisi yang epik malah: nungging sana nungging sini! Saya sungguh melakukan itu meski tak tahu apa yang akan ia lakukan dengan setengah ember telur cicaknya.
“Dapet dari mana ini, Pang?”
“Nggak usah berisik! Ketemu belum?”
Lagi-lagi, saya menuruti perintahnya meski tak yakin akan menemukan apa pun. Barang hilang biasanya begitu, baru ketemu saat sudah tak dianggap perlu. Tapi saya bersyukur sebab Musapang kemudian berpikiran sama.
“Udahlah, Ton, tinggalin aja. Entar ketemu sendiri.”
“Ini mau kamu bikin omelet, Pang?” tanya saya asal-asalan, sibuk memandangi kardus-kardus berisi buku-buku di atas kasurnya, khawatir kalau-kalau karya indah penulis idola saya sampai tergencet novel-novel Tere Liye atau yang sebangsanya. Saya bergidik membayangkan itu.
“Hampir betul,” jawab Musapang santai.
Saya membelalakkan mata. “Seriusan, Pang?”
“Emang mau kumasak, tapi bukan omelet. Dadar,” jawabnya. “Kamu nanti boleh nyicip. Tenang aja. Kamu laper, kan?”
“Emang enak, Pang?”
“Nggak tahu. Kan belum nyoba.”
Saya diam saja, mengernyitkan dahi.
“Kamu belum pernah mikirin itu, kan?” katanya menghadap ke arah saya. “Aku yakin kamu belum pernah punya ide membuat dadar telur cicak. Tapi kamu udah tahu ide itu sekarang. Dariku tentunya.” Musapang mengambil jeda sejenak, “Jadi kamu udah tahu ke mana arah pembicaraanku, kan?”
Percayalah, menggeleng pun saya tidak. Saya tak tahu arah pembicaraannya dan hanya terus memandanginya.
“Otak kamu emang kebanyakan ngonsumsi sastra, Ton. Makanya lemot. Buku terus yang kamu pikirin. Ilang satu aja udah kayak caleg kalah pemilu. Lebay.”
Selain karena bingung, saya tak menanggapi ejekan Musapang sebab berharap ia tidak sedang kerasukan jin. Tapi agaknya Musapang memahami kebingungan saya itu karena ia lalu menjelaskan, “Begini, Tono kawanku, aku terangkan, ya. Ide ini orisinal, bukan? Maksudku, jarang orang memikirkannya, termasuk kamu. Sampai di sini paham?”
Saya tak sebodoh itu untuk merasa perlu menggeleng atau mengiyakan.
“Nah, sekarang bayangkan, gimana kalau ternyata enak? Kita bisa buka warung pecel telur cicak, Ton. Pecel lele pinggir jalan lewat semua!”
Saya melongo, setengah takjub, setengah kasihan, melihat Musapang dibuai ide dadar telur cicaknya. Saya, yang tak ingin melukai hati teman saya yang saya tahu betul sangatlah rapuh itu, menjawab: “O, gitu. Menarik, Pang. Emang kira-kira gimana rasanya?”
“Ya kayak telur. Gimana, sih? Gitu aja nanya. Yang jadi masalah itu takarannya, Ton. Untuk bikin dadar seukuran dadar telur ayam, aku belum tahu butuh berapa telur cicak. Aku mau eksperimen dulu. Makanya aku cari banyak-banyak.”
“Terus?”
“Di ember itu nggak tahu ada berapa telur. Tapi aku pingin coba masak enam belas butir. Nggak tahu nanti jadinya bakal sebesar apa. Tapi, omong-omong, yang tiga butir tadi sayang banget. Kamu cari lagilah. Cepet.”
Mencari telur cicak untuk didadar bagi saya jelas sama tidak lucunya dengan menjadikan buku-buku tebal sebagai batu-bata untuk membangun rumah. Tapi, untuk yang kesekian kalinya, saya menuruti perintah konyol Musapang. Seperti telah saya katakan tadi, hati teman saya itu sangatlah rapuh. Tapi, setelah beberapa saat, menyadari kebodohan saya nungging sana nungging sini lagi demi tiga butir telur cicak yang hilang, saya pun berkata, “Udahlah, Pang. Nanti ketemu sendiri. Yang penting, sekarang lekas masak sana!”
Musapang langsung cerah mendengar saran saya dan cepat menyambar ember berisi telur cicak hasil buruannya. Saya, masih di dalam kamarnya, geleng-geleng kepala memikirkan Musapang dan obsesinya sebelum kembali mencari Gadis Pantai cetakan pertama saya, ingin mendapat kepastian bahwa ia tak tergencet novel-novel Tere Liye atau yang sebangsanya.
Sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, saya tentu tidak ikhlas kalau buku pengarang panutan saya sampai bersanding dengan penulis-penulis apalah-apalah itu. Jadilah saya membolak-balik isi kardus, mencari karya terbaik Pramoedya versi saya, dan tak menemukannya. Saya hanya bisa terduduk di pinggiran kasur Musapang, menunggunya datang membawa dadar telur cicaknya yang saya pikir akan menggelikan.
Tapi, sampai sekitar setengah jam setelahnya, Musapang tak kunjung datang. Saya pun jadi curiga: Jangan-jangan, dadar telur cicak memang seenak itu dan Musapang tak mau berbagi dengan saya. Saya bergegas lari ke dapur. Perut saya yang memang belum terisi apa-apa sejak tadi siang berteriak-teriak.
***
Di dapur, saya terbelalak. Musapang telah tumbang dengan mata semembara seperti biji besi panas hendak meleleh sedang mulutnya membentuk huruf O kapital dan mengeluarkan busa yang saya rasa cukup untuk mencuci piring di acara makan malam keluarga.
Saya tentu kaget melihat pemandangan itu dan cepat-cepat menelepon rumah sakit. Ambulans datang, petugas rumah sakit menggotong tubuhnya, dan saya memaksa ikut masuk. Sepanjang perjalanan, sirine meraung-raung dan saya mencemaskan keselamatan Musapang. Kini, saya sedang duduk di depan ruang UGD, mengingat-ingat semua itu, sembari menunggu perkembangan keadaannya.
Dan, yah, sekali lagi, saya tak memaksa kalian untuk percaya bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi. Sebab, meski saya sudah berusaha sebaik mungkin, kalian sepertinya tahu bahwa itu semua bohong belaka. Saya hanya mengarangnya. Lagi pula, meski belum pernah mencoba, sepertinya telur cicak tidak akan sampai membuat orang yang memakannya bernasib senahas itu. ***
.
.
Syafiq Addarisiy, Kepala Kurikulum Program Kitab Kuning Kompleks Madrasah di Pondok Pesantren Assalafiyyah, Mlangi, Sleman, dan alumnus Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Senang mendengarkan musik, menonton film, menulis, dan membaca. Aktif di Komunitas Susastra dan Sindikat Muda, Liar, Ngantukan.
.
Musapang dan Telur Cicaknya. Musapang dan Telur Cicaknya. Musapang dan Telur Cicaknya. Musapang dan Telur Cicaknya.
Ibii
Hmmm merasa tertipu