Cerpen, Kompas, Marga T

Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah

Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah - Cerpen Marga T

Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah ilustrasi Kompas

4.7
(3)

Cerpen Marga T (Kompas, 28 November 1970)

KALAU aku kebetulan datang pagi dan dosen kebetulan belum datang, dan Sri juga terlambat, senang sekali aku berdiri di muka kebun yang gundul itu. Menjaga sinar matahari. Kadang-kadang aku bersandar pada tiang dan begitu saja menerawang langit-langit, memikirkan segala pikiran yang terpikirkan waktu itu. Sayang sekali kebun itu tak terpelihara. Bila rumput-rumput sudah panjang, bukan dipotong, tapi malah dibakar oleh Pak Kebun. Pohon-pohon tak ada. Cuma bunga-bunga serdadu di pinggiran menerpa pemandangan: putih dan merah jambu.

Melewati kebun, mata leluasa memandangi pasien-pasien tengah berjemur atau duduk-duduk. Ada sebuah kamar yang menarik perhatianku. Sebab, isinya cuma seorang. Perempuan tua. Rupanya penghuni lain sudah pulang dan pasien lain belum ada. Sebab, kebun itu tidak luas, jelas terlihat olehku wajah perempuan itu. Sudah tua. Keriput. Menurut suster Rosi: dia sakit kuning. Tapi, tidak jelas. Pada kulitnya yang sawo matang. Mungkin terlihat juga bila aku memeriksa matanya.

Sering kali aku berdiri di situ memandangi perempuan itu. Macam-macam pikiran hinggap. Begitulah kalau sudah tua. Menurut suster: jarang ditengok. Begitulah kalau sudah tak berguna. Menyusahkan orang. Tidak dikehendaki. Suster Rosi membantah pendapatku.

– Mungkin juga keluarganya miskin sehingga tidak mampu mengunjunginya tiap hari, kata suster.

– Ah mana boleh jadi. Masakan orangtua sendiri ditelantarkan begitu.

Dalam otakku, tidak masuk akal bahwa orang bisa begitu miskin sehingga mengunjungi ibu yang sakit tidak mampu.

Sudah seminggu aku gelisah dan kesal. Ada sebuah undangan kawin yang harus aku hadiri. Untuk itu aku perlu baju dan sepatu. Karena semua baju pesta di lemari sudah pernah dipakai, maka aku membutuhkan baju biru dengan dasar putih. Memang baju itu bagus. Aku menyukainya. Tapi, justru ibu menyarankan itu, maka aku jadi tidak menyukainya dan memutuskan: bagaimanapun tidak akan memakainya. Masih ada baju hijau, kata ibu. Atau yang merah anggur. Yang cokelat dengan leher putih.

– Tidak, kataku keras kepala. – Saya harus mendapat baju baru. Ini kan pesta kawin, Bu. Dan, sudah hampir setahun, saya tidak membuat baju pesta.

Baca juga  Rumah (Te)tangga

– Ya, betul, sahut ibu. – Tapi, soalnya: bukan tidak boleh. Cuma tidak ada uang. Uang sedang susah sekarang. Barangkali bulan depan, kalau ayah mendapat rezeki….

– Aaah selalu alasan ibu seperti itu. Kalau saya mempunyai uang, tentu takkan saya minta pada ibu. Kan saya mesti sekolah. Sekolah. Kalau saya boleh bekerja, saya tentu akan mendapat uang. Dan, ibu tidak pusing. Jadi, kan?

Ibu sedih lalu pergi. Baju baru: tidak. Sepatu baru: juga tidak. Untuk kado: saputangan. Minyak wangi. Aduuh! Ke manakah rencana muluk-muluk itu? Mau beli blus biru sepatu go-go. Teh-servis.

***

SUDAH pasti aku terlambat. Kuliah kedua baru akan mulai jam sembilan atau setengah sepuluh. Aku jalan pelan-pelan. Di pintu gerbang rumah sakit, aku dengar langkah orang di belakangku. Wah, teman senasib: sama-sama telat. Aku menoleh seorang perempuan muda yang tidak cantik, tengah berjalan menunduk.

– Mau besuk, Zus? tanyaku iseng.

Perempuan itu mengangkat kepalanya lalu tersenyum dan berjalan di sampingku. Wajahnya hitam. Rambutnya kering. Bajunya lusuh dan tua. Sandalnya juga tua. Di tangannya ada sebuah keranjang rotan yang agak kotor. Berisi botol dan barang-barang lain yang tidak aku perhatikan.

– Ia. Besuk itu….

– O, sakit apa?

– Sakit kuning. Sudah sebulan.

– O, sudah lama. Tiap hari kemari?

– Tidak tentu, katanya memelas.

– Kalau ada ongkos bus, saya pergi. Saya tinggal dekat Megaria. Dari situ saya jalan ke tempat bus. Lalu naik sampai kemari: seringgit. Pulang, seringgit. Jadi, lima rupiah. Tempo-tempo juga, kalau bagaimana, saya tidak pergi. Sebab tidak ada ongkos.

Wah, ini sesuatu yang baru bagiku! Bahwa orang tidak mempunyai lima rupiah di dalam kantungnya adalah kenyataan baru bagiku. Perempuan itu menyambung lagi.

– Habis tidak ditengok, ya kasihan. Sering-sering susternya les. Jadi, tidak bisa memberi air. Maka, saya bawakan air.

– O, umur berapa, Sus?

– Dua delapan.

Baca juga  Balada Matinya Tabib Tjhia

Aku mencoba tersenyum. Tidak berhasil. Kemiskinan telah membuat dia sepuluh tahun lebih tua. Mengerikan.

– Sudah kawin, Sus?

– Sudah. Anak saya tiga. Yang besar: enam tahun. Yang kecil, enam belas bulan.

– Senang ya, punya anak.

– Ya.

Dia diam sebentar seakan menimbang-nimbang lalu cetusnya, – Tapi, saya sudah tidak jalan benar dengan suami saya. Habis dia di Tegal. Tidak pernah kirim uang untuk anak-anaknya. Jadi, saya beli surat cerai di sini.

– Jadi, Sus yang bekerja?

– Bukan. Bapak saya. Kuli ngapur. Begitulah. Kalau dekat-dekat perayaan, banyak kerja. Sekarang ini sedang menganggur. Saya sedang bingung memikirkan ongkos ibu. Sehari lima puluh rupiah. Malah mestinya seratus. Tapi, saya tidak mampu: minta kurang. Boleh jadi hari ini ibu saya sudah boleh pulang. Belum ada uang sepeser pun. Tadi cuma bawa lima rupiah.

Kami jalan terus lewat kerikil-kerikil. Aku tidak berkata-kata lagi. Hidup ini tiba-tiba begitu mengerikan. Andaikan perempuan itu adalah aku. Dan, perempuan tua yang sakit kuning itu: ibuku. Dan … tak ada sepeser pun!!! Aduh mengerikan hidup ini.

***

UNTUK menantikan kuliah lain, aku berdiri di tempat biasa. Bersandar pada tiang. Perempuan itu tidak lagi aku perhatikan. Aku sibuk dan bingung memikirkan baju baru. Sepatu baru. Kado. Langit memang bersih dan cantik. Matahari segar. Tapi, darimana datangnya itu baju baru dan sepatu baru dan cangkir-cangkir teh? Untuk membalas sakit hati pada ibu: mudah. Aku stop kuliah. Masuk kantor. Jadi, sekretaris genit. Tapi, soalnya: kuliah dan pasien sangat mengikat hatiku. Apalagi kalau pasien itu baru belasan bulan dan montok dan manis dan dalam hati selalu terbit kerinduan akan jadi pemiliknya. Kawin bisa memecahkan kesulitan. Tapi, Deni pasti tidak mau menerima gadis yang kawin cuma untuk baju-baju baru dan sepatu-sepatu baru dan kado-kado. Lagi pula, aku tidak mau kawin karena baju baru dan sepatu baru. Hebat. Dia bisa kalang kabut kalau aku bilang: aku cinta dia cuma karena baju dan sepatu.

Baca juga  Dua Belas Jam di Hari Sabtu

– Sus, sus … saya permisi … pulang.

Aku tersentak kaget. Di belakangku berdiri perempuan tadi. Dan, di sampingnya digenggamnya tangan ibunya. Perempuan tua yang selalu aku perhatikan hampir tiap pagi.

– O, ini ibunya?

– Ya, – katanya.

Dalam nada suaranya ada sesuatu yang sukar kukatakan. Sesuatu yang bernada bangga dan cinta dan mesra. Matanya yang redup itu sekarang sudah bersinar-sinar. Wajahnya bercahaya dan tidak begitu hitam lagi. Malas aku lihat dia sesungguhnya manis. Kegembiraannya yang meluap-luap itu ditampakkannya dalam nada suaranya, wajahnya, gerakan-gerakannya.

– Sudah pulang hari ini? Syukurlah.

Perempuan itu tertawa lebar sambil memandang ibunya dengan hangat. Tidak pernahkah dia meminta baju baru pada ibunya dan ditolak?

– Sudah beres jadinya?

– Belum, sahutnya segera.

– Rekening belum dibayar. Habis bagaimana: belum ada sepeser pun. Untung susternya mengerti. Barangkali minggu-minggu ini bapak dapat kerja, ya, Mak? Kan menjelang tujuhbelas Agustus, katanya menghibur.

Dia tidak bilang: saya bahagia. Tapi, itu terlihat jelas dari seluruh pribadinya. Kuawasi mereka menjauh. Menjauh. Aaah begitu sengsara. Namun, begitu bahagia. Cuma sebab ibu sudah sembuh. Betapa sederhana jiwa itu. Tidak pernahkah dia meminta sepatu baru dan ditolak ibunya sebab tak ada uang? Pernahkah? Tidak? Pernahkah? Ah, betapa sangat inginnya aku menanyakan hal itu padanya. Perempuan itu sudah hilang di belokan. ***

.

.

Marga T (1943), bernama lengkap Margaretha Harjamulja dan bernama asli Tjoa Liang Tjoe, penulis novel yang sangat terkenal, terutama semenjak Karmila dimuat bersambung di Kompas dan menjadi buku terbitan pertama PT Gramedia tahun 1971. Pertama kali menulis cerpen Kamar 27 di harian Sin Po pada 1964. Novelnya yang dianggap penting adalah Gema Sebuah Hati yang berlatar belakang peristiwa G-30-S.

.
Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah. Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah. Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah.

Loading

Average rating 4.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Hotma Di Hita L.Tobing

    Terimakasih cerpen Baju, Sepatu dsan Lima Rupiah. Karena Kompas hadirkan di sini jadi bisa saya baca. Salam sehat

Leave a Reply

error: Content is protected !!