Cerpen Kak Ian (Radar Banyuwangi, 23 September 2023)
TUJUH bulan sudah sejak ia jatuh dari kamar mandi. Sejak itu pula ia tidak bisa jalan dengan sempurna. Lebih tepatnya kedua kakinya sudah tidak bisa difungsikan seperti biasanya untuk berjalan kembali.
Akhirnya kursi roda sebagai teman sejatinya. Walaupun ia mulanya menolak untuk menggunakannya karena malu dianggap lumpuh oleh tetangga. Begitu kata pertama yang terucap dari bibir pucatnya tanpa polesan saat kami menyodorkan kursi roda untuknya.
Setelah menerima kursi roda itu. Sejak itu ia pun membiasakan diri dengan kursi roda sekaligus berdamai dengan dirinya sendiri.
***
Tawaran itu akhirnya kuterima juga. Ini sebelum tiga bulan musibah itu datang di keluarga kami. Sedangkan aku saat itu sudah mengajar di kampung terpencil yang masih dipenuhi dengan rumpun bambu bitung.
Ya, menjadi guru adalah impianku sejak lama. Kupikir kapan lagi menjadi guru sekolah walaupun hanya di perkampungan. Tapi karena sudah menjadi azzam-ku apa boleh buat aku harus menjalani dengan sepenuh hati. Walaupun sebelum aku memutuskan berada di kampung itu terlebih dulu diriku harus menerima hinaan bahkan cacian dari kakak-kakakku.
Memang aneh mungkin kedengarannya siapa pun jika mengetahui pilihanku itu? Masa orang kota, pendidikkannya tinggi dan pengetahuannya luas mau saja mengajar di kampung orang. Kalau dibayar atau gajinya besar ya tidak apa-apa sesuai dengan keahlian. Tapi kalau hanya mengharapkan dari bantuan BOS dan intensif dari pemerintah. Mana bisa menjadi kaya dan memanjakan diri. Palingan yang ada di sana nanti kelaparan dan kurus kering. Memangnya departemen sosial tanpa dibayar sudah ada yang gaji.
Begitulah mungkin omongan-omongan yang memenuhi telingaku. Sebelum aku menginjakkan kaki di kampung itu—diriku sudah di ‘ultimatum’ oleh kakak-kakakku.
Halnya saat kakak-kakakku mengetahuinya jika aku menerima tawaran itu. Mereka banyak sekali membicarakan diriku bahkan hardikan pun luput aku terima saat tawaran menjadi guru di kampung itu menjadi keputusanku. Mereka lebih banyak tidak setuju.
“Masa sih orang kota seperti kamu mau-maunya mengajar di kampung. Kamu itu lulusan kampus bonafid, kampus mahal! Memangnya di sini tidak ada sekolahan lagi, ah!” ucap kakakku yang pertama menghardik diriku saat ia tahu jika aku ingin bekerja sebagai guru di kampung. Mungkin ia tidak mengerti yang ada di pikiran adiknya ini. Mau-maunya mengajar di pelosok kampung.
Kakakku yang nomor pertama menghampiriku ke rumah bersama anak dan istrinya. Rumah, di mana aku dan Ibu menempati hanya berdua saja saat itu. Rumah itu adalah peninggalan warisan dari Ayah untuk kami tinggali. Lebih tepatnya untuk diriku nantinya.
Aku yang mendapatkan perkataan seperti itu olehnya. Aku tak banyak cakap. Sebab, aku memang tak patut untuk membantah ucapannya. Biar bagaimanapun ia sekarang pengganti mendiang Ayah yang telah tiada. Semua tanggungjawab ada di pundaknya termasuk apa yang aku lakukan. Mengambil keputusan hanya sepihak demi pilihanku semata.
Belum usai ucapan kakakku yang pertama—dan masih terngiang-ngiang. Keesokannya, di sore harinya datang kakakku yang kedua. Dengan menggunakan mobil mewah ia datang seorang diri tanpa istri dan anak yang mengekorinya dari belakang untuk menghadap diriku.
Setiba di rumah ia langsung mencariku. Saat itu aku sedang berada di kamar sedang mempersiapkan perlengkapan dan perbekalan untuk pergi ke kampung sesuai keputusanku. Ia pun langsung menghampiriku saat tahu aku di kamar sedang beberes.
“Siapa sih yang menawari pekerjaan itu ke kamu? Biar aku tonjok! Enak saja menawari pekerjaan seperti itu pada adikku?” timpal gregetan kakakku yang nomor dua saat tahu aku, adiknya ini menerima tawaran itu.
Aku yang mendengar perkataan itu—yang sekaligus bernada ancaman dari kakakku yang nomor dua. Aku hanya bisa mengulum senyum ketika ia berkata demikian. Ia akan menonjok orang yang menawari pekerjaan untukku. Saat ia berkata seperti itu mulutnya bagai corong perapian yang penuh dengan asap menggumpal. Usai itu ia pun menemui Ibu. Entah ia mau mengadu atau tidak. Aku tidak memedulikannya.
Belum habis aku mendapatkan cemoohan dan hardikan dari kedua kakakku itu. Kini yang terakhir kakakku yang nomor ketiga. Namun kali ini ia tidak menemuiku. Tapi hanya lewat dari ponsel. Namun walaupun dari ponsel ucapannya seperti belati pula. Tajam dan sakit saat menembus hati.
“Kif, Kif, Mau-maunya kamu menjadi guru di tempat terpencil!” lantang kakakku yang nomor tiga dari balik ponsel.
Aku yang mendengar ucapan dari ponsel hanya mendengarkan saja. Walaupun memekakkan gendang telingaku saja. Dan…hanya kuanggap sebagai angin lalu saja. Masuk kuping kanan dan kuhepaskan lewat kuping kiri. Tak aku hiraukan!
Begitulah ucapan-ucapan mereka sekaligus cemoohan dan hardikan yang kuterima sebelum aku memutuskan untuk mengajar di kampung. Semua itu keluar dari mulut kakak-kakakku sendiri. Tak satu pun dari mereka menerima keputusanku apalagi memberikan selamat atas pilihanku menjadi guru di kampung.
Oya, orangtua kami melahirkan dan memiliki empat orang anak. Semua berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan aku sendiri anak ragil! Jadi mau tidaknya aku memang harus menerima perkataan-perkataan itu sekalipun dari kakak-kakakku sendiri. Ironis sekali.
Usai itu aku yang mendapatkan ucapan demi ucapan dan hardikan dari kakak-kakakku itu sempat sedikit pesimis. Maklum aku manusia tiada daya. Namun, itu tidak lama.
Akhirnya restu dari Ibu dapat kukantongi. Padahal aku belum memberitahukan padanya kalau ingin mengajar di kampung. Tapi Ibu sudah lebih dulu tahu sebelum aku menghadap untuk meminta restu padanya. Atau, jangan-jangan ia sudah melihat aku seperti terdakwa oleh kakak-kakakku?
“Bila itu sudah menjadi tekad bulatmu, Ibu bisa apa? Hanya restu yang dapat diberikan pada anaknya. Tapi ingat jika suatu saat nanti Ibu membutuhkanmu segeralah kembali…!
Setelah mendapatkan restu dari Ibu berangkatlah aku. Sedangkan kakak-kakakku yang akhirmya melihat aku pergi juga dengan membawa keputusanku. Mereka hanya memasang muka masam dan sinis. Bukan itu saja, sangat terpukul dengan keputusanku.
***
Tiga bulan akhirnya aku pun bisa menjalankan sebagai seorang guru di kampung yang terpencil. Walaupun pertama kali aku tiba—dan sampai di sekolah yang akan kutuju. Aku sangat terkejut sekali saat melihat keadaan bangunan sekolah itu hampir tumbang seperti pohon lapuk yang akan siap kapan saja rubuh. Lebih kagetnya lagi adalah anak-anak di sana tidak ada yang memakai seragam sekolah. Kalaupun ada hanya bisa dihitung jemari.
Bukan itu saja perilaku mereka pun sangat jauh sekali dikatakan anak peserta didik yang berbudi pekerti. Sebagian dari mereka ada pula yang menjepit sebatang kretek di sela-sela jemarinya di saat jam istirahat sekolah. Bahkan juga sering kali membuat onar di dalam kelas. Seperti inikah wajah-wajah anak didikku nantinya?
“Pak Kif, hapenya sejak tadi berbunyi terus di ruang kantor,” tetiba Bu Uwi memberitahukan aku di saat berada di dalam kelas.
Bu Uwi merupakan rekan guru di sekolah kami. Ia salah satu guru terlama di tempat aku mengajar dan juga terlahir di kampung ini pula. Tapi ia tetap masih mau mengajar di sini sekalipun teman-teman seperjuangannya sudah merantau ke kota.
“Eh, Bu Uwi! Terima kasih. Nanti saya ke ruang guru!” tukasku sedikit agak malu karena tanpa sengaja aku melamun di saat jam mengajar.
Tidak lama kemudian aku tiba di ruang guru. Kuraih ponsel yang sedang aku charge. Aku ingin mengetahui siapakah gerangan yang menelponku. Tapi panggilan itu tidak ada lagi hanya sebuah pesan WhatsApp yang masuk begitu banyak sekali dari kakak-kakakku.
Pulang cpt! Ibu lg kena musibah.
Kpn kamu pulang? Td subuh Ibu terjatuh dr kamar mandi.
Kmn saja sih kamu ditelepon tdk diangkat-angkat? Segera pulang Ibu jatuh dr kamar mandi!
Kubaca pesan-pesan itu. Aku punya firasat jika Ibu memang membutuhkanku. Itu tidak bisa aku pungkiri. Sebab, sebelum bisa melenggang ke kampug ini untuk menjadi guru di kampung, Ibu sudah memberikan aku ‘ultimatum’ saat restunya kudapatkan.
Ternyata menjadi bukti! Mau atau tidaknya aku tetap harus membuktikan ‘ucapan’ Ibu saat itu. Bila tidak aku turuti, Ibu tidak akan lagi memercayaiku. Jadi aku harus kembali pulang! Walaupun di tempat aku mengajar sangat membutuhkan diriku. Bukan itu saja ternyata sebagian dari anak-anak didikku sudah begitu nyaman dengan kehadiran aku saat ini. Apakah aku harus meninggalkan itu semua?
Dilema akhirnya menghampiriku.
***
Senja itu aku sengaja mengajaknya jalan-jalan ke taman. Aku melakukannya agar ia tidak lagi memikirkan keadaannya saat ini. Masih di atas kursi roda. Apalagi ketika dokter mevonis dirinya tulangnya sudah pada rapuh. Ada pengapuran. Kemungkinan besar tidak bisa kembali jalan dengan sempurna. Kami sekeluarga pun akhirnya hanya bisa pasrah dan tawakal saja.
“Ibu bahagia aku ajak ke taman?” tanyaku padanya.
“Bahagia sekali!” tukasnya. “Sedangkan kamu sendiri apa juga bahagia saat ini? Apalagi kamu harus merelakan pekerjaanmu sebagai guru di kampung itu?”
Aku terdiam sejenak sambil memupuk jawaban yang tepat agar tidak melukai hatinya. Sebab, dalam kondisi seperti ini aku tidak ingin memengaruhi kejiwaannya.
“Sangat bahagia sekali, Bu! Apalagi aku bisa bersama Ibu. Bagiku semua sama saja. Kedua-duanya bagiku adalah kewajiban sebagai manusia. Memberikan ilmu selagi mampu walaupun itu hanya seayat. Aku harus tetap memberikannya. Tapi ada yang lebih penting dan wajib yang harus aku jalani adalah menjaga Ibu apalagi saat seperti ini. Tidak ada kata menolak sebagai seorang anak. Sebab, aku menjadi guru juga karena Ibu, bukan?”
Saat aku berkata demikian kulihat mata tuanya berkaca-kaca. Kemudian ia langsung memeluk aku sambil mengusap kepalaku.
Sore itu aku yakin banyak pasang mata melihat ke arah kami saat itu di taman. Sedangkan aku tidak peduli lagi apalagi harus malu demi Ibu. Mungkin esoknya kami sudah diabadikan lewat media medsos. Entah, Instagram atau Tiktok—dengan banyak beragam komentar yang di-upload oleh seseorang yang sudah mevideokan kami sebagai konten yang penuh airmata dan menginspirasi. Mungkin saja terjadikan?
Dan persoalan dilema yang aku hadapi? Hm, hal itu sudah aku buang jauh-jauh. Karena aku sudah memilih pilihan—yang tepat buatku saat ini—dan ternyata itu adalah cara untuk menuju pintu surga. ***
.
.
Kak Ian, penulis dan pengajar. Aktif dan bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya berupa cerpen, cerita anak, cerita remaja, opini dan puisi, sudah termaktub di koran nasional dan lokal serta media online. Sedang menyiapkan buku keenam dan ketujuh; Kumpulan cerpen “Jika di Antara Kita Lebih Dulu Dipanggil Tuhan” dan 20 Kumpulan Dongeng Profesi “Juru Masak dan Pisau Kesayangannya.”
.
Dilema. Dilema. Dilema. Dilema. Dilema. Dilema.
Leave a Reply